Rabu, 27 Mei 2009

”Bukan Pemilihan Kepala Suku”


Pentas politik nasional kita akhir-akhir ini semakin semarak, seiring dengan bergulirnya pemilihan presiden (pilpres) 2009. Wacana yang tidak kalah menarik, yang menyita perhatian publik sejalan dengan dimulainya perhelatan nasional tersebut, adalah menyangkut presiden berlatar belakang etnis Jawa. Hal ini menyita perhatian publik, karena di negara yang multi etnis ini, masih terdapat pemikiran-pemikiran sektarian, dengan mempersoalkan status seorang presiden Indonesia perlu berlatar-belakang etnis Jawa.
 Padahal wacana semacam ini, sering menimbulkan ketersingungan etnis non Jawa, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari warga nation state Indonesia. Pasalnya dari pilpres ke pilpres, wacana ini kerap mengemuka, dan senantiasa meramaikan pangung politik nasional. Tak pelak, hadirnya wacana ini justru membuat kita terperangkap dalam politisasi etnis Jawa, yang sengaja dihembuskan elite politik. Dimana syarat dengan interest politik, dalam rangka menjegal langkah figur calon presiden (capres), luar Jawa untuk berlaga dalam pilpres.
Hal ini, sebagaimana yang dikemukakan Ketua Dewan Pendiri Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Suhardiman di Harian Kompas (25/04/09) ; “sejarah akan berulang kembali bahwa, berdasarkan sejarah bangsa Indonesia, presiden terpilih selalu berasal dari suku Jawa karena sebagian besar penduduk Indonesia adalah Jawa. Bukan sukuisme. Namun itu sejarah, dan sejarah akan berulang lagi. Sejarah itu adalah guru. Sejak dulu, presiden Indonesia adalah Jawa.”
Tentu pernyataan ini, bertolak belakang dengan bangunan awal nation state kita, yang dirintis para pemuda dari berbagai daerah di tanah air, pada Konggres Pemuda II 28 Oktober 1928 yang menegaskan ; kita berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu, yakni Indonesia. Merujuk pada wacana tersebut, maka pelaksanaan pilpres 2009 yang merupakan agenda politik nasional, mestinya dimaknai sebagai ajang demokrasi, yang memberikan ruang yang free, bagi partisipasi seluruh warga bangsa, tanpa membedakan latar belakang etnis yang dimilikinya.
Sehingga seorang dari Aceh, Ambon, Bugis, Sunda, Papua, Manado, Padang, Timor, dan Batak memiliki kesempatan yang sama, untuk menjadi presiden Indonesia, sejauh memiliki kapasitas, untuk menduduki jabatan eksekutif yang bergengsi tersebut, dan yang paling terpenting untuk menjadi presiden Indonesia, adalah peneriman rakyat Indonesia, terhadap figur presiden tersebut. Penerimaan rakyat Indonesia terhadap figur presiden tersebut, bisa diperoleh melalui pemilu, yang merupakan wahana memperoleh legitimasi untuk memerintah dari rakyat, guna menduduki jabatan eksekutif tersebut.
Jika wacana semacam ini masih saja bergulir, tentu menandakan proses perjalanan Indonesia menjadi sebuah nation state, belum bermuara pada kokohnya bangunan nation state kita, yang didesain sejak awal oleh para pendiri bangsa. Padahal sebagai sebuah nation state di era yang semakin terbuka ini, kita tidak perlu lagi memperbincangkan wacana tersebut, karena sejak hadirnya nation state Indonesia di tahun 1945, telah mengkukuhkan warga bangsa ini, dalam frame yang lebih egalitarian.
Karena itu, perhelatan pilpres 2009 ini, mestinya tidak lagi memitoskan figur yang berlatar belakang etnis Jawa, yang harus menjadi presiden. Keharusan yang esklusif tersebut, tentu merupakan sesuatu yang anomali dengan realitas bangunan nation state kita, yang merupakan nation state plural, baik dari segi etnis, agama dan ras. Untuk itu, kemajemukan dalam aspek politik harus diterima sebagai suatu kenyataan rill, yang tidak bisa dipungkiri dimana menjadi bagian, yang tidak bisa dilepas-pisahkan dari nation state Indonesia.
Bahkan agenda nasional ini juga harus dimaknai dalam konteks pelaksanaan pilpres, dan bukan sebaliknya diterjemahkan sebagai bagian dari pelaksanaan “pemilihan kepala suku” (“pilkasu”). Sehingga tidak terkesan adanya privilege bagi putra-putri bangsa, yang berasal etnis Jawa, yang lebih layak menempati jabatan presiden di republik ini. Namun merupakan sebuah kesempatan, yang terbuka lebar bagi putra-putri bangsa, yang berasal dari berbagai etnis di tanah air, untuk menempati jabatan presiden di republik ini, sebagaimana yang disyaratkan dalam konstitusi negara kita.
Dalam pengalaman kenegaraan kita, memang kita pernah memiliki presiden Bachruddin Jusuf Habibie (1998-1999), yang merupakan seorang presiden luar Jawa berdarah Bugis, yang menjabat presiden karena mundurnya presiden Suharto (1967-1998), ditengah masa jabatannya. Sayangnya, kehadiran Habibie pada era transisi tersebut, justru banyak minuai polemik, dari sejumlah kalangan elite politik nasional atas kepemimpinannya. Dua diantara sekian polemic, yang menolak posisi Habibie sebagai presiden, adalah ia dinilai tidak legitimet, dan bukan merupakan orang Jawa. Sehingga tidak layak untuk menduduki jabatan presiden, di era peralihan tersebut.
Terlepas dari itu, sebagai negara yang sering mengklaim dirinya merupakan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, setelah Amerika dan India. Sudah sewajarnya berkaca pada kedua negara tersebut. Dimana sering-kali memberikan kesempatan kepada figur dari agama, dan etnis minoritas, untuk menjadi presiden. Misalnya, India merupakan negara yang mayoritas didiami penganut Hindu, tapi justru telah tiga kali dipimpin presiden Muslim ; pertama Zahir Hussein (1967-1969), kedua Fakhrudin Ali Ah y (1974-1977) ,dan terakhir Avul Pakir Jainulabdeen Abdul Kalam (2002-2007).
Tampilnya trio politikus Muslim India menjadi presiden, di negara yang mayoritas didiami penganut Hindu tersebut, sekaligus meruntuhkan mitos seorang presiden India harus memiliki syarat beragama Hindu, diluar syarat formal yang diatur konstitusi India. Begitu-pun Amerika, pernah dipimpin John Fitzgerald Kennedy (1960-1963) seorang presiden beragama Khatolik, dan Barack Husein Obama (2009-2012), seorang presiden kulit hitam keturunan Afrika. Tampilnya Kennedy, dan Obama sebagai presiden Amerika, juga meruntuhkan mitos seorang presiden Amerika harus memiliki syarat White, Anglo Saxon, dan Protestan, diluar syarat resmi yang diatur konstitusi Amerika.
Diluar profil-profil presiden dari etnis, dan agama minoritas tersebut, masih terdapat banyak figur politikus dari etnis, dan agama minoritas, yang kemudian tampil sebagai presiden, dan perdana menteri di luar teritori negara asal mereka. Misalnya Alberto Ken'ya Fujimori (1990-2000), merupakan seorang warga negara Peru keturunan Jepang, bisa menjadi presiden di Peru, yang mayoritas didiami warga Hispanic. Kemudian terdapat Marie bin Amude Alkatiri (2002-2006), seorang Muslim berdarah Arab, bisa menjadi perdana menteri di Timor Leste, yang mayoritas didiami etnis Tetum beragama Khatolik.
Terdapat lagi Arthur Chung (1970-1980), seorang warga negara Guyana keturunan China bisa menjadi presiden di Guyana, yang dominan didiami etnis India, dan Kreol. Begitu-pun Henk Chin A Sen (1980-1981), seorang warga negara Suriname berdarah China, juga bisa menjadi presiden di Suriname, yang dominan didiami etnis India, dan Kreol. Selain itu, terdapat juga Tun Abdul Razak bin Haji Dato' Hussein Al-Haj (1970-1976), seorang warga negara Malaysia keturunan bangsawan Bugis, dapat menjadi perdana Menteri di Malaysia, yang banyak didiami etnis Melayu.
Berkaca pada pengalaman demokrasi di negara-negara tersebut, tentu kita tidak perlu ber-argumentasi dengan sinis, bahwa proses berdemokrasi pada negara-negara tersebut, telah lebih dulu matang, daripada proses berdemokrasi dinegara kita. Maupun dengan lantang kita mengatakan bahwa, sistem politik yang dipraktekan di negara-negara tersebut, berbeda dengan sistem politik yang diterapkan di negara kita. Sehingga bisa memberikan kesempatan kepada figur dari etnis, dan agama minoritas untuk menjadi presiden/perdana menteri.
Atau yang paling ekstrim lagi kita mengatakan bahwa, jumlah pemilih etnis Jawa lebih banyak, dari-pada jumlah pemilih dari etnis-etnis lainnya di tanah air, sehingga mereka lebih memiliki peluang, untuk menjadi presiden. Jika berbagai argumentasi ini, secara terus menerus menjadi pegangan klasik para elite politik, dalam tiap-kali perhelatan pilpres, jangan berharap banyak transformasi pemerintahan kita akan berjalan lebih plural, dengan mengakomodasi kemajemukan etnis dalam jabatan presiden.(M.J.Latuconsina).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar