Public policy yang populer dengan sebutan kebijakan
publik merupakan suatu keputusan strategis, yang dibuat dan selanjutnya di realisasikan
sebagai solusi, untuk mengatasi berbagai permasalahan rakyat, yang selalu hadir
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada negara-negara yang menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya, public
policy biasanya dibuat oleh lembaga-lembaga formal. Lembaga-lembaga formal itu adalah
lembaga eksekutif dan lembaga legislative. Sedangkan lembaga-lembaga non formal
yang mempengaruhi public policy yakni, kelompok kepentingan (interst groups), kelompok penekan (pressure groups), dan partai politik
oposisi (opposition
political parties).
Pada negara-negara yang menganut demokrasi dalam sistem
politiknya, pengisian formasi keanggotaan lembaga eksekutif dan lembaga
legislatif, yang memiliki kewenangan untuk membuat suatu public policy melalui
pemilihan umum (general elections). Disamping itu ada pula formasi keanggotaan dari
lembaga eksekutif, yang diangkat oleh pejabat eksekutif pada struktur organisasi
yang lebih tinggi, dimana juga memiliki kewenangan yang sama, untuk membuat
suatu public policy. Sementara pengisian formasi keanggotaan lembaga-lembaga non
formal seperti kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi dilakukan melalui mekanisme internal, yang memenuhi
prinsip-prinsip demokrasi.
Lembaga eksekutif dan lembaga legislative, yang diberikan
mandat oleh rakyat melalui Pemilu maupun yang diangkat, dalam membuat public
policy melalui proses politik, harus benar-benar mengakomodasi kepentingan
rakyat. Pasalnya lembaga eksekutif dan lembaga legislative merupakan
representasi rakyat dalam suatu negara, yang mempraktekan demokrasi dalam sistem
politiknya. Sehingga mengakomodasi kepentingan rakyat dalam public policy,
merupakan bentuk akuntabilitas kinerja dari lembaga eksekutif dan lembaga
legislative kepada rakyat. Hal ini yang kemudian populer dengan jargon
substansial demokrasi, sebagai pemerintahan dari rakyat untuk rakyat dan oleh
rakyat.
Peran kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi yakni
mempengaruhi public policy, yang sebelumnya
dibuat oleh lembaga eksekutif dan lembaga legislative agar sesuai dengan
kepentingan rakyat melalui kegiatan parlementer maupun ekstra parlementer.
Peran ini dilakukan dengan cara-cara persuasiv melalui dialog, lobi, petisi, demonstrasi,
pemogokan sampai dengan tindakan anarkis yang digunakan sebagai instrument
politik, untuk mempengaruhi pengambilan keputusan (decision making), dari lembaga eksekutif dan
lembaga legislative guna merevisi suatu public policy. Hal ini akan dilakukan tatkala
public policy itu krusial, dan berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak.
Misalnya public policy yang terkait kenaikan tarif bahan
bakar minyak (BBM) berimplikasi negativ pada naiknya harga kebutuhan pokok, tarif
listrik, tarif air, dan naiknya tarif angkutan umum. Pada akhirnya juga akan
semakin menambah beban kehidupan rakyat. Hal ini dikarenakan rendahnya daya beli
rakyat sebagai akibat naiknya tarif BBM. Sehingga angka pengangguran dan
kemiskinan pun bertambah. Melihat kondisi rill ini, tentunya kelompok
kepentingan, kelompok penekan,
dan partai politik oposisi tidak akan tinggal diam. Mereka akan melakukan berbagai
aktifitas politik, agar pihak eksekutif dan legislatif bisa meninjau kembali policy
kenaikan tarif BBM, dengan cara menurunkan tarif BBM.
Bisa juga atas desakan itu, dilakukan peninjauan
kembali kenaikan tarif BBM oleh pihak eksekutif dan legislative, dengan
mengeluarkan public policy alternativ, untuk meringkan beban hidup rakyat seiring
dengan kenaikan tarif BBM. Misalnya program
konpensasi pengurangan subsidi BBM (PKPS-BBM) di era pemerintahan
SBY-JK. Publik policy ini merupakan antisipasi dari naiknya harga barang, dan jasa yang di akibatkan
kenaikan tarif BBM pada 1 Agustus 2005, dimana pemerintah meluncurkan dana
sebesar Rp 18.139,2 milyar, yang diperuntukan bagi bantuan subsidi bidang
pendidikan sebesar Rp 6.217,9 milyar, bidang kesehatan sebesar Rp 3.875,2
milyar, inprastruktur pedesaan sebesar Rp 3.342,1 milyar, dan bantuan langsung
tunai (BLT) sebesar Rp 4.650,0 milyar.
Konteks pembuatan dan mempengaruhi public policy oleh
lembaga-lembaga formal dan non formal itu, lazim disebut dengan model institusional
(kelembagaan). Pasalnya elemen-elemen yang berperan dalam proses pembuatan dan
kontrol terhadap public policy adalah lembaga-lembaga resmi dan non resmi, yang
ada dalam pemerintahan suatu negara demokrasi. Menurut Islamy Irfan (2014) dalam
bukunya yang berjudul “Principles of State Policy Formulation” bahwa, fokus dari model ini terletak pada struktur organisasi
pemerintah. Sebab kegiatan-kegiatan politik berpusat pada lembaga-lembaga
pemerintah seperti lembaga legislative, eksekutif, dan yudikatif maupun lembaga-lembaga
non formal seperti kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi.
Disamping model institusional (kelembagaan) dalam
pembuatan public policy, yang melibatkan lembaga-lembaga resmi dan non resmi
pada suatu negara yang menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya, terdapat
juga delapan model lain dalam pembuatan public policy. Hal ini sebagaimana
rumusan yang lahir dari gagasan pemikiran Thomas R.
Dye (1995), yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul “Understanding
Public Policy” yakni ; model proses, kelompok, elite, teori
rasional, ikramental, teori permainan, pilihan publik, dan model sistem.
Berbagai model dalam pembuatan public policy ini, tentu masing-masing memiliki
kelebihan dan kekuarangan, dimana pengadopsiannya disesuaikan dengan dinamika
internal dan eskternal pada suatu negara.
Terlepas dari itu, meskipun pada kenyataanya lembaga eksekutif
dan legislative memiliki peran yang sangat dominan dalam pembuatan suatu public
policy, tentu tidak bisa dikesampingkan begitu saja peran dari lembaga
yudikatif. Sebab lembaga yudikatif memiliki peran untuk melakukan penegakkan
hukum (law enforcement), yang terkait dengan mengamankan implementasi dari public policy
kepada rakyat, dari protes-protes yang mengarah pada tindakan anarkisme
terhadap public policy itu, yang dilakukan oleh kelompok kepentingan, kelompok
penekan, dan partai politik oposisi.
Hal ini dilakukan guna menjamin stabilitas sosial politik,
ekonomi, dan stabilitas keamanan negara. Sehingga kontuinitas roda pemerintahan
bisa tetap berjalan dengan baik. Kondisi ini biasanya ditemui tatkala public
policy itu krusial, dan berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak. Misalnya
dalam public policy kenaikan tarif BBM yang dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan
disetujui oleh lembaga legislatif. Peran pengamanan ini biasanya dilakukan oleh
Polri. Pasalnya Polri memiliki kewenangan dalam bidang penegakkan hukum dan
keamanan (law enforcement and security).
Hal ini bisa dilihat dari peran Polri yang selalu
mengarahkan ratusan personilnya, pada
seluruh daerah di tanah air, untuk mengamankan demonstrasi akibat public policy
naiknya tarif BBM, yang dilakukan oleh kelompok kepentingan, kelompok penekan
dan partai politik oposisi terhadap lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Dimana
demonstrasi ini sering kali melibatkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas
Indonesia (UI), Univeritas Gadjah Mada (UGM), Universitas Trisakti, Universitas
Hasanuddin (Unhas), Sarikat Pekerja Nasional (SPN), Sarikat Pekerja Indonesia
(SPI), Konfederasi Aliansi Sarikat Buruh Indonesia (KASBI), Partai Rakyat
Demokratik (PRD), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Dalam negara yang menganut demokrasi dalam sistem
politiknya, tentu peran politik yang dilakukan oleh kelompok kepentingan,
kelompok penekan, dan partai politik oposisi terkait dengan demonstrasi akibat public
policy naiknya tarif BBM, merupakan suatu hal yang sah-sah saja, dimana
merupakan mekanisme cheks and balances
terhadap lembaga eksekutif dan lembaga legislative, yang dikuasai oleh
partai-partai politik yang dominan suaranya dalam Pemilu. Hal ini dilakukan, untuk
menghindari penyalagunaan kekuasaan
(abuse of power), dari lembaga-lembaga formal ini dalam membuat suatu public
policy.
Praktek ini merupakan esensi
penting dari suatu negara, yang memadang dirinya sebagai pelaksana kedaulatan
rakyat (popular sovereignty implementing). Dimana
kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan
rakyat. Hal ini sebagaimana pendapat John Locke
(1689) yang populer melalui karya
monumentalnya yang berjudul “Two
Treatises of Government”, yang mengatakan bahwa, terbentuknya negara
didasarkan pada asas pactum unionis
dan pactum subjectionis. Pactum unionis merupakan perjanjian
antar individu untuk membentuk negara, sedangkan pactum subjectionis adalah perjanjian antara individu dan negara
yang dibentuk. Perjanjian itu menentukan bahwa individu memberikan mandat
kepada negara
atau pemerintah.
Mandat rakyat diberikan agar pemerintah mendapat
kekuasaan dalam mengelola negara berdasarkan konstitusi, yang ditetapkan dalam pactum subjectionis. Atas dasar itu, maka
lembaga eksekutif dan lembaga legislative sebagai pemegang kekuasaan politik,
yang diberikan mandat dari rakyat melalui Pemilu, dalam membuat public policy
harus mengakomodasi kepentingan rakyat, yang didasarkan pada konstitusi. Begitu
pula kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi
memiliki peran, untuk mengontrol lembaga eksekutif dan lembaga legislative sebagai
pemegang kekuasaan politik, yang diberikan mandat dari rakyat melalui Pemilu, agar
dalam membuat public policy harus mengakomodasi kepentingan rakyat, yang
didasarkan pada konstitusi.(M.J.Latuconsina).