Rabu, 07 Maret 2012

Bukan Pendidikan Politik Yang Baik


Meskipun pelaksanaan Pemilukada Kota Ambon sudah berakir setahun yang lalu, namun masih menyisahkan masalah hingga saat ini. Masalah tersebut  yakni, menyangkut Muhammad Ramli Faud (MRF) salah satu figur bakal calon walikota, yang memperkarakan secara hukum sembilan pimpinan partai politik di Kepolisian Daerah (Polda) Maluku. Sembilan pimpinan partai politik tersebut pekan lalu telah ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Polda Maluku. Mereka diantaranya ; Samuel Ratumurun (PNBK), Edy Talahatu (PPD), Mustafa Kamal (PPNUI), Maur Karepesina (PKNU), Asrul bin Usman (Partai Patriot), Ricky J (Partai Buruh), Rasyid Wokanubun (Partai Pemuda), Mahmud Rumasukun (PKDI), dan La Ode Saimin (PIS).(Ameks, 28/02).
Penetapan sembilan pimpinan partai politik sebagai tersangka, sebenarnya dilatarbelakangi kasus dugaan penipuan yang dilakukan oleh sembilan pimpinan partai politik terhadap MRF, yang tatkala pentahapan Pemilukada Kota Ambon pada tahun 2011 lalu turut berproses, untuk memperoleh rekomendasi sebagai calon walikota pada sembilan partai politik tersebut. Setelah MRF mengucurkan ratusan juta rupiah sebagai persyaratan memperoleh rekomendasi calon walikota dari sembilan partai politik itu, justeru rekomendasi partai politik tidak kunjung diperoleh MRF,  namun rekomendasi partai politik itu diberikan kepada figur bakal calon walikota lainnya.   
Pembelokan rekomendasi partai politik kepada figur bakal calon walikota lainnya dalam  Pemilukada Kota Ambon di tahun 2011 lalu, membuat MRF meradang dan akhirnya memproses secara hukum sembilan pimpinan partai politik itu di Polda Maluku. Penetapan sembilan pimpinan partai politik tersebut, setelah satu tahun proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan pihak Polda Maluku. Tentu kita perlu memberikan apresiasi yang positif kepada pihak Polda Maluku dalam upaya proses penegakkan hukum terhadap kasus dugaan penipuan yang dilakukan sembilan pimpinan partai politik pada MRF selaku bakal calon walikota.
Ditetapkannya sembilan pimpinan partai politik sebagai tersangka, merupakan preseden buruk bagi citra partai politik di mata rakyat di Maluku. Bahkan kasus dugaan penipuan yang dilakukan oleh sembilan pimpinan partai politik tersebut, tentu bukan merupakan bentuk pendidikan politik yang baik kepada rakyat. Sudah semestinya partai politik yang merupakan institusi politik modern, yang menjebatani kepentingan rakyat dan negara, mampu memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat melalui perilaku politik yang bersih, dan terhindar dari praktek penipuan yang dilakukan terhadap figur yang ikut dalam proses pencalonan walikota.
Kasus ini menunjukan gagalnya partai politik dalam merealisasikan fungsi pendidikan politik (political education), dan fungsi mengusulkan calon (proposing candidates) di lingkungan internal partai politik maupun di lingkungan eksternal partai politik. Karena itu, jika partai politik sejak awal benar-benar mampu mengimplementasikan fungsi pendidikan politik (political education), dan fungsi mengusulkan calon (proposing candidates) di lingkungan internal partai politik serta di lingkungan eksternal partai politik secara baik, tentu kasus dugaan penipuan terhadap figur bakal calon walikota tidak akan terjadi.
Terjerumusnya sembilan pimpinan partai politik dalam kasus dugaan penipuan terhadap MRF semakin menambah daftar panjang kasus serupa yang pernah menyeruak pada berbagai Pemilukada di level provinsi dan kabupaten/kota di Maluku. Hal ini juga menandakan masih lemahnya pengelolaan partai politik sebagai institusi politik modern, yang merupakan  salah satu penopang demokrasi di tingkat lokal di Maluku. Lemahnya pengelolaan partai politik sebagai institusi politik modern mencakup gagalnya akuntabilitas partai politik kepada rakyat tentang perilaku politik yang baik ditengah-tengah rakyat, dan gagalnya akuntabilitas partai politik kepada rakyat dalam melakukan proses rekrutmen politik.
Fenomena ini tentu sangat anomali dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ichlasul Amal (1998) dalam karyanya “Teori-Teori Mutakhir Partai Politik”, bahwa partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis. Sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisai rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah (legitimate) dan damai.
Dengan ditetapkannya sembilan pimpinan partai politik sebagai tersangka dalam kasus dugaan penipuan terhadap MRF tersebut, bisa menjadi efek jerah bagi para pimpinan partai politik di level provinsi dan kabupaten/kota di Maluku, untuk berperilaku lebih baik lagi dalam melakukan proses rekrutmen politik terhadap para figur bakal calon kepala daerah dalam perhelatan Pemilukada. Sehingga bisa menghidari praktek penipuan terhadap para figur bakal calon kepala daerah, yang tengah berproses di partai politik untuk memperoleh rekomendasi sebagai tiket agar dapat berkontestasi dalam Pemilukada.
Untuk itu, para figur calon kepala daerah yang akan bertarung dalam Pemilukada di level provinsi, dan kabupaten/kota di Maluku sebenarnya patut mencontohi langkah hukum yang ditempuh oleh MRF di Polda Maluku terhadap sembilan pimpinan partai politik, yang diduga melakukan kasus penipuan tersebut. Hal ini dilakukan jika dalam proses penjaringan bakal calon kepala daerah, para figur bakal calon kepala  daerah didera kasus dugaan penipuan oleh pimpinan partai politik, dimana mereka telah merogo kocek ratusan hingga milyaran rupiah kepada pimpinan partai politik. Namun mereka tidak kunjung memperoleh rekomendasi dari partai politik sebagai tiket untuk berlaga dalam Pemilukada.
Paling tidak upaya hukum yang ditempuh para bakal calon kepala daerah, akan membuat kapok para pimpinan partai politik yang suka “memeras duit” para figur bakal calon kepala daerah, tanpa memberikan rekomendasi kepada mereka saat berlangsungnya Pemilukada. Sisi positif dari langkah hukum yang ditempuh tersebut, akan mampu mengerem para pimpinan partai politik untuk tidak mengulangi perbuatan melanggar hukum, dengan melakukan penipuan terhadap bakal calon kepala daerah. Sehingga jargon “mumpung lima tahun sekali Pemilukada digelar kita panen duit, kapan lagi kita punya kesempatan untuk panen duit,” tidak lagi akan kita dengar dari para pimpinan partai politik, yang sering “memeras duit” para figur bakal calon kepala daerah tatkala dihelatnya Pemilukada.(M.J.Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar