Jumat, 03 April 2009

Partai Etnis


Dalam suatu nation state yang demokratis, akan senantiasa memberikan ruang yang free, bagi tumbuh-kembangnya berbagai tipologi partai politik. Tumbuh-kembangnya beragam tipologi partai politik tersebut, biasanya merupakan bagian dari respons politik masyarakat, atas sistem Pemilu yang membolehkan hadirnya beragam tipologi partai politik, untuk berpartisipasi sebagai kontestan dalam penyelenggaraan Pemilu.
Beragam tipologi partai politik, yang berpartisipasi sebagai kontestan Pemilu, biasanya juga mengikuti pembilahan basis sosial masyarakat pada suatu nation state. Apalagi pada nation state yang masyarakatnya majemuk, yang terdiri dari beragam suku, agama dan ras, tentu tipologi partai politiknya juga akan beragam, mengikuti pluralitas masyarakatnya. Karena itu, hampir rata-rata di negara-negara yang masyarakatnya plural, kerap memiliki tipologi partai politik yang beragam.
 Peter Schroder (2004) dalam bukunya ”Politische Strategien”, membagi tipologi partai politik berdasarkan para pengikutnya kedalam lima bentuk, yakni ; partai kelompok seprofesi, partai minat, partai golongan/kelas, partai rakyat, dan partai etnis. Secara lebih spesifik, Schroder menyebutkan bahwa, partai etnis terutama memperoleh artinya apabila semakin banyak kepentingan golongan etnis tertentu, yang berbeda-beda yang perlu diperjuangan bersama.
 Tipologi partai etnis yang dikemukakan tersebut, pernah hadir mewarnai Pemilu 1955. Dalam Pemilu pertama, yang dilaksanakan di era Kabinet Burhanuddin Harahap itu, tidak hanya diikuti kontestan partai besar, partai menengah, dan kelompok kecil yang bercakupan nasional, tapi juga diikuti kelompok kecil yang bercakupan daerah. Menurut Herbert Feith(1999), kelompok terakhir yang disebutkan itu, bisa dikategorikan sebagai partai, atau kelompok yang bersifat kedaerahan atau kesukuan.  
Dimana banyak berada di Jawa Barat, yakni ; Partai Rakyat Desa (PRD), Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM), Gerakan Pilihan Sunda (GPS), Partai Tani Indonesia (PTI), dan Gerakan Banteng (GB). Di Yogyakarta terdapat Gerinda, dan di Kalimantan Barat terdapat Partai Persatuan Daya (PD). Di Nusa Tenggara Barat, khususnya Lombok terdapat Persatuan Indonesia Raya (PIR) NTB. Sedangkan di Jawa Timur terdapat AKUI, dimana calon-calon dari partai ini rata-rata berasal dari etnis Madura.
Pada umumnya, pengurus partai dan basis dukungan pemilih dari partai–partai tersebut, berasal dari etnis yang sama. Fenomena ini, nampak pada Partai Persatuan Daya, dimana partai ini mengandalkan dukungan dari pemilih etnis Dayak di Kalimantan Barat. Hasilnya, Partai Persatuan Daya merupakan satu-satunya kelompok kesukuan, yang berhasil memperoleh kursi di DPR pada Pemilu 1955. Sisanya tidak berhasil memperoleh kursi di DPR, tetapi mendapat kursi di Konstituante. 
Relevan dengan itu, Richard Rose (2008) dan Derek Urwin (2008) menyebutkan bahwa, suatu partai politik menjadi partai etnis jika dua pertiga pendukungnya berasal dari etnis yang sama. Karena itu, jika merujuk pada pendapat yang dikemukakan tersebut, maka partai atau kelompok yang bersifat kedaerahan atau kesukuan, yang tampil sebagai kontestan dalam Pemilu 1955, dikategorikan sebagai partai etnis. Pasalnya, terdapat dua pertiga pendukungnya berasal dari etnis yang sama.
Terlepas dari itu, tatkala transformasi kekuasaan dari rezim Sukarno ke rezim Suharto pada 22 Februari 1967, berimplikasi terhadap stagnannya eksistensi partai etnis dalam pentas politik nasional. Sebab terdapat regulasi perampingan jumlah partai politik, yang dilakukan pemerintahan Orde Baru. Sehingga sejak Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan Pemilu 1997 di era rezim Orde Baru, tidak terdapat lagi partai etnis, yang tampil sebagai kontestan pada Pemilu-Pemilu post rezim Sukarno tersebut.  
Namun ketika kolapsnya rezim Orde Baru, yang ditandai dengan peralihan kekuasaan dari Suharto kepada B.J. Habibie pada 21 Mei 1998, yang kemudian ditindaklanjuti dengan dilaksanakannya Pemilu pada 7 Juni 1999, partai etnis menampakan eksistensinya kembali dalam pentas politik nasional, dengan tampil sebagai kontestan Pemilu pertama di era reformasi tersebut. Partai politik etnis yang dimaksud adalah, Partai Bhineka Tunggal Ika (PBTI). Partai ini dikategorikan sebagai partai etnis, karena mayoritas pemilih dari PBTI, adalah etnis China. 
Lima tahun berikutnya, tatkala penyelenggaraan Pemilu pada 5 April 2004 masih terdapat lagi partai nasional yang berbasis etnis, Partai politik yang dimaksud adalah, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK). Dikategorikan demikian, karena PPDK meraih suara yang signifikan di Sulawesi Selatan. Dimana mendapat dukungan dari pemilih etnis Bugis dan Makassar. Kesuksesan PPDK meraih suara yang signifikan di Sulawesi Selatan, ketimbang daerah lainnya di tanah air, tak pelak berakibat plesetan kepada partai ini, sebagai “Partai Puang Daeng Karaeng”.  
Signifikannya suara PPDK di Sulawesi Selatan, tidak terlepas dari hadirnya figur Ryas Ryasid, dan Andi A. Mallaranggeng, yang masing-masing menempati posisi Presiden PPDK, dan Ketua PPDK dalam Pemilu 2004. Sehingga hubungan emosional antara pemilih etnis Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, dengan kedua tokoh politik Bugis-Makassar ini, turut memiliki pengaruh yang signifikan pada preferensi politik kedua etnis ini, untuk memilih PPDK pada Pemilu 2004.
Jika fenomena politik PPDK pada Pemilu 2004 di Sulawesi Selatan, mampu menampakan institusi partainya, sebagai partai politik nasional yang berbasis etnis Bugis dan Makasar. Rupanya fenomena politik serupa, bakal terjadi pada Pemilu 2009 di Kota Ambon. Dimana terdapat partai politik yang berbasis nasional, tapi dilevel lokal memposisikan institusi partainya, sebagai partai etnis. Partai politik yang dimaksud adalah, Partai Indonesia Sejahtera (PIS).  
PIS dikategorikan sebagai partai etnis di tingkat lokal, karena mayoritas caleg dari partai ini, rata-rata didominasi etnis Buton. Begitu-pun basis pemilih yang diharapkan PIS dalam Pemilu 2009 di Kota Ambon, adalah pemilih dari etnis Buton. Tapi sebenarnya jika ditilik, pola rekrutmen caleg PIS yang sektarian tersebut, merupakan bagian dari strategi politik, yang digunakan partai politik ini, untuk bisa mendulang suara yang maksimal, dari pemilih etnis Buton pada Pemilu 2009.  
Strategi politik PIS yang esklusif itu, tentu tidak mudah bagi PIS untuk bisa meraih sukses. Pasalnya, mayoritas pemilih etnis Buton di Kota Ambon, telah menjadi pemilih “pelanggan tetap” dari Partai Golkar, PKS, PPP, PBB dan PAN. Dimana dalam tiap kali pemilu, mereka selalu memilih kelima partai ini. Hal ini dikarenakan, ikatan emosional pemilih etnis Buton pada kelima partai ini, merupakan aspek psikologis yang memiliki pengaruh terhadap preferensi politik pemilih etnis Buton, dalam memilih caleg yang calonkan kelima partai ini, disamping orientasi pilihan mereka terhadap isu-isu yang disuarkan kelima partai ini.
Sehingga perlu upaya yang maksimal dari PIS, untuk dapat meraih simpati pemilih etnis Buton di Kota Ambon dalam Pemilu 2009. Karena itu, raihan suara PIS dalam Pemilu 2009 di Kota Ambon, diperkirakan hanya akan berasal dari para pemilih etnis Buton, yang memilih pindah partai (swinging voter), dengan mencoblos caleg PIS yang memiliki asal etnis yang sama dengan mereka. Aspek sosiologis ini, tentu akan menjadi faktor determinen yang berpengaruh, terhadap preferensi politik pemilih etnis Buton dalam memilih caleg PIS, yang memiliki pertalian etnis yang sama dengan mereka.(M.J.Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar