Aristoteles
lahir di Stageira semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun 384 S.M. dan meninggal di Kalkis
pada tahun 322 S.M. Ia mengembangkan ajaran realisme (kenyataan), dengan dua
karya monumentalnya yang popular yakni ; Ethica yang berisi tentang keadilan,
dan Politico yang berisi tentang negara. Pemikiran-pemikiran dari Aristoteles
masih di pengaruhi oleh Plato. Hal ini dikarenakan Aristoteles adalah murid
dari Plato. Dimana kurang lebih dua puluh tahun lamanya Aristoteles menjadi
murid dari Plato.
Banyak pemikiran
dari Aristoteles sampai dengan saat ini masih menjadi pijakan awal, dalam
mempelajari ilmu-ilmu sosial (sociale wetenschappen). Pasalnya tatkala pada permulaan kita mempelajari ilmu-ilmu sosial, kita
akan selalu bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran dari Aristoteles. Sebab
pemikiran dari Aristoteles menjadi kerangka konseptual dari ilmu-ilmu sosial. Berbagai pemikiran dari Aristoteles
dapat kita temui melalui tema ; logika, metafisika, filosofi alam, dan negara.
Khusus pemikiran
Aristoteles tentang negara (staat) ulasannya
akan mencakup bentuk-bentuk pemerintahan. Dimana Aristoteles membagi tiga
bentuk pemerintahan, yang lazim disebutnya dengan istilah tiga macam bentuk
tata negara, antara lain : monarki atau basilea, aristokrasi, dan politea atau
timokrasi. Dari pemikiran Aristoteles tentang bentuk-bentuk negara tersebut,
Aristoteles secara komprehensif
menjelaskan kelebihan dan kelemahannya.(Hatta, 1986, Abu, 2011).
Pemikiran dari
Aristoteles menyangkut dengan bentuk-bentuk pemerintahan sampai dengan saat ini
masih relevan di bicarakan. Hal ini dikarenakan, sebagian besar negara-negara di dunia masih
menggunakan bentuk-bentuk pemerintahan, yang dikemukakan Aristoteles itu.
Penggunaan bentuk-bentuk pemerintahan tersebut,
tentu tidak semuanya murni lagi. Sebab
sudah mengalami modifikasi, yang disesuaikan dengan kondisi sosial politik,
dari negara-negara yang menerapkannya, maupun disesuaikan dengan dinamika
perkembangan zaman yang terjadi.
Disamping itu
juga, pemikiran Aristoteles yang mengulas tentang pelarangan riba sampai dengan
penumpukan kapitalis sejalan dengan pemikiran Islam dan Komunisme yang lahir
dari pemikiran Karl Heinrich Marx (1818-1883), yang popular melalui karya
monumentalnya Manifest der Kommunistichen Partei, dan Achtzehnte Brumaire. Pada
titik ini, tentu hal ini menjadi ulasan yang menarik, untuk dibicarakan secara
mendetail. Sebab terjadi perjumpaan antara Islam dan Komunisme, yang bersumber
dari pemikiran Aristoteles, yang satu sama lainnya dari sisi ajarannya
masing-masing saling bertolak belakang.
Hal ini
dikarenakan dari sisi teologis Islam adalah agama samawi yang theis, dimana Islam mempercayai adanya Sang Khalik
sebagai Pencipta alam semesta. Sedangkan Komunisme sebagai suatu faham yang
lahir dari pemikiran Karl Heinrich Marx, jika dilihat dari aspek teologis adalah suatu
faham yang atheis, dimana tidak mempercayai adanya Sang Khalik sebagai Pencipta
alam semesta. Tentu merupakan sesuatu yang saling berbeda antara keduanya,
dimana tidak bisa seiring sejalan karena aspek teologis.
Namun dalam
perspektif pemikiran Aristoteles, tentu kita tidak sedang membicarakan relasi
ini dari sisi teologis. Tapi kita tengah
membicarakannya dari sisi negara (staat).
Pasalnya negara merupakan salah satu institusi sosial-kemasyarakatan yang luas
dan kompleks. Sehingga pembicaraannya
lebih mengarah pada relasi antara manusia dengan manusia (hablumminannas), yang merupakan elemen
vital dari negara, dan bukan relasi antara manusia dengan Tuhan sebagai Sang
Pencipta (hablumminallah),
sebagaimana ulasannya dari sisi teologis.
Untuk itu, perdebatan menyangkut atheis dan theis tidak dibahas secara
mendetail dalam narasi ini.
Khusus
menyangkut dengan relasi Islam segaris dengan pemikiran Aristoteles. Dimana
permasalahan ini dapat kita lihat dari pemikiran Aristoteles tentang perbuatan
yang paling di celanya, ialah perbuatan
tukar menukar dengan memungut riba.
Menurut Aristoteles bahwa, uang berfungsi sebagai alat tukar, bukan
sebagai alat untuk tambahan berupa bunga. Pengambilan bunga secara tetap, tanpa
memperhatikan hasil usaha pihak yang mendapatkan pinjaman merupakan sesuatu
yang tidak adil.
Beranjak dari
argumentasi yang dikemukan Aristoteles itu, tentu perbuatan tukar menukar
dengan memungut riba dalam Islam dilarang bahkan diharamkan. Hal ini terdapat
dalam al-Qur’an dan as-Sunah. Al-Qur’an menyatakan haram terhadap riba bagi
kalangan masyarakat Muslim. Dimana Allah SWT telah mewahyukan adanya larangan
riba secara bertahap, sehingga tidak menganggu kehidupan ekonomi masyarakat
pada saat itu. Dalam al-Qur’an, perintah dan larangan turunnya wahyu tentang
riba, terdiri dari beberapa kali.
Pertama,
penekanannya pada kenyataan bahwa bunga tidak dapat meningkatkan kesejahteraan
terhadap individu maupun kesejahteraan
secara nasional. Akan tetapi, bunga akan menurunkan kesejahteraan ekonomi
masyarakat. Hal ini tertuang dalam Surat ar-Rumm ayat 39 : “Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Kedua, wahyu
Allah SWT dalam al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 130, memberikan peringatan agar
orang Islam tidak memungut bunga, jika mereka benar-benar ingin berhasil dalam
hidupnya. Perintah kepada orang yang beriman agar tidak memakan riba dan supaya
bertakwa kepada Allah SWT. Hal ini tertuang dalam Surat Ali Imran ayat 130 : “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Ketiga
penekanannya pada perbedaan antara transaksi jual beli dan riba. Dalam tahap
ini, ditujukkan bahwa riba akan menghancurkan kesejahteraan suatu bangsa. Dalam
firman Allah SWT jelas yang isinya memerintahkan agar umat Islam yang beriman
menjauhkan diri dari praktik riba atau sejenisnya, karena praktik riba dapat
mengakibatkan kesengsaraan di dunia maupun akhirat. Hal ini tertuang dalam
surat al-Baqarah ayat 275 dan 276.
Dimana
menyebutkan : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan sepertinya berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni neraka ; mereka kekal
didalamnya (275). Allah memusnakan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa
(276).”
Keempat,
ditekankan bahwa riba itu haram, dan menyatakannya sebagai perintah terlarang
bagi umat Islam. Allah memerintahkan orang-orang beriman agar meninggalkan sisa
riba. Allah SWT dan Rasulullah SAW akan memerangi praktik riba dalam
masyarakat. Hal ini tertuang dalam surat al-Baqarah ayat 278 dan 279 : “Hai
orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkannlah sisa riba
(yang belum dipungut), jika kamu orang-orang yang beriman (278). Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba)
maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya
(279).”
Ternyata bukan
hanya Islam melalui al-Qur’an yang melarang praktik riba di tengah-tengah
kehidupan masyarakat. Namun sejak zaman dahulu kala, sebelum hadirnya Islam
praktik riba di tengah-tengah kehidupan masyarakat sudah tidak diperbolehkan.
Dimana larangan riba berlaku umum. Fakta ini dapat dilihat pada masyarakat
Romawi dan Yunani, dimana sudah melarang pungutan bunga di wilayahnya. Bahkan pratik
riba mendapat ganjaran hukum yang ketat.
Pasalnya hanya merugikan masyarakat, yang terlilit dengan praktik riba.(Ismail, 2011).
Sedangkan relasi
komunisme yang lahir dari pemikiran Karl Heinrich Marx dengan perspektif pemikiran Aristoteles,
dapat kita temukan dalam ulasan
Aristoteles tentang penumpukan kapital. Dimana Karl Heinrich Marx beranggapan kapitalisme seluruhnya terarah
pada keuntungan pemilik sebesar-besarnya, kapitalisme menghasilkan penghisapan
manusia pekerja dan, karena itu pertentangan kelas paling tajam. Akibatnya produksi
kapitalistik semakin tidak terjual. Sebab tidak semakin tidak terbeli oleh masa
buruh yang sebenarnya membutuhkannya.
Disamping itu,
pendapat Aristoteles bahwa sebagian
manusia lahir untuk menjadi tuan, sebagian lagi menjadi budak guna menyelenggarakan
pekerjaan kasar. Dari pendapat Aristoteles tersebut juga segaris dengan
pendapat Karl Heinrich Marx menyangkut
dengan teori kelas. Dimana dalam padangan Karl Heinrich Marx bahwa, pelaku utama dalam masyarakat adalah
kelas-kelas sosial. Menurutnya kita telah melihat bahwa, keterasingan manusia
adalah hasil penindasan satu kelas oleh kelas lainnya.
Oleh karena itu,
emansipasi dari keterasingan itu hanya dapat tercapai melalui perjuangan kelas.
Menurut Karl Heinrich Marx, akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat
terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Karl Heinrich
Marx berbicara tentang kelas-kelas atas
dan kelas-kelas bawah. Hal ini dikarenakan perhatian Karl Heinrich Marx
terutama terarah pada masyarakat kontemporer.
Selanjutnya Aristoteles
menyebutkan bahwa, perbudakan dapat hilang apabila sudah terdapat alat
automatik yang melakukan pekerjaan dengan sendirinya. Bisa dipredisikan bahwa
alat automatik tersebut tidak lain adalah penggunaan tenaga mesin, yang hadir
seiring dengan modernisasi kemajuan industri secara pesat pada permulaan abad
ke-19 di Eropa Barat. Pada titik ini terfokus lagi pada kelas para majikan yang
memiliki alat-alat kerja : pabrik, mesin, dan tanah (kalau mereka tuan tanah).
Penggunaan
tenaga mesin yang hadir seiring dengan modernisasi kemajuan industri secara
pesat pada permulaan abad ke-19 di Eropa
Barat menyedihkan. Pasalnya kemajuan industri secara pesat telah
menimbulkan keadaan sosial yang sangat merugikan kaum buruh, seperti misalnya
upah yang rendah, jam kerja yang panjang, tenaga perempuan dan anak yang disalahgunakan sebagai tenaga murah, keadaan
dalam pabrik-pabrik yang membahayakan dan menganggu kesehatan.
Kondisi ini turut
di kecam oleh Karl Heinrich Marx. Sehingga seperti dikemukakan sebelumnya
bahwa, Karl Heinrich Marx menilai kapitalisme seluruhnya terarah pada
keuntungan pemilik sebesar-besarnya, kapitalisme menghasilkan penghisapan
manusia pekerja dan, karena itu pertentangan kelas paling tajam. Dengan kondisi
ini menurutnya bahwa, masyarakat tidak dapat diperbaiki secara tambal sulam dan
harus di ubah secara radikal melalui pendobrakan sendi-sendinya. (Magnis, 2005,
Budiardjo, 2008).
Pada akhirnya Karl
Heinrich Marx menilai, kelas buruh melakukan pekerjaan, tetapi karena mereka
tidak memiliki tempat dan sarana kerja, mereka menjual tenaga kerja mereka
kepada kelas pemilik. Sehingga hasil kerja dan kegiatan bekerja bukan lagi
milik para pekerja, melainkan milik para majikan. Karena itu, dalam sistem
produksi kapitalis, dua kelas saling berhadapan yakni kelas buruh dan kelas
pemilik. Dimana saling membutuhkan, buruh hanya dapat bekerja apabila pemilik
membuka tempat kerja baginya. Dan majikan hanya beruntung dari pabrik dan
mesin-mesin yang dimilikinya apabila ada buruh yang mengerjakannya.(M.J.Latuconsina).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar