Jumat, 03 April 2009

Pluralisme Ekstrim


Hampir tidak henti-hentinya, partai politik tumbuh pesat dalam tiga kali Pemilu, pasca kolapsnya rezim Orde Baru. Dimana pada Pemilu 1999 terdapat 48 partai politik yang tampil sebagai kontestan Pemilu. Begitu pun dalam Pemilu 2004 terdapat 24 partai politik yang hadir sebagai kontestan Pemilu. Sedangkan dalam Pemilu 2009 terdapat 40 partai politik yang tampil sebagai kontestan Pemilu. Kondisi ini hampir serupa dengan Pemilu 1955, tatkala terdapat 172 kontestan, yang berpartisipasi dalam pemilu pertama tersebut.
Sehingga nyaris tidak terdapat perbedaan dalam tiga kali Pemilu pasca rezim Soeharto, dan satu kali Pemilu pada masa rezim Soekarno. Pasalnya dalam empat kali Pemilu tersebut, sama-sama mempraktikan sistem kepartaian pluralisme ekstrim. Tidak mengherankan sistem kepartaian pluralisme ekstrim tersebut, tidak pernah menghasilkan partai politik dengan suara mayoritas. Sebab perolehan suara partai politik dalam Pemilu-Pemilu tersebut, hampir selalu terbagi merata pada 4-5 partai politik besar, dengan menyisihkan puluhan partai politik menengah dan kecil. 
Padahal penerapan sistem kepartaian pluralisme ekstrim sering berimplikasi terhadap jalannya roda pemerintahan, dimana partai politik yang menempati posisi kepala pemerintahan, terpaksa menempuh koalisi dengan partai politik yang memiliki suara lebih besar. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas keberlangsungan roda pemerintahan. Tentu situasi ini, sangat rentan terhadap lemahnya pemerintahan, yang dijalankan oleh kepala pemerintahan dari partai politik, yang bukan merupakan pemenang Pemilu legislatif.
Karena itu, jika koalisi antar partai politik pendukung pemerintah mengalami krisis politik yang hebat, tentu akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan kinerja pemerintahan. Sebab pemerintahan yang dijalankan oleh kepala pemerintahan dari partai politik, yang bukan merupakan pemenang Pemilu legislatif, hanya akan sibuk merespons krisis politik yang tengah terjadi. Kalau kondisi ini terjadi secara terus-menerus, maka agenda-agenda strategis pembangunan nasional, akan terbengkalai karena terkuras oleh persoalan politik. 
Hal ini berbeda dengan Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan Pemilu 1997 di era rezim Orde Baru, yang menerapkan sistem kepartaian pluralisme moderat. Dimana dalam lima kali pemilu tersebut, hanya mengikutsertakan tiga partai politik sebagai kontestan Pemilu. Penerapan sistem kepartaian pluralisme moderat di era rezim Soeharto tersebut, berimplikasi positif terhadap jalannya roda pemerintahan. Pasalnya Golkar tampil sebagai partai politik yang memiliki suara mayoritas, mengungguli PPP dan PDI, sehingga menghasilkan strong government.  
Namun fenomena strong government, yang lahir melalui penerapan sistem kepartaian pluralisme moderat dalam lima kali Pemilu di era Orde Baru tersebut, bukan merupakan perampingan partai politik, melalui regulasi yang demokratis, tapi melalui regulasi yang tidak demokratis. Sehingga tidak perlu diadopsi untuk diterapkan. Pasalnya agenda perampingan partai politik tersebut, memiliki target dalam rangka mensupport development state-Orde Baru, yang ditopang oleh borjuasi pribumi, yang terdiri dari kapitalis birokratik-mencakup para birokrat sipil dan militer dan pengusaha klien (Robinson,1977).
 Terlepas dari itu, sistem kepartaian pluralisme ekstrim, tentu menjadi dilema serius bagi transisi demokrasi kita, karena tiap menjelang Pemilu partai-partai politik baru hadir, untuk bisa berpartisipasi dalam Pemilu. Tapi tatkala partai-partai politik baru tersebut berpartisipasi dalam Pemilu, raihan suaranya tidak maksimal. Tak pelak, lebih banyak impian dari partai-partai politik baru tersebut untuk meraih suara sebanyak-banyaknya, tanpa banyak menuai hasil rill. Akhirnya raihan kursi di DPR-pun minim bahkan ironisnya justru nihil.
Hal ini dikarenakan, kebanyakan dari partai-partai politik baru tersebut memiliki ideologi, dan wilayah garapan pemilih yang sama dengan parta-partai politik lama. Bahkan kebanyakan dari pengurus partai-partai politik baru tersebut, adalah eks pengurus partai politik lama, yang karena didera konflik antar sesama kolega pengurus partainya, kemudian memilih keluar lantas mendirikan partai politik baru, untuk tetap eksis dalam pentas politik nasional. 
Kini tatkala para politikus tersebut, tampil dengan partai politik baru mereka dalam Pemilu 2009, bukan lagi menjadi jaminan bagi eksistensi keberadaan mereka dalam pentas politik nasional, layaknya yang terjadi dalam Pemilu 1999 dan 2004 lalu. Pasalnya terdapat regulasi dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008, dimana semakin ketat membatasi jumlah partai politik, yang mengisi kursi wakil rakyat di DPR melalui mekanisme parlementary treshold. 
Sehingga dalam Pemilu 2009 mendatang, jika partai-partai politik baru gagal meraih suara 2,5 persen suara sah nasional, maka partai tersebut tidak berhak menempatkan pengurus partai yang tampil sebagai caleg di kursi DPR. Mekanisme ini, tentu memacu partai-partai politik baru untuk berupaya maksimal meraih 2,5 persen suara sah nasional pada Pemilu berikutnya, agar bisa menempatkan wakilnya di DPR. Jika mampu, tentu partai-partai politik baru tersebut akan tetap survive di DPR.
Namun jika sebaliknya tidak mampu, maka dengan sendirinya partai-partai politik baru tersebut akan tereliminasi di DPR. Tereliminasinya partai-partai politik baru di DPR, menandai kegagalan dari partai politik baru dalam merealisasikan fungsi representasi, konversi dan agregasi kepada rakyat selaku konstituen yang telah memilih partai-partai politik baru tersebut dalam Pemilu. Jika hal ini terjadi, tentu akan semakin membuat rakyat enggan memilih partai-partai politik baru tersebut dalam Pemilu-Pemilu berikutnya. 
Kalau partai-partai politik baru tersebut sudah tereliminasi karena ketidakmampuan meraih 2,5 persen suara sah nasional dalam Pemilu-Pemilu berikutnya, tentu opsi realistis yang ditempuh mereka agar bisa tetap berlaga dalam Pemilu adalah merger dengan partai-partai politik besar. Opsi ini dengan sendirinya akan mengarah pada perampingan partai politik. Sehingga diharapkan kedepan sistem kepartaian kita adalah pluralisme moderat, dengan formasi 3-4 partai politik yang tampil sebagai kontestan Pemilu. 
Sistem kepartaian pluralisme moderat, dengan formasi 3-4 partai tersebut, tentu akan linear dengan sistem pemerintahan presidential yang kita anut. Dimana Bukan saja akan mampu menghasilan DPR yang lebih aspiratif dan akuntabel, namun juga akan mampu menghasilan strong president. Sehingga dapat berimplikasi positif pada terbentuknya strong goverment, yang merupakan modal bagi upaya pencapaian pengelolaan pemerintahan yang lebih terarah, demi penciptaan kesejahteraan bagi rakyat, oleh partai politik yang memenangi Pemilu dengan suara mayoritas.(M.J Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar