Jumat, 03 April 2009

Partai Dalam Partai


 Dalam pentas politik lokal, peran partai politik sangat besar dalam upaya pencapaian pertumbuhan demokrasi. Agar upaya pencapaian pertumbuhan demokrasi di tingkat lokal dapat terwujud dengan baik, sangat diperlukan kemampuan dari partai politik untuk dapat menjalankan fungsi-fungsinya secara efektif kepada rakyat. Melalui upaya ini, akuntabilitas partai politik kepada rakyat selaku konstituen akan senantiasa berjalan dengan baik dari waktu ke waktu.
 Khusus dalam menjalankan salah satu fungsi partai politik sebagai sarana rekruitmen politik, partai politik di daerah masih tersubordinasi dengan partai politik dilevel pusat. Sehingga dalam menjalan fungsi rekruitmen politik, oleh partai politik di daerah, tidak bisa dilakukan sesuai dengan kehendak mereka. Namun perlu mendapat persetujuan dari pengurus partai politik ditingkat pusat dalam proses rekruitmen politik tersebut.
 Tak pelak dalam menjalankan fungsi partai politik, sebagai sarana rekruitmen politik, semisal pemberian rekomendasi kepada calon kepala daerah (calkada), dan calon wakil kepala daerah (cawalkada), kerap meninggalkan pro dan kontra, yang menguat menjelang pelaksanaan pemilihan kepala (pilkada) langsung. Tidak sedikit yang berakhir dengan konflik internal dalam tubuh partai politik di tingkat pengurus daerah.
 Padahal menurut Agustino (2007), sebagai sarana mengelola konflik (conflict management), partai politik harus dapat melakukan pemanduan perbedaan pendapat kepentingan, kebutuhan, dan tuntutan warga yang sangat hetrogen. Tentu esensi partai politik sebagai sarana pengatur konflik, kerap tidak bisa diimplementasikan kepada rakyat, karena sebelum direalisasikan kepada rakyat dalam tubuh partai telah mengalami konflik. 
Partai Dalam Partai
 Akibat pro dan kontra dalam proses rekruitmen pasangan calkada, dan cawalkada tersebut, akhirnya melahirkan faksi (kubu) dalam kepengurusan partai politik di daerah, yang kerap ngotot untuk tetap memperjuangkan kepentingan politik mereka masing-masing, guna tetap mengusung calkada dan cawalkada versi mereka masing-masing. Kondisi internal partai politik yang demikian, akhirnya melahirkan ”partai dalam partai”. 
Para anggota faksi-faksi yang berkonflik karena perbedaan kepentingan politik tersebut, akhirnya tersubordinasi menurut rivalitas elit politik mereka yang tengah bersaing dalam tubuh partai politik. Dalam kondisi seperti ini, tentu fungsi partai sebagai sarana rekruitmen politik dan fungsi partai sebagai sarana pengatur konflik mengalami kepincangan, karena tidak bisa dijalankan secara efektif. 
 Akhirnya konflik politik yang sering melibatkan faksi-faksi dalam tubuh partai politik itu-pun, mengalami klimaks dengan didepaknya elit salah satu faksi, yang tengah memimpin partai melalui pembekuan kepengurusan mereka oleh pengurus partai di level pusat. Mekanisme seperti ini, tentu bukan merupakan bentuk sirkulasi elit politik secara sehat dalam partai politik, karena justru akan menimbulkan ketidakpuasan dari faksi yang terdepak dalam pertarungan tersebut. Ketidakpuasan itu akan ditunjukan dengan beragam alternatif, perlawanan misalnya;
 Pertama, dalam proses pengambilan keputusan politik, menyangkut masalah-masalah sosial-politik di daerah oleh partai politik, akan banyak menimbulkan perdebatan yang sengit. Pasalnya faksi-faksi yang terpental dari kepengurusan partai akan berdebat panjang lebar, sehingga menimbulkan deadlock. Untuk menyelesaikannya akan dilakukan oleh masing-masing faksi yang berkonflik dengan mekanisme lobi-lobi politik.
 Kedua, terjadi friksi yang tajam antara faksi-faksi dalam partai politik menyangkut persoalan-persoalan sosial-politik di daerah, kerap disikapi oleh mereka secara berbeda-beda. Dimana tidak segaris dengan kebijakan partai. Friksi politik tersebut akan nampak melalui, statemen politik mereka di berbagai media massa. Sehingga rakyat-pun bisa mengetahui didalam tubuh partai tengah mengalami keretakan, akibat perbedaan kepentingan politik.
 Ketiga, elit partai politik yang terpental dari kepengurusan partai di daerah, akan senantiasa mengkonsolidasikan anggota faksinya untuk menjungkalkan rival politiknya, yang tengah memerintah dengan menggulirkan wacana musdalub partai kepada publik. Hal ini dilakukan, dengan senantiasa mengevaluasi kinerja roda organisasi partai, yang berjalan buruk. Dimana program kerja partai tidak bisa direalisasikan sesuai amanat musda/rakerda.
 Bahkan konflik politik itu kerap berakhir dengan hengkangnya salah satu faksi untuk bergabung dengan partai politik baru. Jika hal ini terjadi, tentu akan berimplikasi negatif terhadap pengurangan basis massa partai politik, karena faksi-faksi yang keluar dari partai tersebut, juga memiliki ratusan bahkan ribuan pengikut di daerah. Sehingga akan berdampak terhadap penurunan suara partai dalam pemilu/pilkada langsung. 
Pentas Politik Lokal 
 Dalam pentas politik lokal di Maluku, fenomena ”partai dalam partai” dari waktu ke waktu senantiasa hadir, baik itu dari pengaruh konflik internal partai politik di level nasional, yang berdampak terhadap rapuhnya kepengurusan partai politik di tingkat daerah, maupun dampak dari konflik internal partai politik di level daerah sendiri. Sejumlah partai politik yang menunjukan fenomena ”partai dalam partai” di Maluku antara lain :  
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Demokrat (PD), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), Partai Bintang Reformasi (PBR), dan Partai Pelopor. Namun fenomena ”partai dalam partai” bukan hanya menerpa partai politik peserta kontestan Pemilu 2004 saja, karena partai politik baru calon kontestan Pemilu 2009 seperti partai Hanura di Maluku-pun menunjukan fenomena ”partai dalam partai”. 
Mencuatnya fenomena ”partai dalam partai” di Maluku, akibat belum terlembaganya partai politik sebagai suatu organisasi modern. Jika saja terlembaganya partai politik sebagai suatu organisasi modern di Maluku, tentu akan memiliki ekses yang positif terhadap proses pemantapan sikap, dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik, sehingga terbentuk suatu budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi.  
 Terlepas dari itu, fenomena ”partai dalam partai” akan senantiasa hadir menjelang pelaksaan pilkada langsung, dan pemilu legislatif. Pasalnya para elit dalam tubuh partai politik akan berkompetisi untuk memperoleh jabatan eksekutif maupun legislatif. Sehingga tidak sedikit diantara mereka, yang akhirnya berkonflik diantara sesama mereka, guna memperoleh kendaraan partai politik untuk bertarung dalam pilkada langsung, maupun memperebutkan nomor urut jadi menjelang pelaksanaan pemilu.
Fenomena ”partai dalam partai” yang merupakn bentuk fragmentasi internal partai politik, sebenarnya bisa diminimalisir, dengan pola management konflik politik yang efektif oleh pimpinan partai politik beserta pengurus partai politik. Sehingga impian untuk menjadikan partai politik sebagai representation of idieas, dengan menjalankan fungsi-fungsinya secara efektif kepada rakyat diharapkan akan terwujud.(M.J.Latuconsina).

1 komentar:

  1. Borgata Hotel Casino & Spa - Joliet - KT Hub
    Book today 사천 출장마사지 for 영천 출장마사지 great 양주 출장마사지 rates at Borgata Hotel Casino & Spa, 속초 출장마사지 Joliet with JTM.com - 경기도 출장마사지 The leading travel advisory service.

    BalasHapus