Rabu, 27 Mei 2009

Duet dari Mataraman

Oleh; M.J Latuconsina
Pada Jumad (15/5) tiga pekan lalu, bertempat di Gedung Sasana Budaya Ganesha Institut Teknologi Bandung (ITB), Partai Demokrat dan sejumlah partai koalisi (PKS, PAN, dan PKB), sukses mendeklarasikan duet pasangan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden (capres), dan Boediono sebagai calon wakil presiden (cawapres), dalam suatu acara yang meriah. Dibalik kemeriahan acara deklarasi tersebut, terdapat optimisme dari paket pasangan ini, untuk memenangi pilpres 2009.
Optimisme dari duet pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY-Berbudi), cukup beralasan. Pasalnya berdasarkan hasil survey yang dilakukan lembaga-lembaga survey nasional, masih menempatkan paket pasangan ini, ditempat teratas pasangan yang memiliki tingkat electabilitas tinggi, mengungguli pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win) ,dan pasangan Megawati Sukarno Putri-Prabowo Subianto (Mega-Pro), dalam perhelatan pilpres 2009.
Duet SBY-Berbudi selain merupakan pasangan yang mewakili unsur militer-sipil, juga memiliki kesamaan latar-belakang tempat asal, dimana sama-sama berasal dari Jawa Timur. Meski memiliki kesamaan latar-belakang tempat asal, namun beda daerah kelahiran. Susilo Bambang Yudhoyono sendiri dilahirkan di Pacitan, sedangkan Boediono dilahirkan di Blitar. Kendati memiliki perbedaan daerah kelahiran, tapi Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, sama-sama berasal dari dua daerah, yang memiliki subkultur yang sama.
Pasalnya, baik Pacitan dan Blitar sama-sama merupakan daerah, yang menerima banyak pengaruh Jawa Tengahan. Sehingga, dua daerah ini dikenal sebagai kawasan Mataraman. Dimana dulunya, merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Mataram. Dua daerah ini-pun, dulunya terbagi mengikuti dua kawasan ; pertama Mataraman Kulon, yang merupakan bagian dari eks-Karesidenan Madiun (Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan), dan kedua Mataraman Wetan, yang merupakan bagian dari eks-Karesidenan Kediri (Nganjuk, Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Blitar).
Kawasan Mataraman sendiri berada di wilayah Jawa Timur bagian barat. Ciri khas dari kebudayaan di kawasan ini, banyak mendapat pengaruh yang kuat dari budaya Kerajaan Mataram, baik pada masa Hindu-Buddha maupun era Kesultanan Mataram Islam, yang berpusat di Yogyakarta dan Surakarta. Karena itu, adat istiadatnya mirip dengan masyarakat Jawa Tengah, yang berakar pada budaya ekologi sawah, agraris. Pola permukiman desanya mengelompok, dan memiliki solidaritas desa yang kuat, sehingga tradisi gotong royong pun berkembang.
Tidak mengherankan, jika berbagai pengaruh dari Kerajaan Mataram, baik pada masa Hindu-Buddha maupun era Kesultanan Mataram Islam, yang berpusat di Yogyakarta dan Surakarta tersebut, memiliki implikasi terhadap kebudayaan masyarakat di kawasan ini, yang dikenal abangan. Pasalnya, praktik keagamaan masyarakat dikawasan ini, cenderung melakukan sinkritisme atas ajaran Islam, Hindu-Budha serta sistem kepercayaan animisme. Dengan kata lain, mereka menjalankan ritual sendiri yang bertentangan dengan ortodoksi Islam.
Subkultur Mataraman sendiri, hingga saat ini masih menjadi episentrum hegemonik dalam pentas politik nasional. Pasalnya subkultur Mataraman, yang merupakan bagian dari kebudayaan Jawa, adalah kebudayaan yang selalu mewarnai kehidupan elite politik nasional. Bahkan subkultur Mataraman, yang merupakan bagian dari kebudayaan Jawa tersebut, dianggap sebagai budaya yang mendominasi budaya lain (non Jawa). (Haris et.al 2005, Suwondo, 2005, Mujani, 2007, Sutarto, 2009, Wikipedia, 2009).
Sejak Indonesia merdeka hingga kini, empat dari enam presiden Republik Indonesia, berasal dari masyarakat yang bersubkultur Mataraman yakni ; pertama Sukarno (1945-1967), kedua Suharto (1967-1998) ketiga, Megawati Sukarno Putri (2001-2004) ,dan keempat Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009). Sedangkan hanya dua dari delapan wakil presiden Republik Indonesia berasal dari masyarakat, yang bersubkultur Mataraman yakni ; pertama Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1973-1978), dan kedua Megawati Sukarno Putri (1999-2001).
Kawasan ini, berbeda dengan kawasan pesisir barat Jawa Timur, yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Kawasan ini mencakup wilayah Tuban, Lamongan, Pasuruan, Sitobondo, Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Gresik, Lumajang dan Pulau Madura. Dahulu pesisir utara Jawa Timur merupakan daerah masuk ,dan pusat dari perkembangan agama Islam. Sehingga kerap disebut sebagai kawasan santri. Selain daerah ini sering dikenal sebagai kawasan santri, juga sering populer dengan sebutan kawasan Tapal Kuda.
Kawasan Tapal Kuda merupakan perpaduan antara etnis Jawa dan Madura, atau orang Jawa yang ‘dimadurakan’. Dimana memiliki kebudayaan Pandalungan. Ciri khas budaya ini adalah membentuk karakter masyarakat yang agraris-egaliter, bekerja keras, agresif, ekspansif dan memiliki solidaritas tinggi, tetapi masih menempatkan pemimpin agama Islam sebagai tokoh kunci. Cikal-bakal keberadaan kebudayaan Pandalungan, seiring dengan imigrasi orang Madura ke Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, dan Jember.
Sejak Indonesia merdeka hingga kini, hanya satu dari enam presiden Republik Indonesia berasal dari kawasan Tapal Kuda, yang bersubkultur santri yakni ; K.H Abdurrahman Wahid (1999-2001), sedangkan hanya dua dari delapan wakil presiden Republik Indonesia, berasal dari kawasan Tapal Kuda, yang bersubkultur santri yakni ; pertama Sudharmono (1988-1993), dan kedua Try Sutrisno (1993-1998).
Baik Jombang yang merupakan daerah asal mantan presiden K.H Abdurrahman Wahid, dan Surabaya yang merupakan daerah asal mantan wakil presiden Try Sutrisno, sebenarnya tidak murni dikategorikan sebagai daerah Tapal Kuda. Pasalnya Jombang dan Surabaya yang merupakan tempat kelahiran kedua tokoh ini, adalah eks-Karesidenan Surabaya (Sidoarjo, Mojokerto, Jombang) dan Malang, masih memiliki sedikit pengaruh budaya Mataraman.
Pada masa lalu, daerah bersubkultur Mataraman dikenal sebagai basis dari partai nasionalis-sekuler yakni PKI dan PNI. Sedangkan kawasan Tapal Kuda, dikenal sebagai basis dari partai Islam yakni NU dan Masyumi. Hal ini bisa dilihat, dari hasil perolehan suara partai-partai tersebut pada Pemilu 1955. Dimana menempatkan Partai NU sebagai partai pemenang pemilu, dengan meraih 3,370,554 suara, disusul PNI dengan 2,251,069 suara, PKI sebanyak 2,299,602 suara, dan Masyumi 1,109,742 suara.
Peta raihan suara partai politik di daerah Mataraman, dan Tapal Kuda di Jawa Timur pada Pemilu 1955 tersebut, sesuai dengan tesis yang kemukakan Clifford Geertz bahwa, aliran abangan cenderung memilih PNI dan PKI, santri memilih partai-partai Islam seperti Masyumi, Partai NU, Perti, dan PSII. Namun, tesis Geertz tersebut hingga kini mengalami dinamika, seiring dengan perubahan iklim politik nasional, yang terjadi dari rezim ke rezim. Sehingga terdapat sedikit dari daerah Mataraman, yang tadinya merupakan basis dari partai berideologi nasionalis-sekuler, beralih menjadi basis dari partai berideologi Islam. Begitu-pun terjadi fenomena sebaliknya.
Misalnya Trenggalek, yang merupakan daerah yang didiami masyarakat bersubkultur Mataraman, pada Pemilu 1987 dimenangi oleh Golkar, yang merupakan partai politik berbasis nasionalis-sekuler, dengan raihan 72,1 persen suara, tidak bisa mengulangi kesuksesannya lagi pada Pemilu 1999. Pasalnya dalam Pemilu 1999 PKB, yang merupakan salah satu partai politik, yang sering berjaya di daerah Tapal Kuda, justru meraih kemenangan di Trenggalek, dengan meraih 53 persen suara.
Begitu-pun Jombang merupakan daerah, yang didiami masyarakat bersubkultur santri, dimana sekitar 98,3 persen masyaraktnya merupakan pemeluk Islam, justru pada Pemilu 1999 dimenangi oleh PDIP, yang meraih 40,4 persen suara. PKB yang mestinya berjaya didaerah ini hanya mampu meraih 28,8 persen suara. Nasib serupa dialami PPP yang seharusnya juga mendulang suara di Jombang, hanya mampu meraih 8 persen suara. Peta raihan suara partai politik tersebut, adalah peta politik pada Pemilu 1999, jika dibandingkan dengan Pemilu 2004 dan 2009, dipastikan mengalami pergeseran. (Kompas, 2004, Haris et.al, 2005, Mujani, 2007, Priantono, 2009, Sutarto, 2009, Wikipedia, 2009).
Merujuk pada peta politik tersebut, tidak mengherankan jika SBY kemudian begitu confidence mengambil Boediono, seorang figur yang berasal dari daerah subkultur Mataraman (abangan), sebagai cawapres. Bukan sebaliknya mengambil seorang figur dari daerah subkultur Tapal Kuda (santri), sebagai cawapresnya. Pasalnya figur santri dalam Pemilu 2009 ini, tidak lagi menjadi ”dagangan politik” yang laris digunakan sebagai vote getter, guna menarik pemilih santri, yang mayoritas mendiami daerah Tapal Kuda.
Apalagi kekalahan pasangan Megawati Sukarno Putri-Hasyim Muzadi, dan Wiranto-Solahudin Wahid pada Pilpres 2004 lalu, menjadi pelajaran berharga bagi SBY bahwa cawapres berlatar-belakang santri, yang dipasangkan untuk menarik suara santri di daerah Tapal Kuda, tidak terlampau memiliki pengaruh yang signifikan lagi. Fenomena yang sama ditemui pada pasangan JK-Win dan Mega-Pro dalam Pilpres 2009 ini, dimana bukan merupakan pasangan yang mewakili unsur nasionalis-santri atau santri-militer, layaknya pada perhelatan Pilpres 2004 lalu.(M.J.Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar