Rabu, 07 April 2010

GMNI (1954-2010) Revolusi Mengorbankan Anaknya Sendiri


Empat bulan pasca Indonesia di proklamirkan oleh dwi tunggal Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, pada 3 November 1945 dikeluarkanlah Maklumat X atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang berisi anjuran pembentukan partai-partai politik. Merespons maklumat Wakil Presiden tersebut, para elite politik pun mendirikan partai politik. Konsekuensi dari banyaknya partai politik yang didirikan oleh para elite politik dengan beragam ideologi tersebut, turut berimplikasi terhadap munculnya politik aliran dalam sistem politik kita. 
Hadirnya partai politik, sebagai salah institusi politik yang mendasarkan gerak politiknya pada ideologi, turut diikuti pula oleh kesadaran politik dari kalangan mahasiswa akan pentingnya ideologi. Sehingga didirikannya berbagai organisasi kemahasiswaan pada tahun 1940-an sampai dengan tahun 1960-an, juga tidak terlepas dari politik aliran, yang memiliki pengaruh dalam membangun persepsi mahasiswa secara sosiologis tentang pentingya peran ideologi dengan organisasi sebagai alat perjuangan mereka.
Tercatat sejak tahun 1940-an sampai dengan tahun 1960-an lahir berturut-turut tujuh organisasi kemahasiswaan ekstra universiter, yakni ; Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Sosialis (GEMSOS), Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Ketujuh organisasi kemahasiswaan ini, merupakan onderbouw dari tujuh partai politik yang memiliki ideologi yang sama, dimana HMI berafiliasi dengan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), PMKRI berafiliasi dengan Partai Katolik, GMKI berafiliasi dengan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), GMNI berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), GEMSOS berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), CGMI berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan PMII berafiliasi dengan Partai Nahdlatul Ulama (NU).
Terlepas dari itu, dalam kiprah GMNI di pentas pergerakan kemahasiswaan nasional, selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari PNI. Awal pendirian GMNI merupakan fusi dari tiga organisasi ekstra universiter, yakni; Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) di Jakarta, Gerakan Mahasiswa Marhaenis (GMM) di Yogyakarta, dan Gerakan Mahasiswa Merdeka (GEMMA) di Surabaya. Tiga organisasi ekstra universiter ini kemudian secara bersama-sama menggelar Kongres I GMNI di Surabaya pada 23-26 Maret 1954. Dalam Kongres pertama ini terpilih S.M. Hadiprabowo sebagai ketua umum DPP GMNI.
Sebelumnya dalam perkembangan Kongres I ini, GMNI secara tegas tidak menginginkan menjadi bagian dari organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi ke PNI. Namun dalam perkembangan selanjutnya sikap independensi dari GMNI untuk tidak partisan ke PNI, ternyata tidak bisa dipertahankan. Dinamika internal GMNI membuat organisasi pergerakan kaum nasionalis muda ini, harus menyatakan sikapnya untuk berafiliasi ke PNI. Sehingga pasca Kongres II GMNI di Bandung pada Oktober tahun 1956, sikap partisan GMNI ke PNI mulai direalisasikan.
Dimana para pimpinan GMNI dalam aktivitasnya lebih banyak mengitegrasikan diri kedalam sikap politik PNI. Hubungan ini kemudian dilegalisasi ke dalam struktur formal kepartaian. PNI selanjutnya menempatkan GMNI sebagai salah satu organ seazas. Namun keputusan GMNI menjadi onderbouw PNI baru dicapai pada tahun 1959, konsekuensi dari keputusan itu, membuat GMNI harus menyesuaikan diri dengan kebijakan PNI sebagai organisasi induk, termasuk melakukan perubahan lambang dari ganesha menjadi banteng.
Di era demokrasi terpimpin baik GMNI, PNI dan Bung Karno adalah tiga elemen yang memiliki relasi, yang didasari interest politik. Pasalnya GMNI merupakan organisasi kemahasiswaan yang banyak memasok kader-kader potensial ke PNI. Begitu juga PNI dalam langkah politik strategisnya kerap membutuhkan dukungan politik dari Bung Karno. Sebaliknya dalam setiap kebijakan strategis politik Bung Karno selaku Presiden selalu membutuhkan dukungan dari PNI. Hubungan ini nampak semakin erat tatkala ide-ide revolusioner Bung Karno melawan kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme, didukung oleh GMNI dan PNI.
Sehingga dalam menyambut ide-ide Bung Karno yang revolusioner anti barat tersebut, GMNI juga turut menyamakan persepsinya sesuai dengan ide-ide Bung Karno yang revolusioner kekiri-kirian tersebut. Karena itu, pasca Konggres III GMNI di Malang pada tahun 1959, model dewan pimpinan pusat (DPP) diganti dengan Presidium. Perubahan itu untuk mengiliminasi sentralisasi kepemimpinan ke dalam satu tangan, sekaligus juga dimaknai sebagai bentuk penegasan simbolis mengayunnya ’bandul’ pergerakan politik GMNI kearah barisan kekuatan kiri progresif revolusioner.
Pada periode 1960-1965 adalah puncak kejayaan GMNI yang berada dalam pusaran kekuasaan PNI dan Bung Karno, hal ini ditandai dengan membengkaknya jumlah anggota GMNI yang mencapai 100 ribu orang, yang tersebar pada kampus-kampus di Indonesia. Tentu ini merupakan suatu jumlah yang spektakuler pada zamannya, sehingga karakter GMNI saat itu bukan saja tampil sebagai organisasi kader, tapi GMNI juga telah tampil sebagai organisasi massa, yang sewaktu-waktu dapat dimobilisasi demi kepentingan politik PNI dan Bung Karno.  
Diluar jumlah anggota GMNI yang mencapai 100 ribu orang itu, GMNI juga menoreh prestasi dengan menguasai forum tertingi organisasi intra universitas, yaitu Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Dimana dari 24 kursi Dewan Eksekutif MMI, GMNI sukses menempatkan 18 anggota. Selain itu, GMNI juga memegang kendali atas Perikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), badan dan forum tertinggi organisasi mahasiswa diluar universitas. Inilah suatu massa dimana GMNI memiliki peran yang dominan dalam ranah pergerakan kemahasiswaan nasional.
Puncak kejayaan GMNI tidak berlangsung lama. Seiring terjadinya peristiwa G30S/PKI (GESTAPU) di tahun 1965, Angkatan Darat (AD) dibawah Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) Mayor Jenderal Soeharto, yang sejak 3 Oktober 1965 diberikan kewenangan untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pelaku G30S/PKI. Turut pula melakukan pembersihan terhadap para aktifis GMNI yang diidentifikasi berafiliasi kiri, dimana sebagian besar dari mereka tidak berdaya menghadapi tekanan-tekanan politik dari AD.
Peristiwa G30S/PKI di tahun 1965 turut pula berimplikasi terhadap melemahnya kekuasaan PNI dan Bung Karno. Sehingga GMNI yang selalu tersuboordinasi dibawah PNI dan Bung Karno mulai meredup dari puncak kejayaannya. Bagi para aktifis GMNI yang diidentifikasi berafiliasi kanan tidak mengalami tekanan politik oleh AD. GMNI sayap kanan ini-lah, yang kemudian melakukan konsolidasi organisasi, dengan menggelar Kongres V GMNI pada tahun 1969 di Salatiga. Dimana terpilih dalam Kongres itu Soerjadi-Budihardjono selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP GMNI.
Sebelumnya dalam Kongres V GMNI menguat wacana independensi organisasi. Wacana independensi organisasi merupakan upaya GMNI untuk kembali ke ’khittah’ dan ’fitrah’-nya sebagaimana kehendak Kongres I GMNI di Surabaya. Sehingga tatkala terjadi perubahan politik, gerak roda organisasi akan tetap berjalan, tanpa hambatan krusial seperti yang dialami GMNI ketika terjadi transformasi kekuasaan dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru. Dimana akhirnya ’revolusi mengorbankan anaknya sendiri’, yang tidak lain adalah GMNI.(Maxwell 2001, Ichwan 2006, Gaffar 2006, Tempo 2008, Suhawi 2009, Wikipedia, 2010).
Pada 23 Maret 1954 GMNI didirikan, dan pada 23 Maret 2010 usia GMNI telah mencapai 57 tahun, suatu usia matang bagi kiprah GMNI dipentas pegerakan kemahasiswaan. Pasang surut pergerakan GMNI sudah dialami sejak era Orde Lama, Orde Baru dan era Orde Reformasi. GMNI sebagai organisasi yang menghimpun kaum nasionalis muda perlu melakukan gerak roda organisasi sesuai dengan dinamika internal dan ekstrnal. Wujud GMNI selaku organisasi ekstra universiter adalah mampu menjaga independensinya, dimana tidak mudah terperangkap dalam pusaran kekuasaan, seperti yang dialami pada era rezim Orde Lama. Dirgahayu GMNI yang ke-57, semoga pengabdianmu selalu yang terbaik bagi kemajuan bangsa dan negara, merdeka..!!(M.J.Latuconsina).

1 komentar: