Setelah Pemilu 1971 di era Orde Baru,
hanya terdapat dua partai politik dan satu golongan. Duapartai politik itu
adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan
(PPP),sedangkan satu golongan itu adalah Golongan Karya (Golkar), yang ketika
itu enggan disebut partai politik. Keengganan ini, sebagai bentuk koreksi
terhadap peran partai politik di era Orde Lama, yang kerap larut dalam konflik
politik, dan mengabaikan pembangunan.
Golkar kala itu, tampil sebagai
catch-all party, yang lebih berorientasi pada implementasi program pembangunan
di tanah air. Bahkan tak tanggung-tanggung Golkar-pun tampil sebagai partai
kartel, dengan menggunakan kekuatan negara untuk membantu memenangkan pemilu.
Serta memakai berbagai upaya untuk menghambat partisipasi dan keterlibatan PPP
dan PDI.
Tidak berbeda jauh dengan
realitas pentas politik nasonal kala itu, di Maluku juga menerima sistem
kepartaian nasional yang hanya mengenal dua partai politik dan satu golongan.
Konsekuensi dari penerapan sistem kepartaian nasional, yang dijalankan
pemerintah pusat di Maluku tersebut, turut menuai hasil positif dengan
terciptanya stabilitas politik yang kondusif. Stabilitas politik itu, menjadi
tumpuan bagi pemerintah daerah, untuk melakukan pembangunan ekonomi di daerah
ini.
Efeknya rakyat memiliki
sandang yang cukup, pangan yang cukup, pelayanan kesehatan yang maksimal dan
keamanan yang kondusif. Sehingga pada masa itu, kehadiran negara untuk memenuhi
political goods benar-benar terealisasi. Sayangnya rakyat di daerah ini tidak
hanya membutuhkan semua pemenuhan itu. Pasalnya, rakyat juga membutuhkan
kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Maka tatkala
peralihan kekuasaan dari rezim Soeharto ke Habibie di tahun 1998, yang
ditindaklanjuti dengan pemberian kesempatan bagi rakyat mendirikan partai
politik, direspons oleh para politikus di daerah ini.
Sehingga menjelang Pemilu
1999 ramai-ramai para politikus di daerah ini, meminta mandat ke pengurus
partai politik baru di Jakarta, untuk membuka kepengurusan partainya di daerah.
Meskipun dengan jam terbang yang masih rendah dalam pentas politik lokal,
sebagian dari para politikus tersebut, tidak menghiraukan kapasitas itu. Kolega
dan family-pun direkrut masuk kedalam kepengurusan partai di daerah. Yang
terjadi adalah, banyak partai tapi kekurangan kader yang siap, sehingga siapa
saja dapat menjadi pengurus partai politik, tanpa terlib dahulu melalui proses
pengkaderan.
Yang terpikirkan oleh mereka
adalah bisa memperoleh kursi di lembaga legislatif, melalui Pemilu 1999. Ada
diantara mereka yang benar-benar sukses menempati kursi legislatif. Tapi tidak
sedikit diantara mereka yang akhirnya gagal menempati kursi legislatif.
Meskipun mereka sukses menempati kursi legislatif tidak membuat para politikus
partai tersebut nyaman. Pasalnya pada Pemilu 2004, partai politik mereka tidak
diperbolehkan mengikuti pemilu, karena tidak berhasil meraih jumlah minimal
perolehan suara (threshold) dua persen dalam Pemilu 1999.
Namun mereka tidak kehilangan
cara, menjelang Pemilu 2004 terdapat lagi partai politik baru yang didirikan.
Mereka pun ramai-ramai ke Jakarta, untuk meminta mandat guna membuka
kepengurusan partainya di daerah. Motif mereka tidak berbeda dengan Pemilu 1999
dimana berkinginan menempati kursi legislatif. Sebagian kecil diantaranya
akhirnya sukses menempati kursi legislatif. Tapi tidak sedikit diantara mereka,
yang akhirnya gagal menempati kursi legislatif. Walaupun sukses menempati kursi
legislatif lagi-lagi mereka tidak nyaman, pasalnya pada Pemilu 2009 partai
politik mereka tidak diperbolehkan mengikuti pemilu, karena tidak berhasil
meraih threshold tiga persen pada Pemilu 2004.
Menjelang Pemilu 2009,
ritual politik itu pun dilakukan lagi, dimana terdapat lagi partai politik baru
yang didirikan. Mereka kembali beramai-ramai ke Jakarta untuk meminta mandat
guna membuka kepengurusan partainya di daerah. Motif mereka tidak berbeda jauh
dengan Pemilu 2004, dimana berkeinginan menempati kursi legislatif. Mandat kini
telah mereka diperoleh, kepengurusan partai didaerah pun telah mereka
didirikan. Konsolidasi gencar mereka lakukan pada semua tingkat kepengurusan
partai, yang tidak lain merupakan bagian dari persiapan kontestasi menjelang
Pemilu 2009.
Rata-rata para politikus dari
partai politik baru itu, berkinginan menempati kursi legislatif, seperti
pengalaman dua pemilu sebelumnya. Namun hanya sebagian kecil diantara mereka
yang akan menempati kursi legislatif. Hal ini merupakan fenomena ”partai
politik di zaman yang berubah”. Dimana tatkala ada peluang yang didapatkan dari
partai politik baru, maka disanalah terbuka kesempatan, untuk mengubah nasib.
Ketimbang mengadu nasib pada partai politik lama nan besar, harus antri
bertahun-tahun untuk menempati nomor urut jadi. Di partai politik baru, mereka
bisa menempati posisi strategis, bahkan tak tanggung-tanggung menempati nomor
urut jadi.
Namun sebenarnya realitas
politik dari pemilu ke pemilu tersebut, justru menjadi kendala besar bagi
partai politik baru di daerah ini. Pasalnya rata-rata partai politik baru,
belum mampu memperkokoh institusionalisasi partai politik mereka. Karena itu,
menurut Dwipayana (2008) institusionalisasi partai politik, adalah proses
pemantapan partai politik (organisasi maupun individu-individu dalam partai)
dalam rangka menciptakan pemolaan perilaku/sikap/budaya untuk menghasilkan
partai politik yang representatif dan mampu menjalankan fungsinya.
Belum kokohnya
institusionalisasi partai politik baru di daerah ini, dikarenakan empat
komponen pokok institusionalisasi partai politik, belum dapat direalisasikan
secara maksimal, antara lain ; pengakaran partai (party rooting), peningkatan
legitimasi partai (party legitimacy), pelembagaan aturan dan regulasi (party
rule and regulation) dan peningkatan daya saing partai (party competetiveness)
(Dwipayana, 2008).
Pertama, pengakaran partai
dimaksudkan agar partai partai terikat dengan masyarakat khususnya konstitiuennya.
Fenomena yang terjadi adalah, rata-rata partai politik baru belum mengakar di
tengah-tengah rakyat di daerah ini. Hal ini, dikarenakan partai-partai politik
baru tersebut, baru didirikan menjelang pelaksanaan Pemilu 2009. Sehingga belum
dikenal oleh rakyat di daerah ini. Efeknya, belum mampu mendulang suara yang
maksimal dalam Pemilu 2009 mendatang.
Kedua, legitimasi partai yakni
menyangkut seberapa besar partai, mendapatkan kepercayaan masyarakat yang
didasarkan, pada penilaian masyarakat pada kinerja partai. Dimana pengukuran
kinerja partai dilakukan, dengan melihat kesesuaian program/ideologi partai,
dengan kebutuhan masyarakat serta komitmen melaksanakan program-program, yang
telah dijanjikan dan diukur dengan persepsi publik pada partai.
Fenomena yang terjadi adalah,
kebanyakan dari partai politik baru tersebut, belum dapat memperkokoh
legitimasi partainya di tengah-tengah rakyat di daerah ini, karena merupakan
partai politik baru. Sehingga untuk mencapainya diperlukan waktu yang relatif
lama. Itu-pun jika partai politik baru tersebut dapat tetap survive sepanjang
pemilu yang digelar.
Ketiga, aturan dan regulasi
yakni menyangkut bagaimana partai mampu menjelaskan struktur, dan aturan
kelembagaan dalam aktivitas partai baik di pemerintahan, internal organisasi
maupun akar rumput. Dilihat bagaimana bekerjanya prinsip-prinsip dasar demokrasi
lawannya, adalah clientilistic party atau personalistic party. Secara rill,
partai politik baru di daerah ini belum mampu memaksimalkannya. Pasalnya belum
duduk di level eksekutif maupun legislatif.
Keempat, daya saing partai
adalah menyangkut kapasitas atau tingkat kompetensi partai. untuk berkompetisi
dengan partai-partai lain, baik di tingkat akar rumput, di regional, di pusat
maupun di parlemen. Kapasitasnya dilihat dari (1) kemampuan mewarnai kehidupan
politik yang didasarkan dasar-dasar yang rasional dalam politik (program dan
ideologi partai), (2) kemampuan menjalankan fungsinya.
Bagi partai politik baru, tentu
ini hal ini adalah problem serius, dimana partai-partai politik baru tersebut,
akan berupaya keras untuk mempertinggi daya saing partai menjelang
dilaksanakannya Pemilu 2009. Paling tidak mereka terlebih dahulu akan berupaya
mempertinggi daya saing dilevel akar rumput, sebelum memaksimalkan daya saing
di daerah maupun di tingkat parlemen, setelah menempati kursi legislatif nanti.
Namun sebenarnya, problem
institusionalisasi partai politik, bukan hanya menjadi problem dari partai
politik baru di daerah ini saja. Pasalnya hingga saat ini, rata-rata dari
partai politik lama-pun, belum mampu untuk memaksimalkan institusionalisasi
partai politiknya dari waktu ke waktu. Sehingga problem institusionalisasi
partai politik, sebenarnya adalah problem menyeluruh dari partai-partai politik
di daerah ini.(M.J.Latuconsina).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar