Jumat, 03 April 2009

Fragmentasi Politik Kaum Santri


Sampai saat ini, kiprah politik kaum santri dipentas nasional kerap menjadi bahasan menarik. Kiprah politik kaum santri menjadi bahasan menarik, karena lebih dari 200 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia, 90 persennya adalah pemeluk Islam. Dalam persentasi jumlah penduduk sebesar itu, menyisahkan sebagian besar adalah pemilih santri, yang seringkali menjadi rebutan partai politik dalam tiap kali pemilu yang di gelar di republik ini.
 Jumlah konstituen kaum santri yang signifikan tersebut, tak pelak membuat para politikus santri, yang terhimpun dalam partai politik yang beridiologi Islam, dan partai politik yang berbasis massa Islam, kerap menggunakan potensi itu, sebagai instrumen politik untuk memperoleh jabatan-jabatan publik melalui pemilihan umum (pemilu), yang digelar dari waktu ke waktu.
Tidak mengherankan kata Effendy (2008), sejarah politik Indonesia modern sarat akan bukti tentang strategisnya posisi segmen pemilih beragama Islam itu. Koalisi-koalisi partai yang berkuasa di zaman demokrasi parlementer, selalu melibatkan dan ditopang oleh kekuatan Islam baik Masyumi maupun Nahhdlatul Ulama (NU).
Pentas Politik Lokal Maluku
 Dalam pentas politik lokal di Maluku-pun demikian, para politikus kaum santri, yang banyak terlibat dalam partai politik berideologi Islam, dan partai politik yang memiliki basis massa Islam, kerap mengklaim memiliki basis massa pemilih kaum santri. Klaim itu, tentu bukan sesuatu yang subyektif belaka, karena pada pemilu 2004 para politikus santri, sukses memperoleh kursi di DPRD Maluku, dengan dukungan basis pemilih kaum santri.
Fakta ini-lah, yang kemudian membuat mereka berkeinginan kuat untuk berlaga dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung Maluku 9 Juli 2008 mendatang. Pasalnya dengan memiliki segmentasi pemilih kaum santri, akan dijadikan nilai bargaining, untuk melakukan proses rekruitmen calon kepala daerah (calkada), dan calon wakil kepala daerah (cawalkada), maupun melakukan proses koalisi antar partai politik dalam pilkada langsung.
 Klaim memiliki basis pemilih santri, tak pelak membuat para politikus santri Maluku, yang terhimpun dalam: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Amanat Nasional (PAN), seringkali berwacana menyangkut proses kandidasi calkada, dan cawalkada kepada publik di berbagai media massa lokal.
Fragmentasi Politik Kaum Santri
 Meski mereka kerap berwacana menyangkut proses kandidasi calkada dan cawalkada kepada publik di berbagai media massa lokal, ternyata justru menyisahkan fragmentasi (perpecahan) politik, yang tengah dialami kaum santri dalam menghadapi pilkada langsung. Pasalnya ketujuh partai politik kaum santri itu, sudah tersegregasi mengikuti arus pragmatisme politik mereka masing-masing, dalam upaya politik mereka untuk memperoleh jabatan politik.
 Hal ini ditandai dengan tidak adanya kongsi politik, yang dibangun ketujuh partai politik kaum santri tersebut, dalam mengusung pasangan calkada dan cawalkada, yang akan berlaga dalam pilkada langsung. Justru sebaliknya, sebagian dari partai-partai politik kaum santri itu, telah memilih untuk berkoalisi dengan partai-partai yang berideologi nasionalis-sekuler, dalam mengusung calkada dan cawalkada.
Longgarnya, koalisi partai politik kaum santri dalam mengusung calkada dan cawalkada pada proses kandidasi, yang tidak lagi memperhitungkan basis ideologi pemilih tersebut, tentu akan semakin mendekatkan partai-partai politik kaum santri dengan pragmatisme politik jangka pendek, dalam mengejar jabatan politik. Padahal dari sisi asas dan orientasi, sebagian besar dari partai politik kaum santri itu bukan merupakan partai politik pragmatis/partai politik kepentingan, tapi merupakan partai politik doktriner,
Oleh Gatara (2007) dan Said (2007) partai politik doktriner dikatakan sebagai, partai politik yang memiliki sejumlah program dan kegiatan konkret sebagai penjabaran ideologi. Sehingga dalam pola koalisi antar partai politik dalam mengusung pasangan calkada dan cawalkada, pada pilkada langsung mestinya merupakan penjabaran dari idiologi yang dianut ketujuh partai politik kaum santri tersebut.
Dampaknya Pada Pemilih Santri
Gejala seperti ini, semakin memperkuat anggapan bahwa, para elit politik dari kalangan kaum santri tidak pernah akur, satu sama lainnya. Hal ini ditandai dengan sering terjadinya benturan, dan benturan-benturan tersebut biasanya diikuti oleh massa pendukung mereka, yang pada akhirnya semakin memperkokoh pengkotak-kotakan, dan fanatisme.
 Fragmentasi politik kaum santri, dipastikan akan berdampak terhadap preferensi politik pemilih kaum santri, dalam pilkada langsung. Sehingga para pemilih santri-pun, tidak akan terfokus mencoblos salah satu figur calkada dan cawalkada, yang didukung oleh partai politik yang beridiologi Islam, dan partai politik yang memiliki basis massa Islam.
 Sehingga kans untuk memenangi pilkada langsung Maluku, diperkirakan bukan menjadi milik figur calkada dan cawalkada yang didukung oleh partai politik beridiologi Islam, dan partai politik yang memiliki basis massa Islam. Namun kans kemenangan itu akan berada pada figur calkada, dan cawalkada yang di usung partai nasionalis-sekuler. Dimana akan meraih dukungan konstituen santri dalam memenangkan pilkada langsung. 
 Hal ini terjadi, dengan dua perkiraan. Pertama, karena terdapat elit santri yang diusung oleh partai nasionalis-sekuler, dalam pilkada langsung sebagai calkada dan cawalkada. Sehingga para pemilih santri akan mencoblos partai politik nasionalis-sekuler tersebut. Kedua, terdapat koalisi antara sebagian partai politik berideologi Islam, dan partai politik yang memiliki basis massa Islam dengan partai politik berdeologi nasionalis-sekuler dalam pilkada langsung Maluku. Sehingga suara konstituen kaum santri akan dijadikan penentu kemenangan dalam pilkada langsung.
 Jika tesis ini teruji dalam pilkada langsung Maluku, tentu akan semakin memperkuat pendapat Mujani (2007) bahwa, menguatnya kekuatan partai politik sekuler tidak mengherankan. Sebab, orientasi terhadap nilai-nilai politik sekuler di kalangan muslim Indonesia juga menunjukkan kecenderungan semakin dominan. Mencapai 57 persen. Orientasi pada nilai-nilai politik islamis lebih kecil, yaitu 33 persen. Angka 33 persen itu sebenarnya cukup signifikan. Tapi, orientasi itu belum mampu diolah menjadi kekuatan elektoral.(M.J.Latuconsina)
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar