Minggu, 18 Juni 2017

Antara Aristoteles, Islam, dan Komunisme

Aristoteles lahir di Stageira semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan)  pada tahun 384 S.M. dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 S.M. Ia mengembangkan ajaran realisme (kenyataan), dengan dua karya monumentalnya yang popular yakni ; Ethica yang berisi tentang keadilan, dan Politico yang berisi tentang negara. Pemikiran-pemikiran dari Aristoteles masih di pengaruhi oleh Plato. Hal ini dikarenakan Aristoteles adalah murid dari Plato. Dimana kurang lebih dua puluh tahun lamanya Aristoteles menjadi murid dari Plato.
Banyak pemikiran dari Aristoteles sampai dengan saat ini masih menjadi pijakan awal, dalam mempelajari ilmu-ilmu sosial (sociale wetenschappen). Pasalnya tatkala pada permulaan kita mempelajari ilmu-ilmu sosial, kita akan selalu bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran dari Aristoteles. Sebab pemikiran dari Aristoteles menjadi kerangka konseptual dari ilmu-ilmu sosial. Berbagai pemikiran dari Aristoteles dapat kita temui melalui tema ; logika, metafisika, filosofi alam, dan negara.  
Khusus pemikiran Aristoteles tentang negara (staat) ulasannya akan mencakup bentuk-bentuk pemerintahan. Dimana Aristoteles membagi tiga bentuk pemerintahan, yang lazim disebutnya dengan istilah tiga macam bentuk tata negara, antara lain : monarki atau basilea, aristokrasi, dan politea atau timokrasi. Dari pemikiran Aristoteles tentang bentuk-bentuk negara tersebut, Aristoteles secara komprehensif  menjelaskan kelebihan dan kelemahannya.(Hatta, 1986, Abu, 2011).
Pemikiran dari Aristoteles menyangkut dengan bentuk-bentuk pemerintahan sampai dengan saat ini masih relevan di bicarakan. Hal ini dikarenakan,  sebagian besar negara-negara di dunia masih menggunakan bentuk-bentuk pemerintahan, yang dikemukakan Aristoteles itu. Penggunaan bentuk-bentuk pemerintahan tersebut,  tentu  tidak semuanya murni lagi. Sebab sudah mengalami modifikasi, yang disesuaikan dengan kondisi sosial politik, dari negara-negara yang menerapkannya, maupun disesuaikan dengan dinamika perkembangan zaman yang terjadi.
Disamping itu juga, pemikiran Aristoteles yang mengulas tentang pelarangan riba sampai dengan penumpukan kapitalis sejalan dengan pemikiran Islam dan Komunisme yang lahir dari pemikiran Karl Heinrich Marx (1818-1883), yang popular melalui karya monumentalnya Manifest der Kommunistichen Partei, dan Achtzehnte Brumaire. Pada titik ini, tentu hal ini menjadi ulasan yang menarik, untuk dibicarakan secara mendetail. Sebab terjadi perjumpaan antara Islam dan Komunisme, yang bersumber dari pemikiran Aristoteles, yang satu sama lainnya dari sisi ajarannya masing-masing saling bertolak belakang.
Hal ini dikarenakan dari sisi teologis Islam adalah agama samawi yang theis,  dimana Islam mempercayai adanya Sang Khalik sebagai Pencipta alam semesta. Sedangkan Komunisme sebagai suatu faham yang lahir dari pemikiran Karl Heinrich Marx,  jika dilihat dari aspek teologis adalah suatu faham yang atheis, dimana tidak mempercayai adanya Sang Khalik sebagai Pencipta alam semesta. Tentu merupakan sesuatu yang saling berbeda antara keduanya, dimana tidak bisa seiring sejalan karena aspek teologis.
Namun dalam perspektif pemikiran Aristoteles, tentu kita tidak sedang membicarakan relasi ini dari sisi teologis. Tapi kita  tengah membicarakannya dari sisi negara (staat). Pasalnya negara merupakan salah satu institusi sosial-kemasyarakatan yang luas dan kompleks. Sehingga pembicaraannya  lebih mengarah pada relasi antara manusia dengan manusia (hablumminannas), yang merupakan elemen vital dari negara, dan bukan relasi antara manusia dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta (hablumminallah), sebagaimana ulasannya dari sisi teologis.  Untuk itu, perdebatan menyangkut atheis dan theis tidak dibahas secara mendetail dalam narasi ini.
Khusus menyangkut dengan relasi Islam segaris dengan pemikiran Aristoteles. Dimana permasalahan ini dapat kita lihat dari pemikiran Aristoteles tentang perbuatan yang paling di celanya,  ialah perbuatan tukar menukar dengan memungut riba.  Menurut Aristoteles bahwa, uang berfungsi sebagai alat tukar, bukan sebagai alat untuk tambahan berupa bunga. Pengambilan bunga secara tetap, tanpa memperhatikan hasil usaha pihak yang mendapatkan pinjaman merupakan sesuatu yang tidak adil.
Beranjak dari argumentasi yang dikemukan Aristoteles itu, tentu perbuatan tukar menukar dengan memungut riba dalam Islam dilarang bahkan diharamkan. Hal ini terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunah. Al-Qur’an menyatakan haram terhadap riba bagi kalangan masyarakat Muslim. Dimana Allah SWT telah mewahyukan adanya larangan riba secara bertahap, sehingga tidak menganggu kehidupan ekonomi masyarakat pada saat itu. Dalam al-Qur’an, perintah dan larangan turunnya wahyu tentang riba, terdiri dari beberapa kali.
Pertama, penekanannya pada kenyataan bahwa bunga tidak dapat meningkatkan kesejahteraan terhadap individu maupun kesejahteraan  secara nasional. Akan tetapi, bunga akan menurunkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Hal ini tertuang dalam Surat ar-Rumm ayat 39 : “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Kedua, wahyu Allah SWT dalam al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 130, memberikan peringatan agar orang Islam tidak memungut bunga, jika mereka benar-benar ingin berhasil dalam hidupnya. Perintah kepada orang yang beriman agar tidak memakan riba dan supaya bertakwa kepada Allah SWT. Hal ini tertuang dalam Surat Ali Imran  ayat 130 : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Ketiga penekanannya pada perbedaan antara transaksi jual beli dan riba. Dalam tahap ini, ditujukkan bahwa riba akan menghancurkan kesejahteraan suatu bangsa. Dalam firman Allah SWT jelas yang isinya memerintahkan agar umat Islam yang beriman menjauhkan diri dari praktik riba atau sejenisnya, karena praktik riba dapat mengakibatkan kesengsaraan di dunia maupun akhirat. Hal ini tertuang dalam surat  al-Baqarah ayat 275 dan 276.
Dimana menyebutkan : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan sepertinya berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni neraka ; mereka kekal didalamnya (275). Allah memusnakan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa (276).”
Keempat, ditekankan bahwa riba itu haram, dan menyatakannya sebagai perintah terlarang bagi umat Islam. Allah memerintahkan orang-orang beriman agar meninggalkan sisa riba. Allah SWT dan Rasulullah SAW akan memerangi praktik riba dalam masyarakat. Hal ini tertuang dalam surat al-Baqarah ayat 278 dan 279 : “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkannlah sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang-orang yang beriman (278). Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (279).”
Ternyata bukan hanya Islam melalui al-Qur’an yang melarang praktik riba di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Namun sejak zaman dahulu kala, sebelum hadirnya Islam praktik riba di tengah-tengah kehidupan masyarakat sudah tidak diperbolehkan. Dimana larangan riba berlaku umum. Fakta ini dapat dilihat pada masyarakat Romawi dan Yunani, dimana sudah melarang pungutan bunga di wilayahnya. Bahkan pratik riba mendapat ganjaran hukum yang ketat.  Pasalnya hanya merugikan masyarakat, yang terlilit dengan praktik riba.(Ismail, 2011).
Sedangkan relasi komunisme yang lahir dari pemikiran Karl Heinrich Marx  dengan perspektif pemikiran Aristoteles, dapat  kita temukan dalam ulasan Aristoteles tentang penumpukan kapital. Dimana Karl Heinrich Marx  beranggapan kapitalisme seluruhnya terarah pada keuntungan pemilik sebesar-besarnya, kapitalisme menghasilkan penghisapan manusia pekerja dan, karena itu pertentangan kelas paling tajam. Akibatnya produksi kapitalistik semakin tidak terjual. Sebab tidak semakin tidak terbeli oleh masa buruh yang sebenarnya membutuhkannya.
Disamping itu, pendapat Aristoteles  bahwa sebagian manusia lahir untuk menjadi tuan, sebagian lagi menjadi budak guna menyelenggarakan pekerjaan kasar. Dari pendapat Aristoteles tersebut juga segaris dengan pendapat Karl Heinrich Marx  menyangkut dengan teori kelas. Dimana dalam padangan Karl Heinrich Marx  bahwa, pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Menurutnya kita telah melihat bahwa, keterasingan manusia adalah hasil penindasan satu kelas oleh kelas lainnya.
Oleh karena itu, emansipasi dari keterasingan itu hanya dapat tercapai melalui perjuangan kelas. Menurut Karl Heinrich Marx, akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Karl Heinrich Marx  berbicara tentang kelas-kelas atas dan kelas-kelas bawah. Hal ini dikarenakan perhatian Karl Heinrich Marx terutama terarah pada masyarakat kontemporer.
Selanjutnya Aristoteles menyebutkan bahwa, perbudakan dapat hilang apabila sudah terdapat alat automatik yang melakukan pekerjaan dengan sendirinya. Bisa dipredisikan bahwa alat automatik tersebut tidak lain adalah penggunaan tenaga mesin, yang hadir seiring dengan modernisasi kemajuan industri secara pesat pada permulaan abad ke-19 di Eropa Barat. Pada titik ini terfokus lagi pada kelas para majikan yang memiliki alat-alat kerja : pabrik, mesin, dan tanah (kalau mereka tuan tanah).
Penggunaan tenaga mesin yang hadir seiring dengan modernisasi kemajuan industri secara pesat pada permulaan abad ke-19 di Eropa  Barat menyedihkan. Pasalnya kemajuan industri secara pesat telah menimbulkan keadaan sosial yang sangat merugikan kaum buruh, seperti misalnya upah yang rendah, jam kerja yang panjang, tenaga perempuan dan anak yang  disalahgunakan sebagai tenaga murah, keadaan dalam pabrik-pabrik yang membahayakan dan menganggu kesehatan.
Kondisi ini turut di kecam oleh Karl Heinrich Marx. Sehingga seperti dikemukakan sebelumnya bahwa, Karl Heinrich Marx menilai kapitalisme seluruhnya terarah pada keuntungan pemilik sebesar-besarnya, kapitalisme menghasilkan penghisapan manusia pekerja dan, karena itu pertentangan kelas paling tajam. Dengan kondisi ini menurutnya bahwa, masyarakat tidak dapat diperbaiki secara tambal sulam dan harus di ubah secara radikal melalui pendobrakan sendi-sendinya. (Magnis, 2005, Budiardjo, 2008).
Pada akhirnya Karl Heinrich Marx menilai, kelas buruh melakukan pekerjaan, tetapi karena mereka tidak memiliki tempat dan sarana kerja, mereka menjual tenaga kerja mereka kepada kelas pemilik. Sehingga hasil kerja dan kegiatan bekerja bukan lagi milik para pekerja, melainkan milik para majikan. Karena itu, dalam sistem produksi kapitalis, dua kelas saling berhadapan yakni kelas buruh dan kelas pemilik. Dimana saling membutuhkan, buruh hanya dapat bekerja apabila pemilik membuka tempat kerja baginya. Dan majikan hanya beruntung dari pabrik dan mesin-mesin yang dimilikinya apabila ada buruh yang mengerjakannya.(M.J.Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar