Minggu, 18 Juni 2017

Public Policy

Public policy yang populer dengan sebutan kebijakan publik merupakan suatu keputusan strategis, yang dibuat dan selanjutnya di realisasikan sebagai solusi, untuk mengatasi berbagai permasalahan rakyat, yang selalu hadir dalam  kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada negara-negara yang menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya, public policy biasanya dibuat oleh lembaga-lembaga formal. Lembaga-lembaga formal itu adalah lembaga eksekutif dan lembaga legislative. Sedangkan lembaga-lembaga non formal yang mempengaruhi public policy yakni, kelompok kepentingan (interst groups), kelompok penekan (pressure groups), dan partai politik oposisi (opposition political parties).
Pada negara-negara yang menganut demokrasi dalam sistem politiknya, pengisian formasi keanggotaan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, yang memiliki kewenangan untuk membuat suatu public policy melalui pemilihan umum (general elections). Disamping itu ada pula formasi keanggotaan dari lembaga eksekutif, yang diangkat oleh pejabat eksekutif pada struktur organisasi yang lebih tinggi, dimana juga memiliki kewenangan yang sama, untuk membuat suatu public policy. Sementara pengisian formasi keanggotaan lembaga-lembaga non formal seperti kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi dilakukan melalui mekanisme internal, yang memenuhi prinsip-prinsip demokrasi.  
Lembaga eksekutif dan lembaga legislative, yang diberikan mandat oleh rakyat melalui Pemilu maupun yang diangkat, dalam membuat public policy melalui proses politik, harus benar-benar mengakomodasi kepentingan rakyat. Pasalnya lembaga eksekutif dan lembaga legislative merupakan representasi rakyat dalam suatu negara, yang mempraktekan demokrasi dalam sistem politiknya. Sehingga mengakomodasi kepentingan rakyat dalam public policy, merupakan bentuk akuntabilitas kinerja dari lembaga eksekutif dan lembaga legislative kepada rakyat. Hal ini yang kemudian populer dengan jargon substansial demokrasi, sebagai pemerintahan dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat.
Peran kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi yakni mempengaruhi public policy, yang sebelumnya  dibuat oleh lembaga eksekutif dan lembaga legislative agar sesuai dengan kepentingan rakyat melalui kegiatan parlementer maupun ekstra parlementer. Peran ini dilakukan dengan cara-cara persuasiv melalui dialog, lobi, petisi, demonstrasi, pemogokan sampai dengan tindakan anarkis yang digunakan sebagai instrument politik, untuk mempengaruhi pengambilan keputusan (decision making), dari lembaga eksekutif dan lembaga legislative guna merevisi suatu public policy. Hal ini akan dilakukan tatkala public policy itu krusial, dan berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak.
Misalnya public policy yang terkait kenaikan tarif bahan bakar minyak (BBM) berimplikasi negativ pada naiknya harga kebutuhan pokok, tarif listrik, tarif air, dan naiknya tarif angkutan umum. Pada akhirnya juga akan semakin menambah beban kehidupan rakyat. Hal ini dikarenakan rendahnya daya beli rakyat sebagai akibat naiknya tarif BBM. Sehingga angka pengangguran dan kemiskinan pun bertambah. Melihat kondisi rill ini, tentunya kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi tidak akan tinggal diam. Mereka akan melakukan berbagai aktifitas politik, agar pihak eksekutif dan legislatif bisa meninjau kembali policy kenaikan tarif BBM, dengan cara menurunkan tarif BBM.
Bisa juga atas desakan itu, dilakukan peninjauan kembali kenaikan tarif BBM oleh pihak eksekutif dan legislative, dengan mengeluarkan public policy alternativ, untuk meringkan beban hidup rakyat seiring dengan kenaikan tarif BBM. Misalnya program konpensasi pengurangan subsidi BBM (PKPS-BBM) di era pemerintahan SBY-JK. Publik policy ini merupakan antisipasi dari naiknya harga barang, dan jasa yang di akibatkan kenaikan tarif BBM pada 1 Agustus 2005, dimana pemerintah meluncurkan dana sebesar Rp 18.139,2 milyar, yang diperuntukan bagi bantuan subsidi bidang pendidikan sebesar Rp 6.217,9 milyar, bidang kesehatan sebesar Rp 3.875,2 milyar, inprastruktur pedesaan sebesar Rp 3.342,1 milyar, dan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 4.650,0 milyar.
Konteks pembuatan dan mempengaruhi public policy oleh lembaga-lembaga formal dan non formal itu, lazim disebut dengan model institusional (kelembagaan). Pasalnya elemen-elemen yang berperan dalam proses pembuatan dan kontrol terhadap public policy adalah lembaga-lembaga resmi dan non resmi, yang ada dalam pemerintahan suatu negara demokrasi. Menurut Islamy Irfan (2014) dalam bukunya yang berjudul “Principles of State Policy Formulation” bahwa, fokus dari model ini terletak pada struktur organisasi pemerintah. Sebab kegiatan-kegiatan politik berpusat pada lembaga-lembaga pemerintah seperti lembaga legislative, eksekutif, dan yudikatif maupun lembaga-lembaga non formal seperti kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi.
Disamping model institusional (kelembagaan) dalam pembuatan public policy, yang melibatkan lembaga-lembaga resmi dan non resmi pada suatu negara yang menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya, terdapat juga delapan model lain dalam pembuatan public policy. Hal ini sebagaimana rumusan yang lahir dari gagasan  pemikiran Thomas R. Dye (1995), yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul “Understanding Public Policy” yakni ; model proses, kelompok, elite, teori rasional, ikramental, teori permainan, pilihan publik, dan model sistem. Berbagai model dalam pembuatan public policy ini, tentu masing-masing memiliki kelebihan dan kekuarangan, dimana pengadopsiannya disesuaikan dengan dinamika internal dan eskternal pada suatu negara.
Terlepas dari itu, meskipun pada kenyataanya lembaga eksekutif dan legislative memiliki peran yang sangat dominan dalam pembuatan suatu public policy, tentu tidak bisa dikesampingkan begitu saja peran dari lembaga yudikatif. Sebab lembaga yudikatif memiliki peran untuk melakukan penegakkan hukum (law enforcement), yang terkait dengan mengamankan implementasi dari public policy kepada rakyat, dari protes-protes yang mengarah pada tindakan anarkisme terhadap public policy itu, yang dilakukan oleh kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi.
Hal ini dilakukan guna menjamin stabilitas sosial politik, ekonomi, dan stabilitas keamanan negara. Sehingga kontuinitas roda pemerintahan bisa tetap berjalan dengan baik. Kondisi ini biasanya ditemui tatkala public policy itu krusial, dan berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak. Misalnya dalam public policy kenaikan tarif BBM yang dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan disetujui oleh lembaga legislatif. Peran pengamanan ini biasanya dilakukan oleh Polri. Pasalnya Polri memiliki kewenangan dalam bidang penegakkan hukum dan keamanan (law enforcement and security).
Hal ini bisa dilihat dari peran Polri yang selalu mengarahkan  ratusan personilnya, pada seluruh daerah di tanah air, untuk mengamankan demonstrasi akibat public policy naiknya tarif BBM, yang dilakukan oleh kelompok kepentingan, kelompok penekan dan partai politik oposisi terhadap lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Dimana demonstrasi ini sering kali melibatkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI), Univeritas Gadjah Mada (UGM), Universitas Trisakti, Universitas Hasanuddin (Unhas), Sarikat Pekerja Nasional (SPN), Sarikat Pekerja Indonesia (SPI), Konfederasi Aliansi Sarikat Buruh Indonesia (KASBI), Partai Rakyat Demokratik (PRD), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Dalam negara yang menganut demokrasi dalam sistem politiknya, tentu peran politik yang dilakukan oleh kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi terkait dengan demonstrasi akibat public policy naiknya tarif BBM, merupakan suatu hal yang sah-sah saja, dimana merupakan mekanisme cheks and balances terhadap lembaga eksekutif dan lembaga legislative, yang dikuasai oleh partai-partai politik yang dominan suaranya dalam Pemilu. Hal ini dilakukan, untuk menghindari  penyalagunaan kekuasaan (abuse of power), dari lembaga-lembaga formal ini dalam membuat suatu public policy.
Praktek ini merupakan esensi penting dari suatu negara, yang memadang dirinya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat (popular sovereignty implementing). Dimana kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat. Hal ini sebagaimana pendapat John Locke (1689)  yang populer melalui karya monumentalnya yang berjudul “Two Treatises of Government”, yang mengatakan bahwa, terbentuknya negara didasarkan pada asas pactum unionis dan pactum subjectionis. Pactum unionis merupakan perjanjian antar individu untuk membentuk negara, sedangkan pactum subjectionis adalah perjanjian antara individu dan negara yang dibentuk. Perjanjian itu menentukan bahwa individu memberikan mandat kepada negara atau pemerintah.
Mandat rakyat diberikan agar pemerintah mendapat kekuasaan dalam mengelola negara berdasarkan konstitusi, yang ditetapkan dalam pactum subjectionis. Atas dasar itu, maka lembaga eksekutif dan lembaga legislative sebagai pemegang kekuasaan politik, yang diberikan mandat dari rakyat melalui Pemilu, dalam membuat public policy harus mengakomodasi kepentingan rakyat, yang didasarkan pada konstitusi. Begitu pula kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan partai politik oposisi memiliki peran, untuk mengontrol lembaga eksekutif dan lembaga legislative sebagai pemegang kekuasaan politik, yang diberikan mandat dari rakyat melalui Pemilu, agar dalam membuat public policy harus mengakomodasi kepentingan rakyat, yang didasarkan pada konstitusi.(M.J.Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar