Jumat, 03 April 2009

Parlementary Treshold


Perlementary treshold (PT), sebanarnya bukan merupakan terminologi baru dalam khasana ilmu politik, terminologi ini mulai ramai diperbincangkan tatkala para ilmuan politik dari beberapa Universitas besar di tanah air, turut serta bersama Departemen Dalam Negeri (Depdagri), merancang naskah akademik paket undang-undang politik beberapa bulan yang lalu. Bahkan umumnya partai politik maupun politikus di tanah air, masih asing dengan terminologi parlementary treshold. 
Selama ini lebih dikenal adalah electoral treshold (ET), yang biasanya digunakan sebagai ambang batas perolehan suara partai-partai politik untuk dapat tampil sebagai kontestan dalam pemilihan umum (pemilu). Mekanisme ini diterapkan sejak diundangkannya Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 Tahun 1999, dan Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 Tahun 2002. Sehingga wajar kalau kemudian terminologi electoral treshold lebih populer di indra dengar para politikus ketimbang terminologi parlementary threshold. 
Sistem Parlementary Treshold 
Sistem parlementary treshold memang tidak pernah diterapkan dalam pemilu-pemilu yang pernah diselenggarakan di republik ini, sejak pemilu 1955 hingga pemilu 2004. Namun sistem parlementary threshold sendiri sudah lama dipraktekkan di Jerman. Dimana digunakan untuk mengatur ambang batas perolehan kursi; Partai Sosialis Demokrat (SPD), Partai Demokrat Bebas (FDP), Partai Uni Demokratik Kristen (CDU), dan B90/Gruene (Partai Hijau) peserta pemilu Jerman di bundestag (parlemen). 
Beberapa waktu yang lalu, terdapat usulan yang dilontarkan oleh Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), agar sistem parlementary threshold dapat diterapkan di parlemen kita, baik itu dilevel DPR, DPRD I dan DPRD II di seluruh tanah air berdasarkan hasil pemilu 2009. Usulan penerapan parlementary treshold tersebut guna mengatur jatah ambang batas perolehan kursi partai politik peserta pemilu dilevel DPR, DPRD I dan DPRD II.
Usulan itu, pernah dikemukakan politikus Partai Golkar, Andi Matalata bahwa, alasan penerapan perlementary treshold agar tercipta keterwakilan yang kredibel dan aspiratif. Partai tidak bisa menempatkan kadernya di parlemen, apabila jumlah perolehan kursinya tidak mencapai batasan parlementary treshold. Perolehan suara dari partai tersebut akan dilimpahkan ke partai pemenang pemilu. Menurutnya Partai Golkar mengusulkan parlementary treshold sebesar 1% dari jumlah anggota DPR. Pertimbanganya dengan 1%, partai masih bisa hidup.(Tempo, 2007).
Senada dengan itu, Pramono Anung Wibowo salah seorang politikus PDI-P mengatakan, bahwa parlementary treshold sebesar 3%. Dengan 3%, partai akan menempatkan 22 kadernya di parlemen. Paling tidak setiap fraksi menempatkan dua kader di setiap komisi. Sehingga bisa memperkuat fraksi di komisi. (Tempo, 2007). Namun sayangnya usulan yang pernah dilontarkan oleh kedua partai politik besar tersebut, tidak diresponi secara serius oleh partai-partai politik kecil calon kontestan pemilu 2009.
Pasalnya jika parlementary treshold diadopsi dalam paket revisi undang-undang partai politik dan undang-undang pemilu. Sehingga akhirnya benar-benar ralisasikan dalam pemilu 2009, maka dipastikan partai-partai politik kecil akan sulit menempatkan wakilnya di parlemen. Tidak mengherankan partai-partai kecil lebih setuju kalau sistem electoral treshold tetap dipertahankan, karena partai-partai politik kecil yang tidak mencapai electoral treshold dalam pemilu 1999 dan 2004 tetap dapat mendudukkan wakilnya di parlemen. Bahkan kemungkinan untuk pemilu 2009 mekanisme serupa dapat tetap dipertahankan. 
Menurut Urbaningrum (2007), treshold sendiri memiliki dua jenis yang berbeda. Yakni, threshold untuk bisa ikut pemilu berikutnya (electoral treshold), dan threshold untuk bisa masuk di parlemen (parlementary treshold). Sedangkan secara lebih spesifik Erawan (2006) mendefenisikan, parlementary treshold adalah hak partai politik di parlemen yang diukur dari banyaknya jumlah kursi yang diperoleh.
Di samping pendefinisian itu, paling minimalis, ada tiga hal yang patut dipahami dalam membincangkan parlementary threshold. Pertama, supaya partai politik bisa efektif dalam memainkan perannya di parlemen. Kedua, supaya mempunyai hak di parlemen untuk membentuk fraksi. Ketiga, mempunyai hak untuk mengajukan calon sebagai presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur serta bupati/wakil bupati.(Erawan (2006).
Penerapan Parlementary Treshold 
Upaya untuk menerapkan sistem parlementry treshold di negara kita, bukan sesuatu yang gampang-gampang saja, pasalnya ide penerapan parlementry treshold sering mendapat tantangan dari partai-partai politik kecil. Dimana mereka sering beranggapan bahwa, ide penerapan parlementary treshold senantiasa datang dari partai-partai politik besar. Bahkan ide ini kerap dinilai oleh partai-partai politik kecil hanya menghambat hak-hak politik mereka selaku warga negara, untuk dapat terlibat di parlemen.
Padahal mekanisme parlementary treshold merupakan sesuatu yang realistis, guna menempatkan wakil-wakil partai politik di parlemen berdasarkan ambang batas minimal perolehan kursi yang ditentukan melalui aturan main. Pasalnya melalui penerapan parlementary treshold, partai politik akan mampu menempatkan anggota yang dicalonkan melalui pemilu dikursi parlemen, yang disesuaikan dengan ambang batas minimal. Tentu mekanisme demikian, akan berimplikasi positif terhadap kemampuan anggota partai diparlemen, untuk dapat menjalankan fungsinya selaku anggota parlemen, dimana dapat memiliki kekuatan yang memadai di parlemen.
Oleh karena guna meningkatkan kualitas demokrasi kita, kedepan perlu diadopsi sistem parlementary treshold di parlemen. Agar penerapan sistem parlementary treshold dapat benar-benar direalisasikan, tentu membutuhkan aturan main baru, yang dapat digunakan oleh partai-partai politik, dalam setiap kali penyelenggaraan pemilu direpublik ini. Namun semua itu terpulang kepada kehendak partai politik, untuk dapat menerima penggunaan sistem parlementary treshold.(M.J Latuconsina)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar