Jumat, 03 April 2009

Partai di Zaman yang Berubah

Setelah Pemilu 1971 di era Orde Baru, hanya terdapat dua partai politik dan satu golongan. Duapartai politik itu adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP),sedangkan satu golongan itu adalah Golongan Karya (Golkar), yang ketika itu enggan disebut partai politik. Keengganan ini, sebagai bentuk koreksi terhadap peran partai politik di era Orde Lama, yang kerap larut dalam konflik politik, dan mengabaikan pembangunan.
Golkar kala itu, tampil sebagai catch-all party, yang lebih berorientasi pada implementasi program pembangunan di tanah air. Bahkan tak tanggung-tanggung Golkar-pun tampil sebagai partai kartel, dengan menggunakan kekuatan negara untuk membantu memenangkan pemilu. Serta memakai berbagai upaya untuk menghambat partisipasi dan keterlibatan PPP dan PDI. 
Tidak berbeda jauh dengan realitas pentas politik nasonal kala itu, di Maluku juga menerima sistem kepartaian nasional yang hanya mengenal dua partai politik dan satu golongan. Konsekuensi dari penerapan sistem kepartaian nasional, yang dijalankan pemerintah pusat di Maluku tersebut, turut menuai hasil positif dengan terciptanya stabilitas politik yang kondusif. Stabilitas politik itu, menjadi tumpuan bagi pemerintah daerah, untuk melakukan pembangunan ekonomi di daerah ini.
 Efeknya rakyat memiliki sandang yang cukup, pangan yang cukup, pelayanan kesehatan yang maksimal dan keamanan yang kondusif. Sehingga pada masa itu, kehadiran negara untuk memenuhi political goods benar-benar terealisasi. Sayangnya rakyat di daerah ini tidak hanya membutuhkan semua pemenuhan itu. Pasalnya, rakyat juga membutuhkan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Maka tatkala peralihan kekuasaan dari rezim Soeharto ke Habibie di tahun 1998, yang ditindaklanjuti dengan pemberian kesempatan bagi rakyat mendirikan partai politik, direspons oleh para politikus di daerah ini.
 Sehingga menjelang Pemilu 1999 ramai-ramai para politikus di daerah ini, meminta mandat ke pengurus partai politik baru di Jakarta, untuk membuka kepengurusan partainya di daerah. Meskipun dengan jam terbang yang masih rendah dalam pentas politik lokal, sebagian dari para politikus tersebut, tidak menghiraukan kapasitas itu. Kolega dan family-pun direkrut masuk kedalam kepengurusan partai di daerah. Yang terjadi adalah, banyak partai tapi kekurangan kader yang siap, sehingga siapa saja dapat menjadi pengurus partai politik, tanpa terlib dahulu melalui proses pengkaderan.
Yang terpikirkan oleh mereka adalah bisa memperoleh kursi di lembaga legislatif, melalui Pemilu 1999. Ada diantara mereka yang benar-benar sukses menempati kursi legislatif. Tapi tidak sedikit diantara mereka yang akhirnya gagal menempati kursi legislatif. Meskipun mereka sukses menempati kursi legislatif tidak membuat para politikus partai tersebut nyaman. Pasalnya pada Pemilu 2004, partai politik mereka tidak diperbolehkan mengikuti pemilu, karena tidak berhasil meraih jumlah minimal perolehan suara (threshold) dua persen dalam Pemilu 1999.
Namun mereka tidak kehilangan cara, menjelang Pemilu 2004 terdapat lagi partai politik baru yang didirikan. Mereka pun ramai-ramai ke Jakarta, untuk meminta mandat guna membuka kepengurusan partainya di daerah. Motif mereka tidak berbeda dengan Pemilu 1999 dimana berkinginan menempati kursi legislatif. Sebagian kecil diantaranya akhirnya sukses menempati kursi legislatif. Tapi tidak sedikit diantara mereka, yang akhirnya gagal menempati kursi legislatif. Walaupun sukses menempati kursi legislatif lagi-lagi mereka tidak nyaman, pasalnya pada Pemilu 2009 partai politik mereka tidak diperbolehkan mengikuti pemilu, karena tidak berhasil meraih threshold tiga persen pada Pemilu 2004.  
 Menjelang Pemilu 2009, ritual politik itu pun dilakukan lagi, dimana terdapat lagi partai politik baru yang didirikan. Mereka kembali beramai-ramai ke Jakarta untuk meminta mandat guna membuka kepengurusan partainya di daerah. Motif mereka tidak berbeda jauh dengan Pemilu 2004, dimana berkeinginan menempati kursi legislatif. Mandat kini telah mereka diperoleh, kepengurusan partai didaerah pun telah mereka didirikan. Konsolidasi gencar mereka lakukan pada semua tingkat kepengurusan partai, yang tidak lain merupakan bagian dari persiapan kontestasi menjelang Pemilu 2009.  
Rata-rata para politikus dari partai politik baru itu, berkinginan menempati kursi legislatif, seperti pengalaman dua pemilu sebelumnya. Namun hanya sebagian kecil diantara mereka yang akan menempati kursi legislatif. Hal ini merupakan fenomena ”partai politik di zaman yang berubah”. Dimana tatkala ada peluang yang didapatkan dari partai politik baru, maka disanalah terbuka kesempatan, untuk mengubah nasib. Ketimbang mengadu nasib pada partai politik lama nan besar, harus antri bertahun-tahun untuk menempati nomor urut jadi. Di partai politik baru, mereka bisa menempati posisi strategis, bahkan tak tanggung-tanggung menempati nomor urut jadi.  
Namun sebenarnya realitas politik dari pemilu ke pemilu tersebut, justru menjadi kendala besar bagi partai politik baru di daerah ini. Pasalnya rata-rata partai politik baru, belum mampu memperkokoh institusionalisasi partai politik mereka. Karena itu, menurut Dwipayana (2008) institusionalisasi partai politik, adalah proses pemantapan partai politik (organisasi maupun individu-individu dalam partai) dalam rangka menciptakan pemolaan perilaku/sikap/budaya untuk menghasilkan partai politik yang representatif dan mampu menjalankan fungsinya. 
Belum kokohnya institusionalisasi partai politik baru di daerah ini, dikarenakan empat komponen pokok institusionalisasi partai politik, belum dapat direalisasikan secara maksimal, antara lain ; pengakaran partai (party rooting), peningkatan legitimasi partai (party legitimacy), pelembagaan aturan dan regulasi (party rule and regulation) dan peningkatan daya saing partai (party competetiveness) (Dwipayana, 2008).
Pertama, pengakaran partai dimaksudkan agar partai partai terikat dengan masyarakat khususnya konstitiuennya. Fenomena yang terjadi adalah, rata-rata partai politik baru belum mengakar di tengah-tengah rakyat di daerah ini. Hal ini, dikarenakan partai-partai politik baru tersebut, baru didirikan menjelang pelaksanaan Pemilu 2009. Sehingga belum dikenal oleh rakyat di daerah ini. Efeknya, belum mampu mendulang suara yang maksimal dalam Pemilu 2009 mendatang.
Kedua, legitimasi partai yakni menyangkut seberapa besar partai, mendapatkan kepercayaan masyarakat yang didasarkan, pada penilaian masyarakat pada kinerja partai. Dimana pengukuran kinerja partai dilakukan, dengan melihat kesesuaian program/ideologi partai, dengan kebutuhan masyarakat serta komitmen melaksanakan program-program, yang telah dijanjikan dan diukur dengan persepsi publik pada partai.
Fenomena yang terjadi adalah, kebanyakan dari partai politik baru tersebut, belum dapat memperkokoh legitimasi partainya di tengah-tengah rakyat di daerah ini, karena merupakan partai politik baru. Sehingga untuk mencapainya diperlukan waktu yang relatif lama. Itu-pun jika partai politik baru tersebut dapat tetap survive sepanjang pemilu yang digelar.
Ketiga, aturan dan regulasi yakni menyangkut bagaimana partai mampu menjelaskan struktur, dan aturan kelembagaan dalam aktivitas partai baik di pemerintahan, internal organisasi maupun akar rumput. Dilihat bagaimana bekerjanya prinsip-prinsip dasar demokrasi lawannya, adalah clientilistic party atau personalistic party. Secara rill, partai politik baru di daerah ini belum mampu memaksimalkannya. Pasalnya belum duduk di level eksekutif maupun legislatif.
Keempat, daya saing partai adalah menyangkut kapasitas atau tingkat kompetensi partai. untuk berkompetisi dengan partai-partai lain, baik di tingkat akar rumput, di regional, di pusat maupun di parlemen. Kapasitasnya dilihat dari (1) kemampuan mewarnai kehidupan politik yang didasarkan dasar-dasar yang rasional dalam politik (program dan ideologi partai), (2) kemampuan menjalankan fungsinya. 
Bagi partai politik baru, tentu ini hal ini adalah problem serius, dimana partai-partai politik baru tersebut, akan berupaya keras untuk mempertinggi daya saing partai menjelang dilaksanakannya Pemilu 2009. Paling tidak mereka terlebih dahulu akan berupaya mempertinggi daya saing dilevel akar rumput, sebelum memaksimalkan daya saing di daerah maupun di tingkat parlemen, setelah menempati kursi legislatif nanti.
Namun sebenarnya, problem institusionalisasi partai politik, bukan hanya menjadi problem dari partai politik baru di daerah ini saja. Pasalnya hingga saat ini, rata-rata dari partai politik lama-pun, belum mampu untuk memaksimalkan institusionalisasi partai politiknya dari waktu ke waktu. Sehingga problem institusionalisasi partai politik, sebenarnya adalah problem menyeluruh dari partai-partai politik di daerah ini.(M.J.Latuconsina). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar