Jumat, 03 April 2009

Problem Reformasi Sistem Kepartaian


Tatkala berkuasanya Orde Baru, rakyat begitu terpasung dengan regulasi pemerintahan Soeharto, yang tidak memberikan keleluasan bagi elit politik untuk membentuk partai politik. Regulasi ini tak pelak menimbulkan ketidakpuasan para politikus ditanah air, yang akhirnya memprotes sistem kepartaian di era Orde Baru. Oleh karena itu empat tahun sebelum jatuhnya rezim Soeharto pada 18 Mei 1988, Sri Bintang Pamungkas melakukan protes terhadap pemerintahan Soeharto dengan mendeklerasikan berdirinya Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) pada Mei 1996.(Elson, 2005).
Konsekuensi dari pendirian PUDI tersebut, akhirnya harus dibayar mahal oleh Sri Bintang Pamungkas, dimana ia terpaksa dijebloskan dalam lembaga pemasyarakatn (LP) Cipinang dengan tuduhan kegiatan-kegiatan inkonstitusional.(Elson, 2005). Peristiwa politik ini mengindikasikan begitu kuatnya aspirasi rakyat yang hendak mendirikan partai politik baru, sebagai alternatif aspirasi politik ditengah-tengah sistem penyederhanaan partai politik di tanah air, yang terlampau kaku dan memasung aspirasi politik rakyat.
Pasca jatuhnya Seoharto, dan terjadinya transformasi pemerintahan kepada B.J.Habibie, yang diikuti dengan semakin terbukanya kran demokrasi. Aspirasi rakyat untuk mendirikan partai politik diresponi secara positif oleh pemerintahan Habibie. Untuk meresponi aspirasi rakyat tersebut, dibuatlah regulasi baru melalui Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 Tahun 1999, yang memudahkan pendirian partai politik. Konsekuensi dari regulasi ini, maka partai politik-pun tumbuh bak jamur di musim hujan, yang mencapai 184 partai politik. Dari jumlah itu, 148 mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman (Depkeham); dan 141 diantaranya memperoleh pengesahan sebagai partai politik. Dari jumlah tersebut, setelah melalui seleksi, yang memenuhi syarat ikut Pemilu 1999 hanya 48 partai politik. (Tempointeraktif, 2004)
Menurut Romli (2006), jumlah partai politik yang berdiri dan ikut pemilu tersebut, bagaimanapun, menunjukan suatu jumlah yang sangat banyak. Banyaknya partai politik memang merupakan cermin dari struktur masyarakat. Bila masyarakat bersifat hetrogen dalam segala hal, termasuk idiologi dan aliran politik, maka akan tercermin dalam pembentukan organisasi kekuatan politik, termasuk didalamnya partai politik. Partai politik, dengan demikian merupakan perwujudan dari idiologi-idiologi atau aliran-aliran politik yang ada dalam masyarakat.
Meskipun Pemilu 1999 merupakan era multipartai babak kedua setelah Pemilu 1955, namun tidak menyisihkan persaingan idiologi yang berdampak pada memburuknya stabilitas politik domestik di tanah air. Hal ini berbeda dengan yang terjadi dalam Pemilu 1955, yang sarat dengan konflik idiologi. Dimana terjadi rivalitas politik antara PNI dengan Masyumi, PSI dengan PNI dan rivalitas politik antara Masyumi dengan PKI. Rivalitas politik ini kemudian berdampak pada jatuh bangunnya kabinet silih berganti dan berimplikasi negatif terhadap diabaikannya pembangunan di tanah air.(Paulain,Latuconsina, 2004).
Tidak berbeda jauh dengan era Soeharto yang tidak menyukai sistem multi partai, di era Soekarno sebenarnya kurang suka terhadap model multi partai. Di dalam pidatonya tanggal 28 dan 30 Oktober 1956 ia menyatakan agar para pemimpin partai bermusyawarah untuk menguburkan partai-partai sebab banyaknya partai menyebabkan pertentangan dan konflik yang berkepanjangan. Soekarno menyebut hal itu sebagai "penyakit kepartaian".(Syam, 2007)
Reformasi Sistem Kepartaian
Terlepas dari itu, akhir-akhir ini perhatian kita tersita pada bergulirnya rencana reformasi sistem kepartaian di tanah air, yang ramai diberitakan media masa lokal dan nasional. Rencana reformasi sistem kepartaian ini hadir tatkala naskah akademik revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik mulai diserahkan Derpatmenen Dalam Negeri (Depdagri) ke DPR untuk secara bersama-sama dibahas. Tak pelak rencana ini berdampak pada perdebatan menyangkut perlu tidaknya reformasi sistem kepartaian.
Bagi mereka yang menyetujui reformasi sistem kepartaian, menilai bahwa, banyaknya partai politik menyebabkan partai sulit mencapai mayoritas dan sulit menciptakan pemerintahan yang stabil. Sementara bagi mereka yang tidak menyetujui reformasi sistem kepartaian, menilai bahwa rencana itu hanya membatasi aspirasi politik rakyat untuk membentuk partai politik baru, dimana hal ini berlawanan dengan semangat keterbukaan yang bergulir seiring dengan reformasi di tahun 1998 lalu. Dari pro-kontra ini, memperlihatkan bahwa reformasi sistem kepartaian, menyisihkan harapan akan tuntutan keterbukaan politik dan stabilitas pemerintahan.
Perdebatan menyangkut perlu tidaknya penyederhanaan sistem kepartaian tersebut, disebabkan terdapat usulan diluar naskah akademik revisi Udang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik yang terlampau memberatkan partai politik baru. Diantaranya; pertama, terdapat usulan agar partai politik harus menyiapkan deposit sebesar Rp 5 milyar, dan kedua, terdapat usulan agar ambang batas electoral treshold perlu dinaikan menjadi lima persen (5%).
Jika kedua usulan itu diakomodir dalam revisi undang-undang partai politik, tentu akan menyulitkan partai politik baru, sebab mereka akan sulit memenuhinya. Sehingga yang diuntungkan adalah partai politik besar, karena mayoritas partai politik besar dapat memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini didukung dengan mapannya basis finansial dan capaian electoral treshold yang dimiliki partai politik besar.
Padahal dalam naskah akademik revisi Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 Tahun 2002 yang didesain Depdagri tidak memberatkan pendirian partai politik baru. Pasalnya dalam naskah akademik revisi Undang-Undang itu disebutkan bahwa, partai politik harus mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan; dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan. Kemudian mengenai kelengkapan persyaratan agar dapat didaftarkan kepada Departemen yang berwenang. (Cetro, 2007) 
Kendati demikian, upaya reformasi sistem kepartaian melalui revisi Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 Tahun 2002, dikuatirkan akan mengarah pada model partai tunggal totaliter layaknya sistem kepartaian di era Orde Baru, dimana didalamnya terdapat satu partai politik besar yang digunakan oleh penguasa sebagai alat untuk memobilisasi masyarakat dan mengesahkan kekuasaannya, sedangkan partai-partai lain kurang dapat menampilkan diri karena ruang gerak dibatasi penguasa.(Surbakti, 1992). 
Fenomena ini nampak pada Pemilu 1971, dimana Golongan Karya (Golkar) memenangkan Pemilu dan menyisihakan Partai NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, IPKI, serta Partai Murba. Begitu-pun Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 sampai dengan pemilu 1997 yang diikuti PPP dan PDI yang merupakan partai hasil fusi, justru dua partai ini hanya sebagai pelengkap jalannya Pemilu, karena lagi-lagi Golkar memenangi Pemilu. Sebab Pemilu-Pemilu di era Orba hanya merupakan lakon politik, yang dimainkan rezim Soeharto untuk mensahkan kekuasaannya melalui rekayasa kemenangan Golkar. (Tempointeraktif, 2004).
Apalagi memperhatikan lingkup penyempurnaan dalam rancangan undang-undang partai politik, disebutkan bahwa secara jangka panjang, sistem multipartai sederhana pada akhirnya kelak menghasilkan sistem dwi-partai, karena pada dasarnya sistem dwi-partai-lah yang lebih tepat untuk mendukung dan memperkuat sistem pemerintahan presidensil dan sistem perwakilan bikameral.(Cetro, 2007). Hal ini tentu semakin menguatirkan mereka yang menolak reformasi sistem kepartaian.
Padahal, menurut Surbakti (1999), sistem multi partai merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultur maupun secara sosial ekonomi. Karena banyak partai yang bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilu, maka yang sering terjadi adalah pemerintahan koalisi dengan dua atau lebih partai yang secara bersama-sama dapat mencapai mayoritas di parlemen.
Reformasi Sistem Kepartaian
 Terlepas dari pro dan kontra reformasi sistem kepartaian, yang hingga saat ini masih bergulir memenuhi indra dengar publik di tanah air, merupakan sesuatau yang sah-sah saja dalam perspektif pembangunan demokrasi dan kepentingan penataan sistem kepartaian yang efektif dan efesien. Oleh karena itu, dalam tafsiran personal penulis, reformasi sistem kepartaian sebenarnya didasari oleh sejumlah argumen mendasar, yakni; 
Pertama, revisi Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 Tahun 2002 dipastikan akan lebih mengerucut pada model multipartai sederhana. Dengan asumsi, bahwa multi partai sederhana akan mempermudah proses pembentukan koalisi dilevel eksekutif maupun legislatif. Hal ini berbeda dengan koalisi saat masih menerapkan multi partai pada dua pemilu 1999 dan 2004. Dimana koalisi yang dilakukan partai-partai politik adalah koalisi besar.
Kedua, dengan jumlah partai politik yang kecil, akan meminimalisir kebingungan konstituen dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Sehingga peluang partai-partai polik untuk meraih kemenangan mayoritas lebih mudah. Dengan kemenangan mayoritas oleh partai politik, maka syarat penting bagi stabilitas pemerintahan akan tercapai, dimana akan berimplikasi positif terhadap jalannya pemerintahan yang lebih efesien dan efektif. 
Ketiga, reformasi sistem kepartaian adalah upaya secara bertahap meretas jalan ke arah sistem pemerintahan presidensial yang kita anut. Sehingga dikemudian hari tidak dipraktikkan lagi koalisi besar antar partai politik, yang seringkali mengarah pada model sistem parlementer. Dimana terjadi konsensus diantara partai-partai politik yang berkoalisi, tak pelak memunculkan ”praktek dagang sapi”, yaitu tawar menawar dalam hal kedudukan dan menteri. 
Keempat, reformasi sistem kepartaian dilakukan dengan mengerucut pada akar idiologi partai-partai politik. Misalnya yang diusulkan Wibowo (2007) bahwa, penyederhanaan partai itu dengan senantiasa mengikuti akar idiologinya antara lain: kelompok Islam konservatif, Islam modernis, nasionalis tengah, dan nasionalis kerakyatan. Kelompok-kelompok lain dapat menggabungkan diri dalam keempat mainstream itu. Paling banyak, mungkin dapat menoleransi tiga partai tambahan selain keempat kelompok yang telah disebutkan.
Kelima, reformasi sistem kepartaian dilakukan melalui upaya menaikkan lagi angka electoral threshold ke angka lima persen (5%) pada Pemilu 2009 mendatang. Dengan mekanisme seperti ini, secara alamiah akan mengurangi jumlah partai politik, jika kemudian partai-partai politik yang tidak mencapai angka electoral threshold lima persen (5%), maka mekanismenya adalah partai politik itu memilih bergabung dengan partai yang memiliki akar/basis idiologi yang sama, sehingga bisa berlaga sebagai kontestan Pemilu berikutnya.
Beranjak dari argumen tersebut, pada Pemilu 2009 idealnya diikuti 4-7 partai politik. Dengan maksimum 4-7 partai, penyelenggaraan kehidupan bangsa dan negara serta pertumbuhan demokrasi akan lebih efisien, efektif. Sebab belajar dari Pemilu di 1955 hanya menyisahkan 7 partai yang memiliki suara dominan; PNI (22,23%), Masyumi (20,92%), NU (18,41%), PKI (16,36%), PSII (2,89%), Parkindo (2,66%) dan Partai Katolik (2,04%). Begitu-pun Pemilu 1999 hanya menyisahkan 7 partai; (PDIP) 33,76%) Partai Golkar (22,46%), PKB (12,63%), PPP (10, 72, PAN (7,12%), PBB (1,94%) dan PK (1,36%). Tidak berbeda dengan dua Pemilu sebelumnya, Pemilu 2004 menyisahkan juga 7 partai yang dominan; Partai Golkar (21,58%), PDIP (18,53%), PKB (10,57%), PPP (8,15%), Partai Demokrat (7,45%), PKS (7,34%) dan PAN (6,44%). (Tempointeraktif, 2004) 
Hal ini mengindikasikan, meskipun terdapat partai politik baru yang didirikan, diprediksikan pada Pemilu 2009 hanya akan berkutat pada 7 partai dominan, yang bermain dalam empat akar idiologi yakni; Islam konservatif, Islam modernis, nasionalis tengah, dan nasionalis kerakyatan. Dengan demikian reformasi sistem kepartaian mengikuti akar idiologi partai adalah furmula yang tepat. Pasalnya hadirnya partai baru senantiasa mengusung idiologi yang sama, sehingga tatkala digelarnya pemilu, mereka juga akan beramai-ramai merebut basis konstituen (pemilih) yang partisan mencoblos partai politik yang memiliki akar idiologi yang sama pula.(M.J.Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar