Jumat, 03 April 2009

Sirkulasi Elite Partai


Pada April 2009 besok merupakan Pemilu ketiga pasca kolapsnya rezim Orde Baru. Rakyat selaku konstituen menyambut dengan penuh antusias Pemilu tersebut. Begitu-pun Partai politik yang tampil sebagai kontestan juga antusias menyambut Pemilu tersebut. Hal ini ditandai dengan konsolidasi, yang dilakukan partai politik secara intens diberbagai level kepengurusan partai. Konsolidasi yang dilakukan partai politik tersebut, dengan target mendongkrak raihan suara partai politik dalam pemilu. Sehingga output yang diharapkan partai politik adalah, keberhasilan menempatkan wakil partai politik sebanyak-banyaknya di kursi wakil rakyat. 
Guna memenuhi target itu, partai politik-pun melakukan proses rekrutmen politik secara internal dan eksternal. Untuk berupaya mencari figur caleg yang memiliki kapasitas, akseptabilitas, akuntabilitas dan marketable dimata pemilih. Hal ini, merupakan instrumen yang digunakan caleg, untuk memobilisasi pemilih sebanyak-banyaknya dalam pemilu. Dengan memobilisasi pemilih sebanyak-banyaknya dalam pemilu, merupakan modal yang vital bagi partai politik, untuk dapat menaikan suara partai politik dalam pemilu. 
Dalam proses ini, melibatkan dua komponen utama ; pertama elite partai yang tampil sebagai caleg dari partai politik dalam pemilu, dan kedua, non elite partai yang tampil sebagai massa pemilih caleg dari partai politik dalam pemilu. Kedua komponen ini, akan sama-sama berproses dalam pemilu. Dimana elite partai agar sukses menempati kursi wakil rakyat membutuhkan dukungan suara dari non elite partai. Sebaliknya non elite partai membutuhkan realisasi program, dari elite partai sebagai bentuk loyalitas non elite partai terhadap pilihan mereka, kepada elite partai yang tampil sebagai caleg dalam pemilu, jika kemudian elite partai benar-benar terpilih sebagai wakil rakyat. 
Terlepas dari itu, melalui pemilu merupakan arena terjadinya sirkulasi elite partai secara prosedural. Pasalnya lewat pemilu sesama para elite partai, akan bertarung untuk mengumpulkan suara pemilih sebanyak-banyaknya, sehingga bisa duduk di kursi wakil rakyat. Bagi para elite partai yang lima tahun sebelumnya telah duduk sebagai wakil rakyat, jika mampu mengumpulkan suara pemilih terbanyak, tentu akan bisa duduk kembali sebagai wakil rakyat. Namun kalau sebaliknya para elite partai itu tidak mampu mengumpulkan suara pemilih terbanyak, tentu tidak bisa duduk lagi sebagai wakil rakyat.
Dimana posisinya akan tergantikan, oleh elite partainya sendiri yang sama-sama tampil sebagai caleg dalam pemilu. Pasalnya elite partai tersebut memiliki kemampuan untuk memperoleh suara pemilih terbanyak dalam pemilu. Namun terjadinya serkulasi elite partai, semuanya terpulang kepada partai politik, sebagai institusi yang mengemban fungsi rekrutmen politik, untuk melihat kelaikan dari elite partai mana yang baik/tidak baik kinerjanya selama menjadi wakil rakyat. 
Karena itu, kalau terdapat salah satu dari elite partai mampu bertahan pada posisinya sebagai wakil rakyat selama 2-3 periode di lembaga wakil rakyat, tentu kinerja dari elite partai tersebut memuaskan rakyat. Sehingga dari pemilu ke pemilu, partai politik tetap menyodorkan namanya dalam daftar caleg, untuk dipilih para pemilih dalam pemilu. Kepercayaan partai politik untuk tetap menyodorkan nama elite partai dalam daftar caleg adalah, sebagai bentuk reward partai politik terhadap kinerja elite partai itu sebagai wakil rakyat.
Elite partai yang duduk sebagai wakil rakyat selama 2-3 periode, dapat mengalami sirkulasi elite dengan elite partainya sendiri, bila mana ia telah memasuki usia yang tidak produktif lagi sebagai wakil rakyat, kegagalan meraih suara pemilih yang maksimal, dan aturan internal partai politik yang membatasi tampilnya elite partai sebagai caleg lagi. Hal ini lazim disebut dengan proses demotion. Sehingga muncullah elite partai yang baru, untuk menggantikan posisinya sebagai caleg dalam pemilu berikutnya. Tampilnya elite partai yang baru itu, lazim disebut sebagai proses promotion.
Karena itu, jika mengikuti logika pemikiran dari Vilfredo Pareto (1848-1923), maka proses demotion yang dialami oleh elite partai setelah tidak lagi menduduki kursi legislatif, adalah proses kembalinya elite partai ke lapisan non elite, yang biasanya disebut massa. Sedangkan proses promotion yang dialami elite partai setelah duduk sebagai wakil rakyat, adalah mencuatnya elite partai menjadi elite politik di level lembaga wakil rakyat. 
Sirkulasi elite melalui pemilu merupakan proses alamiah, yang akan senantiasa terjadi. Pasalnya keberadaan elite partai yang sedang menduduki kursi wakil rakyat tidak bisa selamanya dapat menduduki kursi wakil rakyat. Hal ini dikarenakan, kemampuan yang dimiliki elite partai tersebut dibatasi oleh usia, kegagalan meraih suara pemilih yang maksimal, dan aturan internal partai politik yang membatasi tampilnya elite partai sebagai caleg lagi. Sehingga sirkulasi elite akan tetap terjadi kepada sesama elite partai secara simultan, melalui pemilu yang digelar setiap lima tahun.
 Sirkulasi elite partai melalui pemilu yang jujur dan adil (jurdil), serta langsung umum, bebas dan rahasia (luber), akan senantiasa menjamin kestabilan politik. Namun jika sebaliknya terjadinya sirkulasi elite partai melalui pemilu, tidak terlaksana dalam suasana yang jurdil dan luber, tentu akan berdampak pada tidak kondusifnya stabilitas politik. Pasalnya terjadi demonstrasi yang dilakukan elite partai bersama massa pendukung mereka, sebagai bentuk protes atas kecurangan dalam pemilu, yang dilakukan oleh elite partai pesaing mereka.
Diluar itu, bisa juga terjadinya sirkulasi elite partai dengan non elite partai. Non elite partai yang dimaksud adalah lapisan atas dari massa, maupun bisa juga bukan berasal dari lapisan atas massa. Dimana mayoritas dari non elite partai ini, memiliki kemampuan leaderhsip. Sehingga memiliki kemampuan dalam menggerakan massa untuk kemudian mengikuti kehendak mereka, dalam suatu momentum politik. 
Tentu ini merupakan modal, yang dapat mengantarkan mereka kelingkaran elite politik. Hal ini dapat terjadi bilamana partai politik, merekrut non elite partai sebagai caleg dalam pemilu. Sehingga jika kemudian non elite partai tersebut, memiliki kemampuan untuk meraih suara pemilih yang maksimal dalam pemilu, maka ia bisa melangkah maju untuk menduduki kursi wakil rakyat, atas upayanya tersebut. Sehingga dengan sendirinya non elite partai tersebut telah memasuki lingkaran elite politik di lembaga wakil rakyat.
Namun jika sebaliknya non elite partai tersebut, gagal untuk meraih suara pemilih yang maksimal dalam pemilu, tentu ia tidak bisa melangkah maju untuk menduduki kursi wakil rakyat. Sehingga dengan sendirinya non elite partai tersebut, gagal memasuki lingkaran elite politik di level legislatif, karena itu statusnya tetap sebagai non elite politik atau massa, dimana sama seperti sebelum ia mencalonkan diri sebagai caleg, dari partai politik dalam pemilu.(M.J Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar