Rabu, 07 April 2010

Kultur, Kekuasaan, Korupsi


“Tanda itu suatu kebohongan, dalam tanda ada sesuatu  yang tersembunyi
dibaliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri.” -Umberto Eco-

Pada sampul majalah Tempo edisi 22-23 Februari 2010 lalu, terlihat gambar Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, tengah berhadap-hadapan dengan Ketua DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie. Yudhoyono nampak menggunakan busana tradisional Jawa, terdiri dari blankon bermotif batik, baju berwarna biru dibaluti sarung bermotif batik. Sementara tangan kananya nyaris mencabut keris Jawa yang sedang terselip di sarungnya. Sedangkan tangan kirinya dalam posisi terbuka hampir menghampiri tangan kanan Ical.
Posisi tangan kanan Yudhoyono yang hampir mencabut keris Jawa yang tengah terselip di sarungnya tersebut, menunjukan simbol dari “kejantanan.” Pasalnya keris di kalangan masyarakat Jawa dilambangkan sebagai simbol dari “kejantanan.” Sementara itu, posisi Ical juga berhadap-hadapan dengan Yudhoyono. Ical nampak menggunakan busana tradisional Melayu, terdiri dari baju berwarna kuning, dan kain sarung kota-kotak berwarna coklat membalut celana panjang berwarna krem yang dia gunakan.
Dalam posisi beridiri berhadap-hadapan dengan Yudhoyono tangan kanan Ical nampak menghampiri tangan kiri Yudhoyono. Sedangkan tangan kiri Ical dalam posisi menjuntai kebawah searah dengan pinggulnya dan pahanya, yang dibaluti sarung tanpa memegang ujung sebilah keris Melayu. Dalam gambar itu, seakan-akan menampakan posisi Ical  tidak berdaya, berhadapan dengan Yudhoyono dengan tangan kanannya yang nyaris mencabut keris Jawa yang sedang terselip di sarungnya itu.
Posisi kedua elite politik dengan gambar berlatarbelakang simbol-simbol dari kultur Jawa dan kultur Melayu tersebut, merupakan hal-hal yang bersifat ikonis dari kultur Jawa maupun kultur Melayu. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Alex Sobur (2006), dalam karyanya, “Analisis Teks Media, Suatu pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing”, bahwa, sesuatu yang berupa gambar, lukisan, patung, sketsa, foto merupakan hal-hal yang bersifat ikonis.
Posisi ikonis yang kontras dari kedua elite politik itu, memperlihatkan dua petinggi partai politik, yang tengah berseteru. Perseteruan Yudhoyono-Ical terjadi, menjelang kesimpulan akhir dari Pansus Century. Dimana bukan menjadi rahasia publik lagi, posisi politikus Partai Golkar di Panitia Angket sejak awal tetap komitmen terhadap proses penyedikan bailout Bank Century. Akibat sikap ngotot ini, Yudhoyono tidak tinggal diam. Dia-pun mendorong polisi dan Kementerian Keuangan untuk cepat-cepat menindak pelaku pidana pajak.
Pelaku pidana pajak yang dimaksud adalah Kelompok Usaha Bakrie milik Ical. Dimana terdapat tiga perusahaan Ical yang diduga memanipulasi pajak dan menunggak pajak, antara lain ; Kaltim Prima Coal (KPC), memanipulasi pajak senilai Rp 1,5 triyun, begitu juga Bumi Resources menunggak pajak sebesar Rp 376 milyar. Sedangkan Arutmin Indonesia menunggak pajak sebesar Rp 300 milyar. Total tunggakan pajak dari tiga perusahaan Ical itu mencapai Rp 2,1 triyun.
Diluar kasus pidana pajak yang diduga dilakukan Kelompok Usaha Bakrie tersebut, terdapat pula dua politikus Partai Golkar, yang masuk dalam bidikan aparat penegak hukum, antara lain ; Idrus Marham dan Setya Novanto. Dua politikus Partai Golkar ini dikaitkan dengan kasus impor beras dari Vietnam. Pasalnya Setya Novanto selaku Komisaris Utama P.T. Hexatama Finindo memindahkan 60.000 ton beras dari gudang pabean ke gudang non pabean. Dimana pemindahan beras impor itu diketahui mitranya, Idrus Marham. Padahal bea masuk dan pajaknya belum dibayar. Tindakan itu merugikan negara Rp 122 milyar.
Dalam kondisi hampir ditinggalkan Partai Golkar, Yudhoyono pun melakukan langkah-langkah politik. Guna menguatkan bargaining politiknya di Panitia Angket, bersama mitra-mitranya dari kalangan istana melakukan loby politik ke PDIP dan Partai Gerindra. Loby politik ini dengan sejumlah konpensasi, berupa tawaran lima duta besar dilima negara yang memiliki ikatan sejarah dengan Presiden Soekarno, antara lain ; India, Mesir, Cina, Korea Utara, dan Brasil. Sementara untuk Partai Gerindra terdapat deal politik agar Ketua Dewan Pembina partai ini, Prabowo Subianto masuk kabinet.
Loby politik yang dilakukan tersebut untuk menggalang dukungan politik. Sehingga bisa mengurangi tekanan politik terhadap fraksi Partai Demokrat di DPR, terkait penyedikan bailout Bank Century, yang dikhwatirkan dapat berdampak terhadap upaya pemakzulan Yuhoyono dan Boediono. Karena itu, jika loby politik itu sukses, tentu fraksi Partai Demokrat yang merasa terjepit dengan penyedikan bailout Bank Century oleh fraksi-fraksi lainya, bisa keluar dari kebuntuan politik yang tengah terjadi. 
Sayangnya, upaya politik itu ternyata tidak membuahkan hasil yang maksimal. Pasalnya, opsi Yudhoyono dan kalangan istana untuk menggalang dukungan politik dari PDIP dan Partai Gerindra, dengan memberikan sejumlah konpensasi politik, ternyata gagal. Sebab fraksi PDIP dalam kesimpulan akhir hak angket Bank Century di DPR tegas menyebutkan telah terjadi pelanggaran hukum dalam pemberian dana talangan kepada Bank Century. Sementara fraksi Partai Gerindra dalam kesimpulan akhir hak angket Bank Century di DPR juga mengatakan telah terjadi pelanggaran hukum dalam pemberian dana talangan kepada Bank Century.
Terlepas dari kemelut politik itu, jika kita menelisik posisi Yudhoyono dalam konflik politiknya dengan Ical dalam perspektif budaya politik Jawa. Tentu ungkapan populer Jawa “iki dhadaku endi dhadamu”  (“saya akan melawan anda secara jantan”) tengah dipraktekan Yudhoyono, untuk melumpuhkan lawan-lawan politiknya. Sehingga Yudhoyono-pun berupaya menggunakan power state guna melumpuhkan perlawanan politik Ical. Perlawanan politik itu, dengan mendorong polisi dan Kementerian Keuangan untuk menindak pelaku pidana pajak, yang diduga melibatkan para elite politik dari Partai Golkar.
Sebagai orang Jawa, tentu nilai-nilai budaya politik Jawa, yang dominan dalam pentas politik nasional, akan turut mempengaruhi sikap politik Yudhoyono, dalam melakukan interaksi politik bersama dengan elite politik dikancah politik nasional. Tidak mengherankan posisi fraksi Partai Golkar di Panitia Angket, yang sejak awal ngotot terhadap proses penyedikan bailout Bank Century, tidak memperoleh simpati Yudhoyono. Sikap Yudhoyono itu menununjukan bahwa, dia tidak menginginkan kepemimpinannya disaingi Ical maupun kekuatan-kekuatan politik lain, yang selama ini oposan terhadap pemerintahannya. 
Tentang fenomena budaya politik Jawa tersebut, Benedict Anderson (1972) yang populer melalui karyanya monumentalnya, “The Idea of Power in Javanese Culture”, sebagaimana dikutip pendapatnya oleh Afan Gaffar (2006) menyebutkan bahwa, konsep tentang kekuasaan dalam masyarakat Jawa berbeda sekali dengan apa yang dipahami masyarakat Barat. Karena, bagi masyarakat Jawa, kekuasaan itu pada dasarnya bersifat konkret, besarnya konstan, sumbernya homogen, dan tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi.
Karena kekuasaan itu berasal dari sumber yang satu, maka sifatnya konstan. Dan selama sumber kekuasaan itu tetap memberikan kekuasaan, maka kekuasaan seorang penguasa akan tetap legitimate dan tidak perlu dipersoalkan. Hal ini berbeda dengan masyarakat Barat, dimana kekuasaan itu bersifat abstrak dan berasal dari berbagai macam sumber, seperti uang, harta kekayaan, fisik, kedudukan, asal-usul, dan lain sebagainya.
Nilai-nilai budaya politik Jawa yang dominan dalam pentas politik nasional, dimana turut mempengaruhi sikap politik Yudhoyono, dalam melakukan interaksi politik bersama dengan elite politik dipanggung politik nasional tersebut, nampaknya tidak digunakan Yudhoyono secara berlebihan, seperti yang dipraktekan Soeharto dulu. Di era Soeharto, dia membendung lawan-lawan politiknya melalui cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Nampaknya model pemerintahan Soeharto dulu lebih mengedepankan jargon Jawa, “rawe-rawe rantas malang-malang putung.” (“semua penghalang akan disingkirkan dengan cara kekerasan”).(M.J.Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar