Jumat, 03 April 2009

Partai Kelas dari Rezim ke Rezim

Oleh : M.J Latuconsina
Dari waktu ke waktu, pengelompokan basis ideologi partai politik di Indonesia, senantiasa mengalami perubahan seiring dengan dinamika pergantian rezim pemerintahan. Dimana, perubahan pengelompokan basis ideologi partai politik, terjadi akibat adanya regulasi kebijakan pembatasan dan kelonggaran dalam mendirikan partai politik oleh pemerintah, baik yang terjadi di era Orde Lama, Orde Baru dan era Orde Reformasi.  
Karena itu, pengelompokan basis ideologi partai politik di Indonesia sejak tahun 1945-1961 terdiri dari ; komunisme, sosialisme-demokrat, Islam, nasionalisme radikal dan tradisionalisme Jawa. Lima aliran politik yang nyata dalam masyarakat Indonesia pada masa itu, merupakan basis dan polarisasi ideologi, yang berasal dari dua sumber utama pemikiran politik di Indonesia, yakni; tradisi lokal dan pengaruh pikiran barat. Pengelompokan basis ideologi partai politik tersebut, diperkenalkan oleh Herbert Feith (1970) dan Lance Castles (1970) melalui karyanya ”Indonesian Political Thinking”. 
Kemudian, pengelompokan basis ideologi partai politik di Indonesia sejak tahun 1973-1998, terdiri dari; Golongan Nasionalis, Golongan Sprituil dan Golongan Karya. Pengelompokan basis ideologi partai politik tersebut, merupakan pengelompokan basis ideologi partai politik yang lahir dari gagasan Presiden Suharto (1970), dalam rangka penyederhanaan partai politik, yang dilakukan bagi upaya penciptaan stabilitas politik, guna memuluskan jalan bagi pelaksanaan pembangunan nasional saat itu. 
Selanjutnya, pengelompokan basis ideologi partai politik di Indonesia sejak tahun 1998-sekarang, terdiri dari dua pengelompokan besar yakni; aliran dan kelas. Pengelompokan basis ideologi partai politik tersebut, diperkenalkan oleh Daniel Dhakidae (1999). Menurutnya, partai politik yang mengambil jalur aliran membedakan dirinya berdasarkan pandangannya terhadap dunia dan persoalannya dan bagaimana cara memecahkannya, disini jalur agama dan kebudayaan menjadi pilihannya.  
Sedangkan partai politik yang mengambil jalur kelas membedakan dirinya dari yang lain, berdasarkan pandangannya terhadap modal, yang pada akhirnya membagi masyarakat atas kelas pemodal, dan kaum buruh dengan segala kompleksitasnya. Sumbu horisontal, memunculkan dua kutub berdasarkan kelas yaitu ; developmentalisme di satu pihak, yang terepresentasi oleh Partai Golkar, dan sosialisme radikal dipihak lain, yang terepresentasi oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD). 
Di era reformasi, partai politik yang mengambil jalur kelas (radikal/terbuka), sebagai basis perjuangannya dalam pentas politik nasional, selalu tampil dalam tiga kali pemilu yang diselengarakan. Dimana pada Pemilu 1999 partai-partai politik tersebut, antara lain ; Partai Rakyat Demokratik (PRD), Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia (PSPSI), Partai Solidaritas Pekerja (PSP), Partai Indonesia Baru (PIB) dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). 
Pada Pemilu 2004 partai politik yang mengambil jalur kelas, yakni; Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD) dan Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB). Sedangkan pada Pemilu 2009 partai politik yang mengambil jalur kelas, yakni ; Partai Buruh (PB) dan Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB). Baik pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, jumlah partai politik yang mengambil jalur kelas sebagai basis perjuangan politiknya, mengalami devisit dibandingkan dengan Pemilu 1999, yang relatif lebih banyak jumlahnya. 
Sementara itu, posisi pengelompokan basis ideologi dari Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPI), yang tampil sebagai kontestan Pemilu 2009, berada pada dua jalur, yakni; developmentalisme dan kelas. Pasalnya partai politik ini bukan saja menampilakan dirinya sebagai partai politik, yang memperjuangkan aspirasi politik bagi para pengusaha, tapi juga menampilakan dirinya sebagai partai politik, yang memperjuangkan aspirasi politik bagi para pekerja. Sehingga partai ini adalah mix dari pengelompokan basis ideologi developmentalisme dan kelas. 
Pada umumnya segementasi wilayah garapan pemilih dari partai-partai politik yang mengambil jalur kelas adalah para pekerja yang terdiri dari ; buruh, petani, pedagang dan nelayan. Baik itu yang mendiami wilayah perkotaan dan pedesaan. Sehingga isu-isu program kampanye yang sering dikampanyekan partai-partai politik ini dalam tiap-kali pemilu, adalah peningkatan upah buruh, penyediaan pupuk murah, pemberian kredit berbunga kecil. Inti dari isu-isu program kampanye tersebut, bermuara pada peningkatan taraf hidup rakyat kecil.
Isu-isu program kampanye dari partai-partai politik ini, digunakan untuk menarik pemilih dari kelas bawah dalam pemilu. Dimana diharapkan akan memiliki pengaruh signifikan terhadap preferensi politik para pemilih kelas bawah, untuk kemudian memilih caleg-caleg dari partai-partai politik, yang memperjuangkan aspirasi pemilih kelas bawah tersebut dalam pemilu. Sehingga tatkala caleg-caleg tersebut terpilih, dan duduk sebagai wakil rakyat, mereka akan memperjuangkan aspirasi politik pemilih kelas bawah dilevel parlemen.
Memperjuangkan aspirasi politik para pemilih kelas bawah di level parlemen, adalah wujud nyata akuntabilitas politik dari partai-partai politik yang mengambil jalur kelas sebagai basis perjuangan politiknya, terhadap para pemilih kelas bawah, yang telah memilih mereka dalam pemilu. Hal ini merupakan esensi penting, dari kehadiran partai-partai politik tersebut, untuk memperjuangkan kepentingan rakyat kecil di ranah politik.
Meskipun demikian, partai-partai politik yang mengambil jalur kelas, dalam Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 yang diselenggarakan di era Reformasi, tidak pernah mengalami sukses layaknya partai-partai pendatang baru dalam dua kali pemilu tersebut. Sebab, perolehan suara dari partai-partai politik ini tidak maksimal. Dimana, tidak sebesar jumlah pemilih dari segmentasi wilayah garapan mereka, yang terdiri dari para buruh, petani, pedagang dan nelayan yang merupakan pemilih terbesar di tanah air. Hal ini dikarenakan ;
Pertama, fusi partai politik yang dilakukan rezim Orde Baru menjelang Pemilu 1977, memiliki dampak terhadap beralihnya preferensi politik pemilih, dari partai politik yang mengusung ideologi sosialisme-demokrat di era Orde Lama, kepada Partai Golkar dan PDI. Beralihnya pilihan politik pemilih ini, berdampak terhadap menjauhnya preferensi politik pemilih, dari partai politik yang mengusung ideologi sosial-demokrat di era Orde Lama, terhadap partai politik yang mengambil jalur kelas, dalam pemilu-pemilu post rezim Suharto.
Kedua, adanya sterotip dari rezim Orde Baru kepada pemilih yang berafiliasi ke partai politik, yang memiliki ideologi sosialisme-demokrat di era Orde Lama, dengan faham Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Sehingga para pemilih tersebut, terpaksa memilih Partai Golkar dan PDI, sebagai bentuk personal security dari represi rezim Soeharto. Dampak preferensi politik itu, masih terasa hingga kini dimana para pemilih sosialisme-demokrat, lebih memilih Partai Golkar dan PDIP, daripada memilih partai-partai politik, yang mengambil jalur kelas, dalam dua kali pemilu pasca Orde Baru.
Ketiga, segementasi wilayah garapan pemilih kelas bawah, yang terdiri dari para buruh, petani, pedagang dan nelayan, dari pemilu ke pemilu bukan saja telah menjadi segmentasi wilayah garapan dari Partai Golkar dan PDIP. Namun juga PKB dan PPP, dimana oleh keempat partai politik ini, sudah dijadikan pemilih ”pelanggan tetap” mereka dari pemilu ke pemilu. Sehinggga menjadi problem tersendiri, bagi partai politik yang mengambil jalur kelas, untuk mendulang suara dari segmentasi-segmentasi pemilih tersebut. 
Keempat, kemungkinan besar partai-partai politik yang mengambil jalur kelas tersebut, gagal dalam menerjemahkan aspirasi politik para pemilih kelas bawah, terkait dengan program kerja rill sekaligus populis, yang bisa diterima para pemilih kelas bawah. Faktor ini tentu memiliki korelasi yang signifikan, dengan preferensi politik pemilih kelas bawah, untuk enggan memilih partai-partai politik yang mengambil jalur kelas, selama dua kali pemilu yang diselenggarakan di era post rezim Suharto. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar