Rabu, 05 Agustus 2009

Kekuasaan


Kekuasaan adalah suatu kata yang selalu akrab di indra dengar kita. Hampir tidak henti-hentinya mengundang kita untuk membicarakannya. Apalagi, hakekat kita selaku ”zoon politicon”, akan membuat kita selalu tertarik guna membicarakannya. Bahkan, dalam struktur sosial, kita akan kerap bersentuhan dengan yang namanya kekuasaan. Sehingga dari struktur sosial yang besar, sampai dengan struktur sosial yang kecil, kita akan seringkali berinterkasi langsung dengan kekuasaan.
Interaksi tersebut, nampak dari pilpres yang melibatkan struktur sosial besar, pilkada yang melibatkan struktur sosial sedang, dan pilkades yang melibatkan struktur sosial kecil. Berbagai election (pemilihan) baik dalam skala nasional, dan skala lokal tersebut, hasilnya seringkali melahirkan pro-kontra. Hal ini terjadi jika, dalam pertarungan merebut dan mempertahankan kekuasaan oleh para elite, dilakukan dengan cara-cara yang tidak free and fair. Efek negatif, dari cara-cara ini akan melahirkan ketidakpuasan, dari para elite yang kalah.
Bagi para elite yang kalah dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan, sikap kontra akan ditunjukan dengan melakukan perlawanan politik guna memperotes cara-cara, yang tidak free and fair oleh rival politiknya. Sementara bagi elite yang menang dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan, akan menilai sikap perlawanan politik tersebut, merupakan bagian dari ketidakpuasan rival politiknya, dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Sehingga berupaya melakukan perlawanan politik, guna mengoreksi election yang telah digelar.
Upaya yang dilakukan para elite yang kalah tersebut, tentu merupakan sesuatu yang wajar, dalam rangka menegakkan election yang sesuai dengan regulasi, norma, dan etika. Sehingga dapat berimplikasi positif terhadap transfer kekuasaan secara damai dan beradab. Dengan cara-cara seperti ini, tentu akan melahirkan pimpinan, yang memiliki legitimasi yang kuat di mata rakyat. Bukan sebaliknya menjadi pimpinan, yang memenangi election dengan cara-cara yang tidak free and fair.
Cara-cara seperti ini, tentu akan melahirkan pimpinan yang otoriter, yang berlawanan dengan spirit demokrasi. Fenomena ini oleh Haryanto (2005), mengutif pemikiran Charles F. Andrain dalam bukunya, ”Kekuasaan Elite” dinyatakan sebagai aspek dari kekuasaan negatif. Dimana, dalam kekuasaan negatif menunjukan adanya penerapan sumber daya kekuasaan sedemikian rupa, sehingga dapat mencegah fihak lain mencapai tujuannya, yang dianggap tidak perlu, dan dipandang merugikan bagi fihak yang memegang kekuasaan.
 Karena itu, proses perlawanan politik yang dilakukan elite, yang kalah dalam election, harus dimaknai sebagai bagian dari upaya merekonstruksi kembali election yang lebih free and fair, dan bukan sebaliknya upaya perlawanan politik tersebut, dinilai syarat dengan vested interest. Stigma vested interest, tentu merupakan stigma yang subyektif belaka, yang sengaja diberikan para elite yang tengah memerintah di pemerintahan, kepada elite yang tidak memerintah di pemerintahan.
Target dari stigma tersebut, tentu memiliki tujuan rill guna mempengaruhi rakyat, untuk tidak mempercayai upaya-upaya perlawanan politik, yang tengah dilakukan oleh elite yang tidak memerintah di pemerintahan. Padahal perlawanan politik tersebut, bukan merupakan bagian dari cara-cara sesat untuk memperoleh kekuasaan. Namun semata-mata untuk memberikan pendidikan politik kepada rakyat, guna memahami election yang lebih free and fair, yang seharusnya dilaksanakan dalam suasana jujur, adil (jurdil) dan langsung, umum, bebas dan rahasia (luber).
Seberapah jauh cara-cara ini dapat mempengaruhi rakyat untuk tidak mempercayai upaya-upaya perlawanan politik, yang tengah dilakukan oleh elite yang tidak memerintah di pemerintahan? Tentu semuanya terpulang kepada rakyat, untuk menilai benar atau tidaknya upaya ini. Jika rakyat menilai perlawanan politik itu, syarat dengan vested interest, tentu mereka akan antipati dengan cara-cara ini. Namun sebaliknya jika upaya itu, dilakukan dalam rangka menegakkan election yang free and fair, tentu mereka akan apresiatif sekaligus simpati untuk mendukung upaya perlawanan politik tersebut.
Fungsi election sebagai salah satu wahana trasfer kekuasaan secara damai dan beradab, akan senantiasa melibatkan elite, untuk bersaing dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Karena itu sebagaimana di kemukakan Alfan Alfian (2009) dalam bukunya, ”Menjadi Pimpinan Politik”, bahwa eksistensi elite politik selalu terkait dengan persaingan kepentingan untuk ”merebut” dan ”mempertahankan” kekuasaan. Sayangnya hanya sedikit dari kebanyakan elite, yang berupaya dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan melalui election, dilakukan dengan cara-cara yang damai dan berdab.
Karena itu, mestinya para elite memaknai fungsi election sebagai mekanisme transfer kekuasaan secara damai dan beradab. Dari pengalaman negara-negara, yang melakukan transfer kekuasaan melalui election dengan cara-cara, yang tidak free and fair, antara lain ; Zimbabwe dan Iran. Di Zimbabwe elite penguasa, Robert Gabriel Mugabe dari Partai Uni Nasional Afrika Zimbabwe Patriotik (ZANU), melakukan kecurangan dalam election tahun 2002, sehingga sukses menjungkalkan rivalnya, Morgan Tsavangirai dari Partai Gerakkan Untuk Usaha Perubahan Demokrasi (MDC) guna melangkah mulus menjadi presiden.
Sedangkan di Iran elite penguasa, Mahmud Ahmadinejad dari kubu konsevatif, melakukan kecurangan dalam election tahun 2009, sehingga mampu menghentikan langkah lawannya Mir-Hussein Mousavi dari kubu reformis, untuk melangkah mulus menjadi presiden di negara para mullah tersebut. Transfer kekuasaan melalui election yang dilakukan dikedua negara ini dengan cara-cara, yang tidak free and fair, berdampak pada perlawanan elite yang kalah dalam election. Sehingga berdampak pada huru-hara politik, yang menganggu stabilitas politik kedua negara tersebut.
Di negara kita, kekuatiran akan terjadinya huru-hara politik, akibat pelaksanaan election 2009, yang dilakukan secara tidak free and fair, tidak terbukti. Hal ini dikarenakan para elite, yang bertarung dalam election untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, menahan diri, untuk tidak melakukan tindakan huru-hara, yang berakibat pada terganggungnya stabilitas politik. Meski-pun tidak terdapat tindakan huru-hara, akibat ketidak-puasan hasil election 2009 oleh para elite, bukan berarti pelaksanaan election 2009 ini berkualitas.
Banyak kalangan pemerhati politik di Indonesia, justru menilai pelaksanaan election 2009, tidak berkualitas. Pasalnya terjadi kecurangan disana-sini oleh para ”elite yang tengah berkuasa”. Mulai dari daftar pemilih tetap yang amburadur, sosialisasi KPU yang berpihak, surat suara yang diketemukan telah dicontreng, pengurangan tempat pengumutan suara, dan penggelembungan suara. Berbagai pelanggaran dalam election 2009 ini, hanya menguntungkan ”elit yang tengah berkuasa”.
Padahal election 2009, merupakan election ketiga di era reformasi, dalam pelaksanaannya seharusnya lebih berkualitas dari pelaksanaan election 1999, dan election 2004. Melihat realitas politik tersebut, tentu transfer kekuasaan, yang dilakukan pada election 2009 ini, tidak lagi dilakukan dengan cara-cara yang free and fair, dalam suasana jurdil dan luber. Fenomena ini sekaligus menandai, terjadi ”kemunduran” dalam proses transisi demokrasi di negara kita, yang dirintis kaum reformis seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru di tahun 1998 lalu.(M.J.Latuconsina).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar