Kamis, 09 September 2010

RMS Dipusaran Perang Dingin


Ketika keinginan dari sebagian besar negara bagian, yang terhimpun dalam Republik Indonesia Serikat (RIS), untuk bertransformasi ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 19 Mei 1950, sebulan sebelumnya bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT),  Mr. Dr. Ch. R. Soumokil pada 25 April 1950 menggunakan kesempatan ini, untuk memproklamirkan kemerdekaan Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon. Diproklamirkannya kemerdekaan RMS oleh Soumokil tersebut, sebagai bentuk penolakan terhadap rencana RIS yang hendak melebur ke NKRI.  
Tentang sikap penolakan itu, dikemukakan George Mc Turnan Kahin (1952) dalam karyanya, “Nationalism and Revolution in Indonesia bahwa, terhadap gerakan kembali ke bentuk negara kesatuan ini muncul sejumlah aksi pertentangan, seperti di Maluku, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat. Hal serupa dikatakan M.C. Ricklefs (2008) dalam karyanya, “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008” bahwa, oposisi yang terbesar terhadap gerakan persatuan itu, berasal dari negara-negara Sumatera Timur dan Indonesia Timur. Di NIT, banyak orang Ambon telah berperang melawan revolusi menentang pembubaran federalisme.
Menyikapi kemerdekaan RMS itu, pemerintah pusat-pun mengutus Dr. Johanes Leimena untuk misi perdamaian di Ambon. Dalam perkembangannya, misi perdamaian itu mengalami kegagalan, karena kelompok garis keras dalam RMS langsung menutup pintu dan tidak bersedia bertemu. Setelah mengalami kemacetan jalan damai dan tidak bersedia bertemu, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah pusat selain menggunakan cara militer, guna meredam sekaligus membubarkan RMS bentukan mantan Jaksa Agung NIT itu.
Opsi militer akhirnya benar-benar direalisasikan oleh pemerintah Jakarta. Sehingga empat bulan pasca di proklamirkannya kemerdekaan RMS, pada 13 Juli 1950 lahirlah surat keputusan dari pimpinan TNI, untuk membentuk sebuah operasi militer gabungan dengan nama Komando Pasukan Maluku Selatan, dibawah pimpinan Kolonel Alex Evert Kawilarang. Operasi ini ditindaklanjuti dengan Operasi Masohi, yang sukses menangkap Soumokil pada 15 Agustus 1963 di Hatu Asinepe, sebelah selatan Negeri Sawai, Seram Utara.
Negara RMS akhirnya benar-benar menjadi failed state (negara gagal) sejak di proklamirkan pada 25 April 1950-15 Agustus 1963 seiring dengan penangkapan presidennya oleh TNI. Sebab state RMS sering diperhadapkan dengan konflik, kekerasan negara sangat tinggi terhadap rakyat yang tidak setuju dengan state RMS, inprastruktur yang diklaim milik state RMS hancur akibat konflik bersenjata dengan RI, tidak terdapat legitimasi state RMS baik secara internal dan eksternal. Sehingga, berimplikasi negatif terhadap eksistensi state RMS.
Ciri-ciri failed state RMS tersebut, serupa dengan ciri-ciri failed state yang dikemukakan Robert I Rotberg (2001) dalam karyanya, “The Natural of Nation-State Failure”, dimana cenderung menghadapi konflik yang berkelanjutan, kekerasan komunal maupun kekerasan negara sangat tinggi, permusuhan karena etnik, agama, ataupun bahasa, teror, korupsi merajalela, jalan-jalan atau infrastruktur lainnya dibiarkan hancur, legitimasi negara terus ditentang dan menipis.
Prahara RMS sebenarnya tengah terjadi saat berkecamuknya Perang Dingin 1947-1991 pasca usainya Perang Dunia ke-II 1939–1945, yang melibatkan Amerika Serikat beserta sekutunya disebut Blok Barat, dan Uni Soviet beserta sekutunya disebut Blok Timur. Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan state ini, tidak memiliki pengaruh sama sekali dalam percaturan politik global untuk menarik simpati Amerika beserta sekutunya-Blok Barat. Karena itu, tindakan militer RI yang dilakukan oleh TNI terhadap RMS-pun tidak digubris Amerika Serikat beserta sekutunya-Blok Barat.
Kepentingan besar Amerika Serikat beserta sekutunya-Blok Barat, untuk membendung pengaruh komunisme di Asia dan Pasifik pasca Perang Dunia ke-II mengharuskan mereka lebih berpihak kepada RI ketimbang kepada RMS. Jika saja sejak awal Amerika Serikat beserta sekutunya-Blok Barat berpihak dan mengakui kemerdekaan RMS, tentu ini adalah alamat buruk bagi keberlangsungan kepentingan Amerika Serikat beserta sekutunya-Blok Barat dalam membendung pengaruh komunisme di tanah air. Pasalnya RI akan berpaling untuk beraliansi dengan Uni Soviet beserta sekutunya-Blok Timur dalam menumpas RMS.
Pengaruh percaturan politik global saat itu, tidak menguntungkan dan tidak berpihak kepada RMS. Sebaliknya justru menguntungkan dan berpihak kepada RI. Hal ini tidak terlepas posisi tawar RI, dimana kala itu banyak pimpinannya berasal dari kiri sosialisme-komunisme, yang memiliki kekuatan melobi ke Uni Soviet beserta sekutunya-Blok Timur, jika sewaktu-waktu kepentingan RI tidak didukung Amerika beserta sekutunya-Blok Barat. Begitu juga, secara geopolitik RI berada di antara Asia Pasifik. Dimana merupakan basis dari kepentingan Amerika beserta sekutunya-Blok Barat. Sehingga perluasan pengaruh Amerika beserta sekutunya-Blok Barat kepada RI lebih strategis, guna membendung pengaruh komunisme di Asia Pasifik.
Keberpihakan Amerika terhadap RI, mulai nampak tatkala dilaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB). Hal ini sebagaimana dikemukakan Baskara T Wardaya (2008) dalam karyanya, “Indonesia Melawan  Amerika, Konflik Perang Dingin 1953-1963” bahwa, menjelang KMB suatu perubahan sikap pemerintahan Presiden Harry S Trumman (1884-1972) terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Meskipun dalam kebijakan-kebijakannya pada waktu sebelumnya pemerintahan Presiden Trumman cenderung berpihak kepada Belanda. Kini tampaknya mulai bersedia mendukung suatu penyelesaian langgeng, yang akan memuaskan rakyat Indonesia.
KMB yang dilaksanakan pada 23 Agustus-2 November 1949 akhirnya menyepakati serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada RIS, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Menindaklanjuti hasil KMB itu, pada 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet RIS.
Rupanya sejarah menghendaki lain, RIS yang dibentuk sembilan bulan sebelumnya akhirnya secara resmi lebur ke NKRI pada 17 Agustus 1950. Ditengah transformasi RIS ke NKRI itu, Soumokil menggunakan celah ini untuk memproklamirkan RMS. Atas sikap Soumokil itu, akhirnya RMS yang didirikannya ditumpas RI melalui TNI. Negara muda yang dimerdekakan Soumokil harus menerima kenyataan pahit menjadi failed state. Kehendak percaturan politik global, tatkala berkecamuknya Perang Dingin antara Amerika Serikat beserta sekutunya-Blok Barat, dan Uni Soviet beserta sekutunya-Blok Timur, tak pelak membuat RMS terhempas dalam pusaran Perang Dingin.(Pour 2008, Wikipedia 2010).(M.J.Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar