Minggu, 18 Juni 2017

Public Policy

Public policy yang populer dengan sebutan kebijakan publik merupakan suatu keputusan strategis, yang dibuat dan selanjutnya di realisasikan sebagai solusi, untuk mengatasi berbagai permasalahan rakyat, yang selalu hadir dalam  kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada negara-negara yang menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya, public policy biasanya dibuat oleh lembaga-lembaga formal. Lembaga-lembaga formal itu adalah lembaga eksekutif dan lembaga legislative. Sedangkan lembaga-lembaga non formal yang mempengaruhi public policy yakni, kelompok kepentingan (interst groups), kelompok penekan (pressure groups), dan partai politik oposisi (opposition political parties).
Pada negara-negara yang menganut demokrasi dalam sistem politiknya, pengisian formasi keanggotaan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, yang memiliki kewenangan untuk membuat suatu public policy melalui pemilihan umum (general elections). Disamping itu ada pula formasi keanggotaan dari lembaga eksekutif, yang diangkat oleh pejabat eksekutif pada struktur organisasi yang lebih tinggi, dimana juga memiliki kewenangan yang sama, untuk membuat suatu public policy. Sementara pengisian formasi keanggotaan lembaga-lembaga non formal seperti kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi dilakukan melalui mekanisme internal, yang memenuhi prinsip-prinsip demokrasi.  
Lembaga eksekutif dan lembaga legislative, yang diberikan mandat oleh rakyat melalui Pemilu maupun yang diangkat, dalam membuat public policy melalui proses politik, harus benar-benar mengakomodasi kepentingan rakyat. Pasalnya lembaga eksekutif dan lembaga legislative merupakan representasi rakyat dalam suatu negara, yang mempraktekan demokrasi dalam sistem politiknya. Sehingga mengakomodasi kepentingan rakyat dalam public policy, merupakan bentuk akuntabilitas kinerja dari lembaga eksekutif dan lembaga legislative kepada rakyat. Hal ini yang kemudian populer dengan jargon substansial demokrasi, sebagai pemerintahan dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat.
Peran kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi yakni mempengaruhi public policy, yang sebelumnya  dibuat oleh lembaga eksekutif dan lembaga legislative agar sesuai dengan kepentingan rakyat melalui kegiatan parlementer maupun ekstra parlementer. Peran ini dilakukan dengan cara-cara persuasiv melalui dialog, lobi, petisi, demonstrasi, pemogokan sampai dengan tindakan anarkis yang digunakan sebagai instrument politik, untuk mempengaruhi pengambilan keputusan (decision making), dari lembaga eksekutif dan lembaga legislative guna merevisi suatu public policy. Hal ini akan dilakukan tatkala public policy itu krusial, dan berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak.
Misalnya public policy yang terkait kenaikan tarif bahan bakar minyak (BBM) berimplikasi negativ pada naiknya harga kebutuhan pokok, tarif listrik, tarif air, dan naiknya tarif angkutan umum. Pada akhirnya juga akan semakin menambah beban kehidupan rakyat. Hal ini dikarenakan rendahnya daya beli rakyat sebagai akibat naiknya tarif BBM. Sehingga angka pengangguran dan kemiskinan pun bertambah. Melihat kondisi rill ini, tentunya kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi tidak akan tinggal diam. Mereka akan melakukan berbagai aktifitas politik, agar pihak eksekutif dan legislatif bisa meninjau kembali policy kenaikan tarif BBM, dengan cara menurunkan tarif BBM.
Bisa juga atas desakan itu, dilakukan peninjauan kembali kenaikan tarif BBM oleh pihak eksekutif dan legislative, dengan mengeluarkan public policy alternativ, untuk meringkan beban hidup rakyat seiring dengan kenaikan tarif BBM. Misalnya program konpensasi pengurangan subsidi BBM (PKPS-BBM) di era pemerintahan SBY-JK. Publik policy ini merupakan antisipasi dari naiknya harga barang, dan jasa yang di akibatkan kenaikan tarif BBM pada 1 Agustus 2005, dimana pemerintah meluncurkan dana sebesar Rp 18.139,2 milyar, yang diperuntukan bagi bantuan subsidi bidang pendidikan sebesar Rp 6.217,9 milyar, bidang kesehatan sebesar Rp 3.875,2 milyar, inprastruktur pedesaan sebesar Rp 3.342,1 milyar, dan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 4.650,0 milyar.
Konteks pembuatan dan mempengaruhi public policy oleh lembaga-lembaga formal dan non formal itu, lazim disebut dengan model institusional (kelembagaan). Pasalnya elemen-elemen yang berperan dalam proses pembuatan dan kontrol terhadap public policy adalah lembaga-lembaga resmi dan non resmi, yang ada dalam pemerintahan suatu negara demokrasi. Menurut Islamy Irfan (2014) dalam bukunya yang berjudul “Principles of State Policy Formulation” bahwa, fokus dari model ini terletak pada struktur organisasi pemerintah. Sebab kegiatan-kegiatan politik berpusat pada lembaga-lembaga pemerintah seperti lembaga legislative, eksekutif, dan yudikatif maupun lembaga-lembaga non formal seperti kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi.
Disamping model institusional (kelembagaan) dalam pembuatan public policy, yang melibatkan lembaga-lembaga resmi dan non resmi pada suatu negara yang menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya, terdapat juga delapan model lain dalam pembuatan public policy. Hal ini sebagaimana rumusan yang lahir dari gagasan  pemikiran Thomas R. Dye (1995), yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul “Understanding Public Policy” yakni ; model proses, kelompok, elite, teori rasional, ikramental, teori permainan, pilihan publik, dan model sistem. Berbagai model dalam pembuatan public policy ini, tentu masing-masing memiliki kelebihan dan kekuarangan, dimana pengadopsiannya disesuaikan dengan dinamika internal dan eskternal pada suatu negara.
Terlepas dari itu, meskipun pada kenyataanya lembaga eksekutif dan legislative memiliki peran yang sangat dominan dalam pembuatan suatu public policy, tentu tidak bisa dikesampingkan begitu saja peran dari lembaga yudikatif. Sebab lembaga yudikatif memiliki peran untuk melakukan penegakkan hukum (law enforcement), yang terkait dengan mengamankan implementasi dari public policy kepada rakyat, dari protes-protes yang mengarah pada tindakan anarkisme terhadap public policy itu, yang dilakukan oleh kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi.
Hal ini dilakukan guna menjamin stabilitas sosial politik, ekonomi, dan stabilitas keamanan negara. Sehingga kontuinitas roda pemerintahan bisa tetap berjalan dengan baik. Kondisi ini biasanya ditemui tatkala public policy itu krusial, dan berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak. Misalnya dalam public policy kenaikan tarif BBM yang dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan disetujui oleh lembaga legislatif. Peran pengamanan ini biasanya dilakukan oleh Polri. Pasalnya Polri memiliki kewenangan dalam bidang penegakkan hukum dan keamanan (law enforcement and security).
Hal ini bisa dilihat dari peran Polri yang selalu mengarahkan  ratusan personilnya, pada seluruh daerah di tanah air, untuk mengamankan demonstrasi akibat public policy naiknya tarif BBM, yang dilakukan oleh kelompok kepentingan, kelompok penekan dan partai politik oposisi terhadap lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Dimana demonstrasi ini sering kali melibatkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI), Univeritas Gadjah Mada (UGM), Universitas Trisakti, Universitas Hasanuddin (Unhas), Sarikat Pekerja Nasional (SPN), Sarikat Pekerja Indonesia (SPI), Konfederasi Aliansi Sarikat Buruh Indonesia (KASBI), Partai Rakyat Demokratik (PRD), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Dalam negara yang menganut demokrasi dalam sistem politiknya, tentu peran politik yang dilakukan oleh kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi terkait dengan demonstrasi akibat public policy naiknya tarif BBM, merupakan suatu hal yang sah-sah saja, dimana merupakan mekanisme cheks and balances terhadap lembaga eksekutif dan lembaga legislative, yang dikuasai oleh partai-partai politik yang dominan suaranya dalam Pemilu. Hal ini dilakukan, untuk menghindari  penyalagunaan kekuasaan (abuse of power), dari lembaga-lembaga formal ini dalam membuat suatu public policy.
Praktek ini merupakan esensi penting dari suatu negara, yang memadang dirinya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat (popular sovereignty implementing). Dimana kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat. Hal ini sebagaimana pendapat John Locke (1689)  yang populer melalui karya monumentalnya yang berjudul “Two Treatises of Government”, yang mengatakan bahwa, terbentuknya negara didasarkan pada asas pactum unionis dan pactum subjectionis. Pactum unionis merupakan perjanjian antar individu untuk membentuk negara, sedangkan pactum subjectionis adalah perjanjian antara individu dan negara yang dibentuk. Perjanjian itu menentukan bahwa individu memberikan mandat kepada negara atau pemerintah.
Mandat rakyat diberikan agar pemerintah mendapat kekuasaan dalam mengelola negara berdasarkan konstitusi, yang ditetapkan dalam pactum subjectionis. Atas dasar itu, maka lembaga eksekutif dan lembaga legislative sebagai pemegang kekuasaan politik, yang diberikan mandat dari rakyat melalui Pemilu, dalam membuat public policy harus mengakomodasi kepentingan rakyat, yang didasarkan pada konstitusi. Begitu pula kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi memiliki peran, untuk mengontrol lembaga eksekutif dan lembaga legislative sebagai pemegang kekuasaan politik, yang diberikan mandat dari rakyat melalui Pemilu, agar dalam membuat public policy harus mengakomodasi kepentingan rakyat, yang didasarkan pada konstitusi.(M.J.Latuconsina).

Antara Aristoteles, Islam, dan Komunisme

Aristoteles lahir di Stageira semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan)  pada tahun 384 S.M. dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 S.M. Ia mengembangkan ajaran realisme (kenyataan), dengan dua karya monumentalnya yang popular yakni ; Ethica yang berisi tentang keadilan, dan Politico yang berisi tentang negara. Pemikiran-pemikiran dari Aristoteles masih di pengaruhi oleh Plato. Hal ini dikarenakan Aristoteles adalah murid dari Plato. Dimana kurang lebih dua puluh tahun lamanya Aristoteles menjadi murid dari Plato.
Banyak pemikiran dari Aristoteles sampai dengan saat ini masih menjadi pijakan awal, dalam mempelajari ilmu-ilmu sosial (sociale wetenschappen). Pasalnya tatkala pada permulaan kita mempelajari ilmu-ilmu sosial, kita akan selalu bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran dari Aristoteles. Sebab pemikiran dari Aristoteles menjadi kerangka konseptual dari ilmu-ilmu sosial. Berbagai pemikiran dari Aristoteles dapat kita temui melalui tema ; logika, metafisika, filosofi alam, dan negara.  
Khusus pemikiran Aristoteles tentang negara (staat) ulasannya akan mencakup bentuk-bentuk pemerintahan. Dimana Aristoteles membagi tiga bentuk pemerintahan, yang lazim disebutnya dengan istilah tiga macam bentuk tata negara, antara lain : monarki atau basilea, aristokrasi, dan politea atau timokrasi. Dari pemikiran Aristoteles tentang bentuk-bentuk negara tersebut, Aristoteles secara komprehensif  menjelaskan kelebihan dan kelemahannya.(Hatta, 1986, Abu, 2011).
Pemikiran dari Aristoteles menyangkut dengan bentuk-bentuk pemerintahan sampai dengan saat ini masih relevan di bicarakan. Hal ini dikarenakan,  sebagian besar negara-negara di dunia masih menggunakan bentuk-bentuk pemerintahan, yang dikemukakan Aristoteles itu. Penggunaan bentuk-bentuk pemerintahan tersebut,  tentu  tidak semuanya murni lagi. Sebab sudah mengalami modifikasi, yang disesuaikan dengan kondisi sosial politik, dari negara-negara yang menerapkannya, maupun disesuaikan dengan dinamika perkembangan zaman yang terjadi.
Disamping itu juga, pemikiran Aristoteles yang mengulas tentang pelarangan riba sampai dengan penumpukan kapitalis sejalan dengan pemikiran Islam dan Komunisme yang lahir dari pemikiran Karl Heinrich Marx (1818-1883), yang popular melalui karya monumentalnya Manifest der Kommunistichen Partei, dan Achtzehnte Brumaire. Pada titik ini, tentu hal ini menjadi ulasan yang menarik, untuk dibicarakan secara mendetail. Sebab terjadi perjumpaan antara Islam dan Komunisme, yang bersumber dari pemikiran Aristoteles, yang satu sama lainnya dari sisi ajarannya masing-masing saling bertolak belakang.
Hal ini dikarenakan dari sisi teologis Islam adalah agama samawi yang theis,  dimana Islam mempercayai adanya Sang Khalik sebagai Pencipta alam semesta. Sedangkan Komunisme sebagai suatu faham yang lahir dari pemikiran Karl Heinrich Marx,  jika dilihat dari aspek teologis adalah suatu faham yang atheis, dimana tidak mempercayai adanya Sang Khalik sebagai Pencipta alam semesta. Tentu merupakan sesuatu yang saling berbeda antara keduanya, dimana tidak bisa seiring sejalan karena aspek teologis.
Namun dalam perspektif pemikiran Aristoteles, tentu kita tidak sedang membicarakan relasi ini dari sisi teologis. Tapi kita  tengah membicarakannya dari sisi negara (staat). Pasalnya negara merupakan salah satu institusi sosial-kemasyarakatan yang luas dan kompleks. Sehingga pembicaraannya  lebih mengarah pada relasi antara manusia dengan manusia (hablumminannas), yang merupakan elemen vital dari negara, dan bukan relasi antara manusia dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta (hablumminallah), sebagaimana ulasannya dari sisi teologis.  Untuk itu, perdebatan menyangkut atheis dan theis tidak dibahas secara mendetail dalam narasi ini.
Khusus menyangkut dengan relasi Islam segaris dengan pemikiran Aristoteles. Dimana permasalahan ini dapat kita lihat dari pemikiran Aristoteles tentang perbuatan yang paling di celanya,  ialah perbuatan tukar menukar dengan memungut riba.  Menurut Aristoteles bahwa, uang berfungsi sebagai alat tukar, bukan sebagai alat untuk tambahan berupa bunga. Pengambilan bunga secara tetap, tanpa memperhatikan hasil usaha pihak yang mendapatkan pinjaman merupakan sesuatu yang tidak adil.
Beranjak dari argumentasi yang dikemukan Aristoteles itu, tentu perbuatan tukar menukar dengan memungut riba dalam Islam dilarang bahkan diharamkan. Hal ini terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunah. Al-Qur’an menyatakan haram terhadap riba bagi kalangan masyarakat Muslim. Dimana Allah SWT telah mewahyukan adanya larangan riba secara bertahap, sehingga tidak menganggu kehidupan ekonomi masyarakat pada saat itu. Dalam al-Qur’an, perintah dan larangan turunnya wahyu tentang riba, terdiri dari beberapa kali.
Pertama, penekanannya pada kenyataan bahwa bunga tidak dapat meningkatkan kesejahteraan terhadap individu maupun kesejahteraan  secara nasional. Akan tetapi, bunga akan menurunkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Hal ini tertuang dalam Surat ar-Rumm ayat 39 : “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Kedua, wahyu Allah SWT dalam al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 130, memberikan peringatan agar orang Islam tidak memungut bunga, jika mereka benar-benar ingin berhasil dalam hidupnya. Perintah kepada orang yang beriman agar tidak memakan riba dan supaya bertakwa kepada Allah SWT. Hal ini tertuang dalam Surat Ali Imran  ayat 130 : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Ketiga penekanannya pada perbedaan antara transaksi jual beli dan riba. Dalam tahap ini, ditujukkan bahwa riba akan menghancurkan kesejahteraan suatu bangsa. Dalam firman Allah SWT jelas yang isinya memerintahkan agar umat Islam yang beriman menjauhkan diri dari praktik riba atau sejenisnya, karena praktik riba dapat mengakibatkan kesengsaraan di dunia maupun akhirat. Hal ini tertuang dalam surat  al-Baqarah ayat 275 dan 276.
Dimana menyebutkan : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan sepertinya berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni neraka ; mereka kekal didalamnya (275). Allah memusnakan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa (276).”
Keempat, ditekankan bahwa riba itu haram, dan menyatakannya sebagai perintah terlarang bagi umat Islam. Allah memerintahkan orang-orang beriman agar meninggalkan sisa riba. Allah SWT dan Rasulullah SAW akan memerangi praktik riba dalam masyarakat. Hal ini tertuang dalam surat al-Baqarah ayat 278 dan 279 : “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkannlah sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang-orang yang beriman (278). Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (279).”
Ternyata bukan hanya Islam melalui al-Qur’an yang melarang praktik riba di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Namun sejak zaman dahulu kala, sebelum hadirnya Islam praktik riba di tengah-tengah kehidupan masyarakat sudah tidak diperbolehkan. Dimana larangan riba berlaku umum. Fakta ini dapat dilihat pada masyarakat Romawi dan Yunani, dimana sudah melarang pungutan bunga di wilayahnya. Bahkan pratik riba mendapat ganjaran hukum yang ketat.  Pasalnya hanya merugikan masyarakat, yang terlilit dengan praktik riba.(Ismail, 2011).
Sedangkan relasi komunisme yang lahir dari pemikiran Karl Heinrich Marx  dengan perspektif pemikiran Aristoteles, dapat  kita temukan dalam ulasan Aristoteles tentang penumpukan kapital. Dimana Karl Heinrich Marx  beranggapan kapitalisme seluruhnya terarah pada keuntungan pemilik sebesar-besarnya, kapitalisme menghasilkan penghisapan manusia pekerja dan, karena itu pertentangan kelas paling tajam. Akibatnya produksi kapitalistik semakin tidak terjual. Sebab tidak semakin tidak terbeli oleh masa buruh yang sebenarnya membutuhkannya.
Disamping itu, pendapat Aristoteles  bahwa sebagian manusia lahir untuk menjadi tuan, sebagian lagi menjadi budak guna menyelenggarakan pekerjaan kasar. Dari pendapat Aristoteles tersebut juga segaris dengan pendapat Karl Heinrich Marx  menyangkut dengan teori kelas. Dimana dalam padangan Karl Heinrich Marx  bahwa, pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Menurutnya kita telah melihat bahwa, keterasingan manusia adalah hasil penindasan satu kelas oleh kelas lainnya.
Oleh karena itu, emansipasi dari keterasingan itu hanya dapat tercapai melalui perjuangan kelas. Menurut Karl Heinrich Marx, akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Karl Heinrich Marx  berbicara tentang kelas-kelas atas dan kelas-kelas bawah. Hal ini dikarenakan perhatian Karl Heinrich Marx terutama terarah pada masyarakat kontemporer.
Selanjutnya Aristoteles menyebutkan bahwa, perbudakan dapat hilang apabila sudah terdapat alat automatik yang melakukan pekerjaan dengan sendirinya. Bisa dipredisikan bahwa alat automatik tersebut tidak lain adalah penggunaan tenaga mesin, yang hadir seiring dengan modernisasi kemajuan industri secara pesat pada permulaan abad ke-19 di Eropa Barat. Pada titik ini terfokus lagi pada kelas para majikan yang memiliki alat-alat kerja : pabrik, mesin, dan tanah (kalau mereka tuan tanah).
Penggunaan tenaga mesin yang hadir seiring dengan modernisasi kemajuan industri secara pesat pada permulaan abad ke-19 di Eropa  Barat menyedihkan. Pasalnya kemajuan industri secara pesat telah menimbulkan keadaan sosial yang sangat merugikan kaum buruh, seperti misalnya upah yang rendah, jam kerja yang panjang, tenaga perempuan dan anak yang  disalahgunakan sebagai tenaga murah, keadaan dalam pabrik-pabrik yang membahayakan dan menganggu kesehatan.
Kondisi ini turut di kecam oleh Karl Heinrich Marx. Sehingga seperti dikemukakan sebelumnya bahwa, Karl Heinrich Marx menilai kapitalisme seluruhnya terarah pada keuntungan pemilik sebesar-besarnya, kapitalisme menghasilkan penghisapan manusia pekerja dan, karena itu pertentangan kelas paling tajam. Dengan kondisi ini menurutnya bahwa, masyarakat tidak dapat diperbaiki secara tambal sulam dan harus di ubah secara radikal melalui pendobrakan sendi-sendinya. (Magnis, 2005, Budiardjo, 2008).
Pada akhirnya Karl Heinrich Marx menilai, kelas buruh melakukan pekerjaan, tetapi karena mereka tidak memiliki tempat dan sarana kerja, mereka menjual tenaga kerja mereka kepada kelas pemilik. Sehingga hasil kerja dan kegiatan bekerja bukan lagi milik para pekerja, melainkan milik para majikan. Karena itu, dalam sistem produksi kapitalis, dua kelas saling berhadapan yakni kelas buruh dan kelas pemilik. Dimana saling membutuhkan, buruh hanya dapat bekerja apabila pemilik membuka tempat kerja baginya. Dan majikan hanya beruntung dari pabrik dan mesin-mesin yang dimilikinya apabila ada buruh yang mengerjakannya.(M.J.Latuconsina).

Regional Cooperation


Pada sejumlah provinsi yang terdapat dalam suatu kawasan,  dipandang vital dan strategis menghimpunkan diri dalam regional cooperation (kerjasama daerah). Tujuan dari regional cooperation yakni, menciptakan sinergitas dalam percepatan pembangunan di tingkat provinsi. Regional cooperation ini, didukung pula dengan adanya kesamaan karakteristik geografis, sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Berbagai kemiripan karakteristik itu, akan memudahkan regional cooperation diorganisir, untuk percepatan pembangunan di level provinsi.  
Beranjak dari pemikiran itu, tentu tidak ada suatu provinsi pun yang bisa menutup diri, dengan hanya mengandalkan potensi dan kekuatannya sendiri, tanpa melibatkan provinsi-provinsi lainnya dalam pelaksanaan pembangunan di provinsinya. Memaknai urgennya regional cooperation pada level provinsi itu, maka merupakan suatu keniscayaan regional cooperation pada level provinsi diadakan. Pasalnya  regional cooperation, akan menyatukan persepsi dalam rangka percepatan pembangunan pada tingkat provinsi.
Model rill regional cooperation antar provinsi dalam suatu kawasan di tanah air, sudah digagas oleh provinsi se Sulawesi pada 19 Oktober 2000 silam, dengan nomenklaturnya ; Badan Kerjasama Pembangunan Regional Sulawesi (BKPRS), yang anggotanya terdiri dari enam provinsi yakni : Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Provinsi Sulawesi Utara. Karakteristik geografis, sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang realitif sama menjadi latarbelakang lahirnya kerjasama regional pada enam provinsi di Pulau Sulawesi itu.
Sebelumnya pada masa lampau, Sulawesi merupakan salah satu kawasan di tanah air, yang sangat bergolak. Ini nampak pada berbagai peristiwa bersenjata, yang menimbulkan huru hara dengan korbannya rakyat sipil, antara lain ; pembantain Westerling di Makassar (1946-1947), DI/TII Kahar Muzakar (1950-1960), Andi Asiz (1950), dan Permesta (1958-1961). Masa kelam Sulawesi dengan berbagai peristiwa bersenjata, yang menimbulkan huru hara dengan korbannya rakyat sipil, telah berlalu puluhan tahun silam. Kini Sulawesi tengah melakukan transformasi menuju kemajuan bersama dalam bentuk kerjasama regional.
Regional cooperation pada enam provinsi itu, guna mendorong percepatan pembangunan, yang dilakukan dengan mengoptimalkan potensi sumber daya enam provinsi se-Sulawesi, meningkatkan infrastruktur, menyediakan akses pelayanan publik yang lebih terjangkau dan memadai, serta mendorong peningkatan daya saing perekonomian regional, untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi Sulawesi yang berkualitas. Pencapaiannya, tentu akan berdampak positif pada kemajuan pembangunan ke-enam provinsi itu, terhadap provinsi-provinsi tentangga yang berada di Pulau Kalimantan, Kepulauan Maluku, dan Pulau Papua.
Pencapaian itu, bukan hanya merupakan mimpi kosong dari kerjasama regional enam provinsi di Sulawesi itu. Pasalnya secara rill Sulawesi saat ini sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat menjanjikan, dimana angka pertumbuhan ekonomi Sulawesi rata-rata diatas 8%. Begitu pula pertumbuhan dalam sektor konstruksi mencapai 10% hingga 11%. Menggeliatnya pertumbuhan ekonomi dan konstruksi yang signifikan itu, telah melampaui Pulau Kalimantan, Kepulauan Maluku, dan Pulau Papua. Tak pelak Sulawesi menjadi magnet baru setelah Pulau Jawa.
Bahkan resonansi dari pencapaian keberhasilan pembangunan ke-enam provinsi di Sulawesi itu, turut pula dirasakan provinsi-provinsi lainnya di Nusa Tenggara, Pulau Jawa, dan Pulau Sumatera. Hal ini tidak terlepas dari adanya jalinan interaksi sosial, komunikasi, ekonomi, dan politik yang melibatkan para penggerak sosial, komunikasi, ekonomi, dan politik di antara ke enam provinsi di Sulawesi itu, dengan para penggerak sosial, komunikasi, ekonomi, dan politik di provinsi-provinsi yang berada di Nusa Tenggara, Pulau Jawa, dan Pulau Sumatera.
Pencapaian keberhasilan pembangunan ke enam provinsi itu, didukung juga dengan posisinya, yang menguntungkan dari sisi geopolitik, dan geostartegis. Sebab berada pada posisi sentral Kepulaun Indonesia. Dengan letak ke-enam provinsi se Sulawesi yang berada pada posisi sentral Kepulaun Indonesia, tentu ke-enam provinsi se Sulawesi ini, akan menjadi instrumen vital guna menjembatani ketimpangan pembangunan, yang tengah terjadi pada berbagai bidang, antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia.
Memahami posisi Sulawesi yang sentral itu, maka tentunya ke-enam provinsi di Sulawesi, yang terhimpun dalam BKPRS itu hendak menjadi lokomotif pembangunan regional, yang dampak positifnya untuk  percepatan pembangunan nasional. Keniscayaan kemajuan Sulawesi saat ini, berkat adanya regional cooperation, dimana menjadi optimisme bagi masa depan Sulawesi yang menjanjikan. Pasalnya mampu memajukan pertumbuhan ekonomi dan konstruksi. Dengan keberhasilan ini, maka tidak akan lagi menjadikan Pulau Jawa sebagai satu-satunya pusat kemajuan pembangunan Indonesia.
Berkaca dari model regional cooperation di Sulawesi, tentu perlu di akomodasi oleh provinsi-provinsi se kawasan di Indonesia timur, untuk bisa dikonkritkan secara rill, dimana memiliki kontribusi yang positif guna memaksimalkan percepatan pembangunan. Akomodasi itu bisa di riil-kan dengan mengaggas regional cooperation antar Provinsi  Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pasalnya karakteristik geografis, sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang relatif sama.
Potensi ke-enam provinsi pada sektor perikanan dan kelautan, pariwisata, pertambangan dan energi, perdagangan, serta transportasi sangat besar untuk digarap, yang output positifnya bagi pendapatan ke-enam provinsi itu. Sehingga bisa digunakan sebagai self supporting untuk pembiayaan pembangunan. Menyadari potensi itu, maka perlu adanya kesamaan visi dan misi guna mencapai kebehasilan pembangunan pada ke-enam provinsi ini, dengan menghimpunkan diri dalam regional cooperation. Pasalnya regional cooperation, menjadi wadah untuk menciptakan sinergitas, guna percepatan pembangunan pada ke-enam provinsi itu.
Apalagi ketimpangan pembangunan pada ke-enam provinsi itu, dibandingkan dengan provinsi-provinsi tetangga, yang berada di Pulau Sulawesi dan Pulau Jawa sangat jauh. Sebab, angka kemiskinan penduduk yang cukup memprihatinkan, dimana Maluku 19,26%, Maluku Utara 6,33%, Papua 28,4%, Papua Barat 25,43%, Nusa Tenggara Barat 16,02%, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur 22,9%. Paling tidak keberadaan regional cooperation, yang melibatkan ke-enam  provinsi itu akan berimplikasi positif terhadap pencapaian kesejahteraan rakyat, sekaligus menurunkan angka kemiskinan, yang cukup memprihatinkan itu.
Bukan hanya itu saja, namun regional cooperation ke-enam provinsi itu dalam rangka merespons Nawacita (2014-2019), yang merupakan sembilan angenda prioritas untuk Indonesia, dari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kala (JWJK), yang salah satunya poinnya yakni ; pembangunan perbatasan, yang dikonkritkan dalam membangun dari pinggiran secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan sekitar 70% kawasan pinggiran, yang menjadi prioritas pembangunan dari pemerintahan JWJK berada pada ke-enam provinsi ini.
Regional cooperation ke-enam provinsi ini juga didukung oleh aspek goepolitik dan geostargis. Sebab letak ke-enam provinsi ini merupakan beranda negara, dimana berdekatan dengan negara-negara tetangga yakni ; Filipina, Australia, Timur Leste, Palau, dan Papua Nugini. Oleh karena itu, regional cooperation ke-enam provinsi akan mampu mempercepat keberhasilan pembangunan pada wilayah ke-enam provinsi itu. Bahkan kemajuan dari pembangunan ke-enam provinsi itu, akan terpancar dan terasa hingga ke-empat negara tetangga itu.
Kalau dilihat secara saksama pemikiran ke arah regional cooperation, diantara ke-enam provinsi ini masih dilakukan secara sporadis. Salah satunya bisa dilihat dari kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) bersama antara Provinsi Maluku, dan Provinsi Maluku Utara 9-8 April 2017 lalu, yang bertempat di KM. Doro Londa. Dimana dalam Musrembang kedua provinsi ini dihasilkan sejumlah kesepakatan kerjasama melalui Memorandum of Understanding (MOU) pada bidang perencanaan, pembangunan, dan pengembangan wilayah.
Adanya regional cooperation antara kedua provinsi itu, karena relatif memiliki kesamaan dalam aspek ; geografis, sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Kita berharap hasil dari regional cooperation antara kedua provinsi dalam bidang perencanaan, pembangunan, dan pengembangan wilayah dapat benar-benar direalisasikan, dan hasilnya dapat juga dirasakan oleh rakyat di kedua provinsi kembar itu. Regional cooperation antara kedua provinsi kembar itu patut direspons secara positif, karena akan mempercepat pembangunan pada kedua provinsi ini.
Namun kedepan regional cooperation tidak dilakukan secara sporadic, yang hanya melibatkan dua provinsi saja, tapi harus dilakukan ekspansi dengan melibatkan ke-empat provinsi lainnya. Jika regional cooperation ke-enam provinsi itu direalisasikan,  dipastikan akan dapat menaikan posisi tawar ke-enam provinsi itu, dari sisi pertumbuhan ekonomi dan inprastruktur. Sehingga bisa meninggalkan ketimpangan pembangunan. Begitu pula dengan regional cooperation itu, akan menjadikan ke-enam provinsi ini bergeliat dalam pertumbuhan ekonomi dan inprastruktur. Sehingga bisa menjadi magnet baru setelah Pulau Jawa, dan Sulawesi, yang outputnya bagi kemajuan bersama Indonesia.(M.J.Latuconsina).

PINA

Pada era pemerintahan Presiden Suharto (1965-1998) pelaksanaan pembangunan nasional, yang tertuang dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) gencar dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan penyehatan kehidupan berbangsa dan bernegara pada semua lini, setelah di era pemerintahan Presiden Sukarno (1945-1965) tidak maksimal, yang ditandai dengan terjadinya hiperinflasi, yang tidak terkendali. Kondisi ini terjadi, akibat kurang perhatiannya pemerintahan pada massa itu, terhadap pelaksanaan pembangunan nasional, karena disibukan dengan percaturan politik nasional, yang berdampak buruk pada colapsnya pemerintahan Presiden Sukarno di tahun 1965.
Pelaksanaan pembangunan nasional yang terimplementasi dalam Pelita, merupakan penjabaran rill dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang sebelumnya ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam GBHN tertuang visi dan misi bangsa, yang  berguna untuk menetapkan arah pembangunan nasional, dan menunjukan apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat secara umum. Kondisi ini menunjukan MPR memiliki posisi, yang strategis pada massa itu. Dimana sesuai Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebelum diamandemen menyebutkan, MPR memiliki kewenangan menetapkan UUD dan GBHN.
Pada pelaksanaan pembangunan nasional, yang terimplementasi dalam Pelita, dengan mengedepankan trilogi pembangunan, yang menitikberatkan pada tiga aspek vital strategis, antara lain ; stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya. Meskipun tiga aspek vital strategis pembangunan ini, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan pada Pelita I (1969-1974), II (1974-1979), III (1979-1984), IV (1984-1989) dan Pelita V (1989-1994). Namun realisasi dari trilogi pembangunan ini menuai kontroversi.
Kontroversi itu dikarenakan, pelaksanaan stabilitas politik menghasilkan regulasi dimana diterbitkan sejumlah peraturan, yang mengakibatkan pengendalian pers, dan pengendalian aksi mahasiswa. Dalam hal prosedural diterbitkan Undang-Undang tentang Organisasi Massa, dan Undang Undang Partai Politik. Begitu pula pertumbuhan ekonomi menghasilkan penanaman modal asing, yang mengakibatkan hutang luar negeri. Serbuan para investor asing ini kemudian melambat ketika jatuhnya harga minyak dunia, yang mana selanjutnya dirangsang ekstra melalui kebijakan deregulasi (liberalisasi) pada tahun 1983-1988.
Tanpa disadari, kebijakan penarikan investor yang sangat liberal ini mengakibatkan undang-undang Indonesia, yang mengatur arus modal menjadi yang sangat liberal di lingkup dunia internasional. Namun kebijakan yang sama juga menghasilkan intensifikasi pertanian di kalangan petani, dan dalam pemerataan hasil, pelaksanaannya membuka jalur-jalur distributif seperti kredit usaha tani, dan mitra pengusaha besar dan kecil seperti (bapak asu). Dampak negatif dari trilogi pembangunan ini sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembangunan nasional melalui Pelita.
Diluar itu, rata-rata pelaksanaan pembangunan nasional di tanah air kala itu melalui Pelita, dibiayai oleh negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini dikarenakan, APBN memiliki peran yang signifikan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional. Peran rill APBN itu, dapat dilihat dari Pelita I sampai dengan Pelita V, dimana pertumbuhan APBN mencapai 23 persen pertahun, sekitar empat kali lipat pertumbuhan ekonomi (=6,8%). Atas dasar itu, maka tentunya pelaksanaan pembangunan nasional melalui Pelita di tanah air sangat tergantung pada support APBN.
Seiring perjalanan waktu, Pelita yang direalisasikan pemerintahan Presiden Suharto sejak tahun 1969 mengalami kemandekan di tahun 1998. Stagnasi ini terjadi seiring mundurnya Presiden Suharto pada 21 Mei 1998. Mundurnya presiden kedua itu, diakibatkan krisis keuangan Asia yang menjadi efek domino bagi colapsnya ekonomi nasional, yang berdampak negatif terhadap stabilitas politik dan keamanan nasional. Sehingga partai politik, berbagai kelompok kepentingan, dan kelompok penekan yang terdiri dari ; mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa keagamaan, organisasi massa non keagamaan bersatu padu menekan Presiden Suharto agar turun dari jabatannya.
Pasca pemerintahan Presiden Suharto tidak lagi dikenal Pelita, yang dikenal adalah Program Pembangunan Nasional (Propenas), dengan landasan hukumnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang  Propenas Tahun 2000-2004, yang lahir di era pemerintahan K.H. Abdurahman Wahid-Megawati Sukarno Putri (2000-2001). Pasalnya GBHN yang dijadikan dasar bagi pelaksanaan Pelita, tidak lagi ditetapkan MPR. Hal ini terjadi seiring dengan amandemen UUD 1945 pada 19 Oktober 1999, dimana pada Pasal 3 menyebutkan MPR memiliki kewenangan ; mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatanya menurut UUD.
Terlepas dari itu, pada era pemerintahan reformasi model pembangunan nasional melalui ketergantungan pada APBN diminimalkan. Cara ini ditempuh, untuk mengoptimalkan keberhasilan berbagai proyek pembangunan nasional. Kondisi ini dilihat pada era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JWJK), dimana diluncurkan kebijakan Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA). Adapun sumber pembiayaan PINA tidak berasal dari APBN melainkan berasal dari ; penanaman modal, dana kelolaan perbankan, pasar modal, asuransi dan pembiayaan lain yang sah. Diluncurkan kebijakan pemerintahan JWJK melalui realisasi PINA, dikarenakan ruang fiskal APBN saat ini semakin terbatas, sehingga dibutuhkan sumber non-anggaran pemerintah.
Kebijakan pemerintahan JWJK melalui realisasi PINA juga adalah skema baru selain program public private patnership (PPP) maupun kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Dimana kebijakan pemerintahan JWJK melalui realisasi PINA ini, merupakan salah satu cara dari pemerintah dalam mendorong optimalisasi pembangunan infrastruktur secara massif. Sehingga target proyek pembangunan yang membutuhkan modal besar, tidak mengalami kemandekan 5 sampai dengan 10 tahun, yang diakibatkan minimya support anggaran, yang selalu diharapkan melalui APBN.
Konteks realisasi kebijakan pemerintahan JWJK melalui PINA, didesain untuk mengisi kekurangan pendanaan proyek-proyek infrastruktur prioritas yang membutuhkan modal besar, tetapi tetap dinilai baik secara komersial. Hal ini dikarenakan, jika pendanaan proyek-proyek infrastruktur prioritas yang membutuhkan modal besar, tetapi tetap dinilai baik secara komersial dibebankan pada APBN, maka akan memberatkan APBN. Pasalnya APBN tidak hanya diprioritaskan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur prioritas, yang membutuhkan modal besar saja. Tapi diprioritaskan juga untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur prioritas, yang berskala kecil dan menengah yang memiliki kontribusi signifikan bagi rakyat.
Atas dasar itu, maka pembiayaan infrastruktur dengan skema PINA sangat vital. Hal ini dalam rangka mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pihak swasta dalam pembiayaan proyek pembangunan sekaligus mensukseskan proyek pembangunan, tanpa bergantung pada support pembiayaan proyek pembangunan dari APBN. Adapun kriteria proyek yang dapat dibiayai melalui skema PINA, yaitu ; proyek yang mendukung pencapaian target prioritas pembangunan, proyek yang memiliki kelayakan komersial, proyek yang memiliki manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat, serta proyek yang telah memiliki kesiapan (readiness criteria).
Tindaklanjut rill dari kebijakan pemerintahan JWJK melalui PINA telah berhasil mendorong pembiayaan tahap awal pada 9 ruas jalan Tol senilai 70 triliun rupiah, di mana 5 diantaranya adalah Tol Trans Jawa. Pada pilot program PINA ini, PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) dan PT Taspen (Persero) memberikan pembiayaan ekuitas tahap awal kepada PT Waskita Toll Road sebesar 3,5 triliun sehingga total ekuitas menjadi 9,5 triliun dari kebutuhan 16 triliun. Program PINA akan mendorong agar kekurangan ekuitas itu dapat dipenuhi pada tahun 2017 atau awal tahun 2018 dengan mangajak berbagai institusi pengelola dana yang ada.
Kebijakan pemerintahan JKWK melalui realisasi PINA, perlu mendapat perhatian serius dari rakyat. Pasalnya dikeluarkan dalam rangka menggenjot keberhasilan pembangunan nasional, sekaligus meminimalkan kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI), dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Kesenjangan pembangunan itu berdasarkan fakta rill, dimana di KBI seperti Jawa ketersediaan infrastruktur ekonomi, energi, dan teknologi informasi dan komunikasi (teknoinfokom) sudah mencapai 51,45 persen. Sedangkan KTI seperti di Papua hanya mencapai 19,22 persen, dan Maluku hanya mencapai 29,88 persen.
Khusus untuk Maluku, tentunya sangat membutuhkan kebijakan pemerintahan JWJK melalui implementasi rill PINA. Pasalnya berbagai inprastruktur strategis yang perlu dikerjakan dan diselesaikan, dimana memiliki manfaat bagi kepentingan rakyat Maluku.  Misalnya saja dari 11 proyek yang diusulkan Pemerintah Provinsi Maluku kepada kementerian atau lembaga terkait di Jakarta pada Februari 2017 lalu, dimana yang sudah disetujui sebanyak 10 proyek. Diantara ke-10 proyek itu ; trans Maluku, jalan, peningkatan produksi pertanian, pasar, kesehatan, dan proyek pengembangan pariwisata.
Sayangnya ke-10 proyek itu belum bisa direalisaikan melalui skema PINA. Sebab ke-10 proyek itu dibiayai melalui APBN dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun diperkirakan ke-10 proyek di Maluku itu memiliki pembiayaan dalam kategori menengah, sehingga tidak dikawal melalui kebijakan pemerintahan JWJK lewat realisasi PINA. Oleh karena itu, support pembiayaannya hanya berasal dari APBN dan DAK. Diharapkan kedepan jika Maluku dialokasikan proyek pembangunan inprastruktur skala besar, dengan pembiayaan yang besar bisa dikawal melalui skema PINA.(Haryadi : 2015, Boediono : 2016, Detik, Wikipedia : 2017).(M.J.Latuconsina).

Para Rezim Predator

Kurang lebih enam belas tahun kita telah melewati era pemerintahan Orde Baru, suatu era yang di warnai dengan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Era pemerintahan Orde Baru yang di warnai dengan praktek KKN tersebut, sebenarnya tidak terlepas dari ciri khas pemerintahan yang monopolistik, oligarkis, dan aristokratis, yang semuanya terpusat pada Suharto selaku Presiden kala itu. Sehingga sama-sama bersinergi untuk hal-hal yang negativ, dimana hanya merugikan pertumbuhan demokrasi kita. Konsekuensinya berdampak terhadap malapetaka bagi kita, dengan semakin kokohnya pemerintahan rezim Orde Baru sebagai rezim predator.
Sebagai rezim predator, rezim pemerintahan Orde Baru kemudian mengeruk kekayaan minyak dan gas (migas) yang dimiliki oleh Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Papua untuk di nikmati bersama kroni-kroninya. Padahal kekayaan migas yang dimiliki oleh daerah-daerah tersebut, mestinya di kelolah untuk kesejahteraan rakyat, tapi justru sebaliknya di kelolah untuk kepentingan pemerintahan rezim Orde Baru bersama kroni-kroninya. Kondisi ini pun melahirkan kecumburuan dari daerah-daerah penghasil migas, yang ditandai dengan kuatnya semangat perlawanan daerah-daerh itu terhadap pemerintahan rezim Orde Baru, yang berpusat di Jakarta.
Semangat perlawanan itu, di lakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berpusat di Aceh, dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang berpusat di Papua. Rupanya ketidakpuasan itu, tidak dijawab pemerintahan rezim Orde Baru dengan kebijakan untuk mensejahterahkan rakyat di daerah-daerah ini, namun dijawab dengan operasi militer. Ternyata operasi militer yang dilakukan pemerintahan rezim Orde Baru, bukan suatu solusi yang baik bagi penyelesaian konflik untuk daerah-daerah yang kaya akan migas itu, namun justru perlawanan daerah-daerah ini tidak berhenti.
Perlawanan daerah-daerah terhadap pemerintahan rezim Orde Baru, sebenarnya merupakan pengulangan dari kisah yang sama, yang pernah di alami pemerintahan rezim Orde Lama terhadap daerah-daerah yang kaya akan migas. Dengan kondisi ini, tentu pupus harapan rakyat, pasalnya kelahiran pemerintahan rezim Orde Baru yang disebut sebagai suatu bentuk koreksi terhadap pemerintahan rezim Orde Lama, dengan pencarian lima bentuk ketertiban sebagaimana dikemukakan Herbert Feith (1968) dalam karyanya yang berjudul “Soeharto’s Search for a Political Format, Indonesia” yakni ; political order, social order, economi order, legal order, dan security order ternyata dalam perjalanannya tidak terimplementasi, untuk membawa perubahan yang baik bagi pertumbuhan demokrasi kita.
Pemerintahan rezim Orde Baru kemudian mengalami transformasi ke pemerintahan rezim Orde Reformasi akibat prahara politik nasional, yang berawal dari krisis ekonomi nasional di tahun 1998. Dari transformasi pemerintahan itu terbersit optimisme rakyat bahwa, mereka akan beralih kepada suatu era, dimana mereka akan terbebas dari praktek KKN, yang sinergis dengan praktek pemerintahan yang monopolistik, oligarkis, dan aristokratis. Sayangnya dalam perjalanan pemerintahan era Orde Reformasi terseok-seok untuk meningkatkan pertumbuhan demokrasi kita, yang lebih baik lagi. Hal ini semakin menguatirkan, karena kita terancam gagal menjadi salah satu negara, yang sukses melakukan transisi demokrasi.
Salah satu hal yang menunjukan kita terancam gagal menjadi salah satu negara, yang berhasil melakukan transisi demokrasi, bisa kita simak di tingkat lokal. Dimana sejak di berlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah (Otoda) Nomor 22 Tahun 1999 di tahun 2000, dan kemudian di revisi menjadi Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda) Nomor 32 Tahun 2004, yang di berlakukan di tahun 2005, sebagai pijakan pelaksanaan otonomi daerah, bukannya melahirkan praktek pemerintahan yang demokratis di daerah, namun sebaliknya melahirkan praktek pemerintahan yang penuh dengan KKN, dan sinergis dengan praktek kekuasaan yang monopolistik, oligarkis, dan aristokratis.  
Bahkan naifnya lagi era pemerintahan Orde Reformasi hanya melahirkan para rezim predator di level lokal. Salah satunya bisa di simak di Provinsi Banten yakni, Ratu Atut Chosiyah yang kini tengah menduduki jabatan Gubernur Provinsi Banten. Dimana ibu tiri Atut Heryani Wakil Bupati Pandeglang, adik tiri Atut Tubagus Chaerul Jaman Walikota Serang, adik kandung Atut Ratu Tatu Chasanah Wakil Bupati Serang, adik ipar Atut Airin Rachmi Diany Walikota Tanggerang Selatan, suami Atut Hikmat Tomet Anggota Komisi V DPR, anak pertama Atut Andhika Hazrumy anggota DPD, dan istri Andhika Ade Rosi Khoirunnisa Wakil Ketua DPRD Kota Serang.
Fenomena serupa juga bisa di lihat Provinsi Sulawesi Selatan yakni, Syahrul Yasin Limpo yang kini tengah menduduki jabatan Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan. Dimana kakak Syahrul Tenri Olle Yasin Limpo anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, adik Syahrul Haris Yasin Limpo anggota DPRD Kota Makassar, adik Syahrul Ichsan Yasin Limpo Bupati Gowa, dan adik bungsu Syahrul Irman Yasin Limpo Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan. Diluar itu, ada juga rezim predator yang mulai mekar di tingkat lokal, yakni kakak beradik Qurais Abidin dan Abdul Rahman Abidin yang baru pada Agustus lalu dilantik, sebagai Walikota dan Wakil Walikota Bima periode 2013-2018.
Dari sekian rezim predator yang ada di tingkat lokal, yang paling menunjukan eksistensinya di ranah publik yakni, rezim Atut Gubernur Provinsi Banten. Hal ini dikarenakan rezim Atut sangat di warnai dengan praktek pemerintahan yang penuh dengan KKN, dan sinergis dengan praktek pemerintahan yang monopolistik, oligarkis, dan aristokratis. Dimana berkolusi untuk hal-hal yang negativ. Hal ini bisa di lihat dari pengendalian ranah politik, birokrasi, dan ekonomi di Provinsi Banten oleh rezim Atut demi keuntungan yang di dapatkan, dan mengesampingkan partisipasi dari aktor-aktor lain.
Atas praktek rezim predator yang marak di tingkat lokal tersebut, tidak salah jika Peter B. Evans (1989) yang di kutip pemikirannya oleh Francis Fukuyama (2005) dalam karyanya yang berjudul “Memperkuat Negara, Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21” menyebutnya sebagai perilaku predator, dimana sebagian besar di curi oleh individu. Individu yang dimaksudkan  tersebut, tentu tidak lain adalah rezim di tingkat lokal, yang hanya menumpuk kekayaan pribadi, sementara pembangunan di wilayahnya tidak mengalami kemajuan yang pesat, dimana hanya menyisahkan kemiskinan bagi rakyatnya sendiri.
Tumbuh suburnya rezim predator di daerah, sebanarnya tidak terlepas dari budaya politik patrimonial, yang telah mengakar dalam budaya politik kita. Sehingga meskipun terjadi transformasi pemerintahan dari rezim Orde Baru ke pemerintahan rezim Orde Reformasi, budaya politik ini mengalami penyesuaian bentuknya. Dalam budaya politik patrimonial lebih mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, yang merujuk pada prestasi. Budaya politik ini, telah mengalami evolusi menjadi budaya politik neopatrimonial. Dimana di dalamnya terdapat unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru.
Hal ini yang membedakannya, dimana dulunya model pewarisan kepemimpinan dalam pemerintahan di tunjuk langsung oleh pimpinan pemerintahan yang hendak turun tahtanya, namun sekarang mengalami proses evolusi melalui jalur politik yang prosedural. Dimana salah satunya melalui pemilukada langsung. Sehingga anak atau keluarga para elite di daerah masuk institusi yang telah disiapkan, yaitu melalui partai politik. Oleh karena itu, model patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural formal yang mengikutsertakan partisipasi para elite, yang mendapat dukungan dari rakyat.
Salah satu solusi yang baik, untuk menghilangkan praktek rezim predator di tingkat lokal, yang selalu di warnai dengan praktek KKN, dan selalu juga sinergis dengan praktek pemerintahan yang monopolistik, oligarkis, dan aristokratis, yakni melalui regulasi. Hal ini dikarenakan melalui regulasi akan mampu mengerem keinginan dari para aktor-aktor politik di level lokal, guna mengakumulasi pemerintahan mereka menjadi rezim predator, yang hanya merugikan rakyat, dan mengabaikan kesejahteraan rakyat.

Untuk solusi di maksud, Komisi II DPR RI yang kini tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah mengusulkan pasal-pasal yang membatasi praktek rezim predator di tingkat lokal. Dimana dalam draf RUU Pilkada pada Pasal 12 huruf (p) disebutkan bahwa calon gubernur tidak boleh memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu tahun. Sementara itu, dalam Pasal 70 huruf (p) disebutkan bahwa, calon bupati tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan kesamping dengan gubernur dan bupati/walikota, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.(Dwipayana, Kompas, Tribun News, Politik Indonesia, 2013).(M.J.Latuconsina).