Rabu, 07 April 2010

Gus “Socrates” Dur


“Socrates pulang ke alam baka, tetapi namanya hidup untuk selama-lamanya. Begitu pula Gus Dur pulang ke alam baka, tetapi namanya hidup untuk selama-lamanya.”

Gus “Socrates” Dur merupakan penggalan kalimat yang diadopsi dari artikel Yudhistira ANM Massardi (2006), dengan tema ; “Demokrasi, Islam, Indonesia: Dari Socrates Sampai Gus Dur.” Dalam tulisannya itu, dia memaparkan bahwa dialektika antara demokrasi, Islam dan Indonesia berlangsung “fine, fine saja dan cool”, meskipun sempat diklaim telah memakan “korban” pula, yakni Gus “Socrates” Dur. Tentu terdapat relevansi antara demokrasi, Socrates dan Gus Dur. Sehingga Yudhistira ANM Massardi kemudian mencantumkan nama Socrates pada posisi tengah diantara awal dan akhir nama Gus Dur dalam artikelnya itu.
Menurutnya ditahap awal demokrasi dikritik sendiri oleh “bapak” sekaligus “korban”-nya yang pertama, Socrates : “demokrasi, yang merupakan bentuk pemerintahan yang menggairahkan, penuh dengan variasi dan kekacauan,...dan hasratnya yang tak bisa dikenyangkan bisa membawa kepada kehancuran.” Fenomena serupa dialami Gus Dur, dalam perkembangan demokrasi di Indonesia pasca kolapsnya rezim Suharto. Dimana sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2001 tidak berjalan dalam suasana yang kondusif. Pasalnya terjadi kisruh politik dalam waktu kurang dari dua tahun.
Gus Dur yang awalnya dipilih secara demokratis pada sidang umum MPR 1999 akhirnya dijatuhkan di tahun 2001. Dia diimpecment dengan tuduhan yang sangat memalukan dan kontroversial. Proses impecment itu sendiri sebagian besar justru didukung oleh koalisi poros tengah, yang terhimpun dalam partai politik Islam dan partai politik nasionalis berbasis massa Islam, yang pada awalnya mendorong dia menjadi presiden RI ke-4. Cekcok politik itu, menandai suatu episode politik dari dialektika antara demokrasi, Islam dan Indonesia, yang telah memakan “korban”, yakni Gus “Socrates” Dur. 
Peristiwa politik dramatis itu telah berlalu delapan tahun lampau, para sejarawan politik telah mencatatnya dalam lembaran sejarah sebagai babak politik dari transisi Indonesia menuju demokrasi. Figur negarawan yang dijatuhkan tersebut pada 30 Desember 2009 lalu, telah berpulang memenuhi panggilan sang pencipta, setelah puluhan tahun dia menghadiri panggilan rakyat guna mengabdikan dirinya untuk kemajuan demokrasi di tanah air. Segenap rakyat kehilangan sosok demokratis, humanis, humoris dan pluralis itu. 
Gus Dur lahir pada 7 September 1940, dia merupakan putra dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Nama sejak lahir bukan Abdurrahman Wahid melainkan Abdurrahman ad-Dakhil. Menurut Greg Barton (2006) dalam biografi Gus Dur ; Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid mengatakan, Ad-Dakhil diambil dari nama salah seorang pahlawan dari dinasti Umayyah, secara harafiah berarti “Sang Penakluk”. Zaman dulu Ad-Dakhil berhasil membawa Islam ke Spanyol dan mendirikan peradaban yang berlangsung di sana selama berabad-abad.
Nama itu rupanya selaras dengan karakternya. Dimana, dalam kiprah Gus Dur di pentas politik nasional, menunjukan dia seorang profil yang ”Ad-Dakhil” terhadap institusi-institusi negara, yang cenderung monopolistik, oligarkhis dan otoriter. Ketika menjadi presiden RI ke-4, dia sukses mengembalikan fungsi militer sebagai institusi pertahanan, dan meniadakan fungsi politik militer. Begitu-pula Departemen Penerangan yang berfungsi sebagai corong propaganda pemerintah di era Orde Baru turut dia bubarkan. Jauh sebelum itu, Gus Dur adalah tokoh intelektual, yang paling menganggu pemerintahan Suharto yang dikenal monopolistik, oligarkhis dan otoriter pula.
Bahkan tatkala Gus Dur memimpin NU di era 1980-an, suatu masa yang masih menampakan hegemoni dari Suharto terhadap elemen-elemen yang pro demokrasi, Gus Dur justru menghadang hegemoni Suharto itu, dengan berusaha memanfaatkan kemampuan intelektual, dan keorganisasian aktivis kota untuk mentransformasikan basis massa pedesaan yang miskin pada era itu. Hasil upaya berani ini telah berbaur. Disatu sisi Gus Dur berhasil mengembalikan PBNU menjadi pusat kritik demokratis terhadap pemerintah dan umat Islam itu sendiri. Sama pentingnya, meskipun pada tahun-tahun terakhirnya Suharto sengaja memanipulasi sentimen Muslim konservatif terhadap warga Tionghoa.
Namun Gus Dur tidak tinggal diam dengan provokasi Suharto itu, dia kembali berupaya meyakinkan minoritas keagamaan dan etnis itu bahwa, mereka merupakan anggota masyarakat Indonesia yang bernilai. Sesuatu yang konsisten dengan sikap dan tindakannya dikemudian hari tatkala dia menjadi presiden RI ke-4. Dimana Gus Dur mencetuskan konsep bangsa Indonesia yang baru yakni ; bangsa yang terdiri dari tiga ras, salah satunya ialah ras Cina. Begitu juga ketika Presiden Suharto menerapkan kebijakan baru dengan pembentukan ICMI di tahun 1990.
Dengan maksud mendapat dukungan penuh dari Islam modernis, untuk mempertahankan pemerintahannya yang sudah mulai kehilangan dukungan dari sebagian ABRI. Gus Dur justru memberikan peringatan bahwa, politik Suharto membawa Indonesia ke sektarianisme yang memecah-mecah antar kelompok. Gus Dur malah menuduh Suharto menciptakan suatu situasi ala Al-jazair. Atas sikap dan tindakannya itu, tidak salah jika dia dijuluki sosok yang pluralis, yang selalu mendambangkan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dibalik profil Gus Dur yang pro demokrasi dan pro pluralisme tersebut terdapat juga sisi paradoks yang dimiliknya. Dimana Gus Dur yang dikenal sebagai seorang ulama Jawa tradisional, atau seorang cendikiwan Islam, Gus Dur kadang memperlihatkan sisi dirinya yang berpandangan sempit. Akan tetapi, Gus Dur juga fasih dalam menggunakan empat bahasa asing, dan dapat membaca dalam tiga bahasa asing lainnya. Gus Dur juga mempunyai pemahaman yang luas mengenai kebudayaan yang berhubungan dengan bahasa-bahasa asing itu.
Di sisi lain Gus Dur adalah seorang tokoh yang sangat dipandang enteng, tetapi juga sangat dihormati, dan sekaligus seorang tokoh yang sangat populer. Bahkan dia juga telah menerima label baru sebagai seorang tokoh dengan “kesehatan yang rapuh dan setengah buta”. Akan tetapi daya tahan yang diperlihatkannya ketika melakukan perjalanan-perjalanan yang jauh, dan meletihkan serta mengadakan pertemuan-pertemuan yang sama meletihkannya, menunjukan bahwa dia mempunyai ketahanan tubuh seperti seekor banteng. Tenaga penuh gejolak yang sama ini pula yang telah dia perlihatkan sepanjang hidupnya.
Dibalik ketahanan tubuh Gus Dur bak seekor banteng itu, tentu tak selamanya akan kekal dan abadi. Pasalnya akan rapuh oleh pergerakan zaman, karena itu kepada dia sang pencipta seseorang akan kembali. Kini Gus Dur “sang bulldozer demokrasi” itu telah kembali keharibaannya. Hanya amal ibadahnya yang akan diterima sang pencipta, serta karya baktinya dalam menyiapkan building demokrasi bagi nation state Indonesia akan diteruskan oleh para pimpinan bangsa. (Feillard 1999, Hefner 2000, Azra 2002, Tempo 2005, Barton 2006). 
Jika building demokrasi yang disiapkan Gus Dur itu belum terkonstruksi secara baik, tentu kita perlu bersabar dalam upaya memperkokohnya. Kesabaran itu, seperti yang dikatakan Socrates sebelum dia menemui ajalnya sebagaimana yang digambarkan oleh Plato di dalam Phaidon  bahwa, ”engkau semuanya hendaklah sabar, dan ingatlah bahwa hanya badanku yang engkau tanam.” Socrates pulang ke alam baka, tetapi namanya hidup untuk selama-lamanya. Begitu pula Gus Dur pulang ke alam baka, tetapi namanya hidup untuk selama-lamanya. Selamat jalan Gus Dur.(M.J.Latuconsina).

1 komentar:

  1. Mas Jen, bt numpang lewat. Hemat saya, Gus Dur harus di baca dalam dua kepribadian yang saling kontradiksi sekaligus konstruktif dalam memberikan nilai demokrasi di Indonesia. Pertama, Gus Dur adalah pribadi yang kosmopolitan, pengalamannya melampaui identitas primordial. Sehingga ia mampu memberikan wawasan demokrasi yang luas dan tidak terpenjara dalam politik sektarian. Pribadi Gus Dur yang seperti ini menjadi mahal dan berharga di saat bangsa Indonesia baru memasuki gerbang demokrasi sesaat setelah kran reformasi di 1998. Dari sini, Gus Dur kemudian menjadi guru bangsa, Yang Kedua, Sifat Gus Dur yang terlalu deliberatif, membuat blunder pada tataran konsensus demokrasi pada aras prosedural. Akhirnya, Gus Dur tidak mampu membawa harapan banyak orang disaat ia menjadi Presiden.Walaupun, rakyat tidak menyetujui, tetapi politik prosedural kemudian menjatuhkannya.

    Trima Kasih Mas Jen.
    Go A Head!
    Salam!
    AMT.

    BalasHapus