Jumat, 03 April 2009

Partai Politik Islam (Bukan Sekedar Penggembira Pilkada Maluku)

Akhir-akhir ini Partai Golongan Karya (Golkar) yang beridiologi developmentalis dan PDIP yang beridiologi nasionalis, lebih dominan meramaikan bursa pencalonan pemilihan kepala daerah (pilkada) Maluku 2008 mendatang, dengan memposisikan ketua mereka masing-masing sebagai calon kepala daerah (calkada) Maluku. Hal ini nampak dalam pemberitaan media massa lokal, yang secara intens memberitakannya kepada publik, terkait dengan keinginan ketua kedua partai ini untuk maju bertarung dalam pilkada Maluku.
Berbeda dengan partai politik yang beridiologi Islam seperti; Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Persatuan Nahdatul Ummat Indonesia (PPNUI), hingga saat ini tidak meramaikan bursa pencalonan pilkada Maluku, dengan memunculkan calon-calon mereka. Begitu juga partai nasionalis berbasis Islam seperti; Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sampai saat ini tidak ada seorang candidat-pun, yang mereka suarakan untuk meramaikan bursa pencalonan pilkada Maluku.
Padahal dari partai-partai ini terdapat sejumlah politikus yang layak untuk ditampilkan dalam bursa pilkada Maluku, antara lain; Sudarmo (PKS), Darul Kutny Tuhepally (PPP), M.Saleh Watiheluw (PBB), Basri Damis (PKB), Lutfi Sanaky (PBR), Thamrin Elly (PAN), dan Husein Soulisa (PPNUI). Bahkan sebagian besar dari mereka adalah politikus muda, yang layak untuk memimpin Maluku, ketimbang Karel A. Ralahalu dan M.A Latuconsina yang merupakan politikus gaek. Hal ini tentu cukup mencengangkan, tatkala menjelang pilkada Maluku pada tahun 2008 mendatang, bursa calkada Maluku justru sepi dari calon-calon partai politik Islam. 
Begitu-pun pada masa lalu, tradisi suksesi kepala daerah di Maluku pasca pemerintahan Orde Baru, senantiasa menempatkan partai politik Islam sebagai penggembira demokrasi diranah lokal, dengan mencalonkan kaders mereka untuk berpasangan dengan partai politik yang beridiologi developmentalis dan nasionalis, dalam posisi sebagai calon wakil kepala daerah. Hal ini nampak saat pilkada pasca kepemimpinan gubernur M.Saleh Latuconsina (1997-2000), dimana Etty Sahuburua (Golkar) berpasangan dengan M.Tahir Laitupa (PPP), Karel A. Ralahalu (PDIP) dan M.A Latuconsina (PPP).
Bisa jadi fenomena ini, menunjukan bahwa; pertama, partai politik Islam tidak dapat menjalankan fungsi rekruitmen politik yang mencakup; kaderisasi, pemilihan pemimpin politik dan pemerintahan secara optimal, kedua, tidak terdapat kaders partai yang menempati posisi kepala daerah dan wakil kepala daerah, sehingga calon mereka kalah populer, ketiga, tidak semua partai politik Islam memiliki perolehan kursi yang maksimal di dewan, akibatnya mereka tidak bisa mencalonkan kadernya sebagai calkada, keempat, tidak terdapat ide-ide dari partai politik Islam untuk menggagas koalisi menghadapi pilkada Maluku, kelima menyurutnya politik aliran, dimana idiologi tidak lagi laris menjadi dagangan politik saat dihelatnya pilkada langsung.
Konstituen Partai Islam 
Sebagai partai politik yang memiliki konstituen Islam di Maluku, mereka perlu confidence meramaikan bursa calkada Maluku, dengan mengusung candidat mereka. Pendapat ini cukup beralasan karena, dalam studi-studi analitik atas masalah kenapa seorang pemilih memilih partai politik/calon tertentu, terdapat tujuh faktor biasanya dicermati, yakni: faktor agama, kelas sosial, kelompok etnik/suku bangsa, hubungan patron-klien/keterikatan dengan tokoh informal lokal, ketertarikan terhadap tokoh/figur nasional, identifikasi diri dengan partai politik tertentu, serta evaluasi subjektif terhadap keadaan ekonomi pemilih dan ekonomi nasional (retrospective voting).(Kompas, 2000). 
 Melihat faktor agama turut memainkan peran penting dalam preferensi konstituen terhadap pilihan politik mereka dalam pilkada, maka faktor inilah yang mestinya dilihat secara saksama oleh partai-partai politik Islam sebagai peluang menghadapi pilkada Maluku 2008 mendatang. Apalagi partai-partai politik Islam memiliki basis idiologi pada sejumlah daerah pemilihan di Maluku, tentu hal ini menjadi power bagi partai-partai politik Islam untuk confidence meramaikan bursa pilkada Maluku, dengan menjagokan salah seorang figur.
 Tapi jika sebaliknya, partai-partai politik Islam tidak mampu melihat peluang ini, dan selanjutnya hanya menjadi penggembira pilkada Maluku, dengan menempati posisi sebagai calon wakil kepala daerah, tentu hal ini adalah kemunduran bagi kiprah partai politik Islam sendiri, sekaligus menandakan keunggulan Partai Golkar dan PDI, yang mampu memanipulasi konstituen partai-partai Islam bahwa, mereka-lah yang layak memimpin Maluku, dengan mencitrakan keberhasilan mereka mengeluarkan Maluku dari keterpurukan pasca konflik horisontal, selama lima tahun kepemimpanan kedua partai ini.
Inilah manipulasi isu yang akan senantiasa dimainkan elit-elit partai Golkar dan PDIP dalam menghadapi pilkada Maluku, sehingga akan berdampak terhadap preferensi konstituen Islam dalam pilkada Maluku. Apalagi posisi jabatan gubernur dan wakil gubernur Maluku dipegang oleh elit PDIP dan Golkar, justru semakin memposisikan mereka sebagai figur-figur populis, yang layak memimpim Maluku lagi. Sehingga seakan-akan tidak terdapat figur lain yang bisa menyaingi kedua candidat tersebut.
Dengan demikian menjelang pilkada Maluku, sudah saatnya partai-partai politik Islam mengaggas koalisi besar, dalam mengusung candidat gubernur Maluku. Sehingga mereka bukan sekedar menjadi penggembira pilkada Maluku dari waktu ke waktu, dengan hanya menempatkan candidat mereka sebagai calon wakil gubernur. Tentu koalisi itu dengan senantiasa mengikutsertakan partai-partai nasionalis-sekuler, guna menempatkan candidat mereka sebagai calon wakil kepala daerah.
Jika sebaliknya, partai politik Islam mengulangi tradisi pilkada Maluku, dengan hanya menjadi calon wakil gubernur. Hal ini, tentu merupakan kemunduran bagi partai politik Islam dalam pentas politik lokal di Maluku. Bisa jadi tradisi ini, justru semakin membenarkan tesis Abdul Munir Mulkan (2005), bahwa mereka sering mengklaim mewakili suara mayoritas rakyat atas argumen mayoritas rakyat itu memeluk agama Islam. Namun demikian beberapa fakta politik menunjukan bahwa partai kaum santri itu ternyata hampir selalu gagal merebut simpati mayoritas pemilih.(M.J Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar