Laut memiliki posisi strategis bagi suatu negara, yang
secara geografis memiliki teritorial mencakup laut. Hal ini bisa dilihat dari
aspek sumber daya alam, transportasi, telekomunikasi, dan aspek pertahanan
maupun keamanan yang dimiliki laut. Dari posisi strategis yang dimiliki laut
tersebut, membuat berbagai negara di level dunia yang memiliki teritori
meliputi laut, mengeluarkan milyaran sampai dengan triliunan anggaran dari kas
negara, untuk memproduksi dan membeli peralatan militer serta menambah personil
militer, guna memperkuat pertahanan negara di laut dari ancaman, dan gangguan
yang biasanya datang dari negara-negara tetangga maupun dari negara-negara
sahabat.
Bagi negara-negara yang memiliki teritorial meliputi laut
dengan potensi sumber daya alam, menjadi jalur transportasi, menjadi jalur
telekomunikasi, dan dari geo politik strategis dari aspek pertahanan dan
keamanan, tentu tidak selamanya akan selalu membawa berkah, dan kedamaian bagi
negara-negara tersebut. Pasalnya teritorial laut yang strategis tersebut,
selalu menjadi penyebab sengketa yang panjang, dan sengit dilevel hubungan
diplomatik antar negara, yang rata-rata jika tidak diselesaikan melalui jalan diplomasi,
sering berujung dengan insiden letupan senjata antar angkatan bersenjata pada
laut yang disengketakan.
Kasus ini bisa dilihat, tatkala pada Maret 1982 Argentina
menyerang dan menguasai Falkland (Malvinas), suatu gugus kepulauan koloni
Inggris di wilayah Atlantik Selatan. Sebelumnya upaya diplomasi yang dilakukan
Argentina, dan Inggris di tingkat PBB gagal, karena Argentina menolak penarikan
pasukannya dari Falkland. Kebuntuan itu-pun dijawab Inggris dengan menggelar
Operation Corporate guna bertempur melawan Argentina. Pertempuran yang
populer dengan perang Malvinas ini berlangsung selama sepuluh pekan, akhirnya
Inggris sukses menguasai kembali Falkland, dengan menawan 9.800 tentara
Argentina, dan menewaskan 700 prajurit Argentina. Namun penguasaan Falkland
harus dibayar mahal Inggris dengan kehilangan 236 prajurit, 75 persen kapal
perang Inggris tenggelam, dan rusak dihantam rudal Exocet Argentina buatan
Perancis. (Angkasa, 2007).
Konflik teritorial yang klimaksnya membenturkan angkatan
bersenjata Inggris, dan Argentina dalam perang Malvinas di Kepulaun Falkland,
yang berlangsung selama sepuluh pekan pada Maret 1982 tersebut, semakin
membenarkan pendapat yang dikemukakan Carl von Clausewitz (1780-1831), salah
seorang pakar strategi militer berkebangsaan Jerman bahwa, perang adalah
tindakan kekerasan untuk memaksa musuh tunduk kepada kehendak kita. Kekerasan
dalam perang dilakukan dengan penggunaan senjata. Sedangkan kehendak merupakan
kepentingan politik negara yang berkaitan dengan keamanan dan ekonomi.
Meskipun sudah 30 tahun perang Malvinas berlalu, tapi
sampai saat ini Argentina masih bersengketa dengan Inggris terkait
kepemilikan Falkland. Sejak tahun 2010 lalu Inggris terus melakukan
eksplorasi minyak di lepas pantai Falkland. Area eksplorasi minyak di lepas
pantai Falkland kabarnya lebih besar dibandingkan dengan luas Laut Utara, yang
secara geografis berdekatan dengan Inggris. Upaya ini membuat hubungan
diplomatik kedua negara memanas. Menghadapi sengketa ini, Presiden Argentina
Cristina Fernandez de Kirchner pun menggalang dukungan dari negara-negara
Amerika Selatan. Sementara Perdana Menteri Inggris David Cameron tetap kukuh
bahwa Falkland adalah milik Inggris, dan tidak akan ada perundingan lagi antara
kedua negara menyangkut Falkland. (Tempo, 27/2-4/3/2012).
Ekses kebuntuan perundingan antar negara, yang kemudian
dijawab dengan pengerahan kekuatan militer, untuk penguasaan teritorial laut,
dikarenakan klaim atas teritori laut, yang sifanya unilateral yang saling
berdekatan dengan negara-negara tetangga, maupun berdekatan dengan
negara-negara sahabat. Dalam perspektif ini, klaim teritorial laut tersebut,
bukan lagi dilandasi oleh hubungan diplomatik antara sesama negara, yang lebih
menitikberatkan pada pandangan neo realis semata, bahwa demi eksistensi
keberadaan suatu negara, maka ekspansi yang dilakukan suatu negara melalui
klaim atas teritorial laut milik negara lain, baik dilakukan dengan cara diluar
perang, maupun dilakukan dengan cara perang, adalah sesuatu yang realistis,
meskipun opsi ini merupakan suatu pelanggaran atas kedaulatan suatu negara.
Namun sebenarnya opsi yang ditempuh negara-negara, yang
ekspansionis tersebut, lebih dipengaruhi oleh doktrin kuno, yang lahir dari
pemikiran Hugo de Groot (Hugo Grotius), seorang berkebangsaan Belanda pada
tahun 1609, tentang Mare Liberum yang merupakan suatu doktrin, yang dianut
dalam kurun waktu 400 tahun, dimana telah menjadikan laut bersifat akses
terbuka (open acces). Bagi
negara-negara yang masih mengusung doktrin klasik ini dalam pergaulan
internasional, terkadang bertindak semena-mena, dengan melanggar kedaulatan
suatu negara, untuk kemudian menganeksasi laut secara sepihak, yang didalamnya
terkandung potensi sumber daya alam, jalur transportasi, jalur telekomunikasi,
maupun dari goepolitik strategis dari aspek pertahanan dan keamanan.(Gatra,
1/1/2006).
Kasus ini sedang menimpa negara kita Indonesia, misalnya
perairan dikawasan Ambalat (Kalut), perairan dikawasan Pulau Miangas (Sulut)
dan perairan dikawasan Pulau Pasir (NTT), adalah teritorial Indonesia, yang
sering diklaim Malaysia, Filipina, dan Australia. Tentu klaim itu,
didasari oleh kekayaan minyak dan gas yang terkandung di perairan Ambalat.
Sementara perairan Pulau Miangas (Las Palmas), dan perairan Pulau Pasir
(Ashmore Reef), selain kaya akan potensi kelautan juga strategis dari aspek
pertahanan dan keamanan, karena merupakan kawasan perbatasan, yang sangat dekat
dengan perairan-perairan di sekitar pulau-pulau yang merupakan wilayah terluar
dari teritorial Indonesia.
Klaim teritorial laut tersebut, bukan hanya dilakukan
oleh ketiga negara ini dengan Indonesia. Namun kasus serupa juga tengah terjadi
menimpa negara-negara tetangga dan negara-negara sahabat yakni ; Taiwan,
Malaysia, Brunai Darussalam, Vietnam, dan Filipina yang selalu berkonflik
dengan Cina menyangkut status kepemilikan Laut Cina Selatan. Pasalnya meskipun
kawasan laut Cina Selatan yang tidak berpenduduk, dengan luas 1,7 juta
kilometer persegi dan berisi sekitar 200 pulau yang terdiri dari pulau batu,
dan karang kaya akan potensi sumber daya laut serta minyak dan gas alam.
Disamping itu, kawasan ini juga sangat ramai karena
merupakan jalur terpendek yang menghubungkan Samudera Pasifik dengan Samudera
Hindia. Dimana lebih dari separuh lalu lintas tanker minyak dunia melewati
kawasan Laut Cina Selatan, termasuk kapal pembawa minyak mentah dari kawasan
Teluk ke Asia Timur. Kawasan laut Cina Selatan akhir-akhir ini selalu mengalami
ketegangan, pasalnya Cina mendeklerasikan perluasan batas wilayah lautnya
hingga ratusan mil dari pantai, yang menurut hukum internasional, sudah masuk
kawasan internasional. (Tempo,13-19/6/2011).
Guna mensupport penguasaan Laut Cina Selatan dari konflik
kepemilikan antara Cina dengan Taiwan, Malaysia, Brunai Darussalam, Vietnam,
dan Filipina tersebut, Cina-pun membangun angkatan laut-nya, yang mencakup ;
250 ribu personil angkatan laut, 760 unit battleship, 1.822 unit kapal
pengangkut, 66 unit kapal selam, 27 unit destroyer, 52 unit frigat, 121 unit
amfibi dan 368 unit beach patrol callous. Pembangunan angkatan laut Cina
tersebut, diikuti pula dengan peluncuran kapal induk pertama Cina Shi Lang, dan
peluncuran pesawat siluman pertama Cina Chendu J-20, serta diperkuat dengan
pengadaan peluruh kendali balistik anti kapal induk Dong Feng DF-21D.(Tempo,23-29/1/2012).
Terlepas dari itu, demi keberlangsungan penguasaan
teritorial laut dari suatu negara bisa berkesinambungan dari waktu ke waktu,
tentu kita perlu menyimak kembali doktrin penguasaan laut, yang lahir dari
pemikiran J. Seldon seorang berkebangsaan Inggris pada tahun 1636, dengan
konsep Mare Clausum bahwa, laut tertutup dimana suatu negara dapat menguasai
laut, yang berada pada teritorialnya. Sementara itu, kita perlu juga menyimak
doktrin pengelolaan laut, yang lahir dari pemikiran Russ dan Zeller (2003),
dengan konsep Mare Reservarum bahwa, laut dikelolah dimana suatu negara dapat
mengelola laut, yang berada pada teritorialnya.
Akhirnya agar teritorial laut suatu negara jangan diklaim
secara sepihak oleh negara-negara tetangga maupun negara-negara sahabat, maka
penguasaan laut dan pengelolaan laut harus benar-benar serius dilakukan oleh
suatu negara. Penguasaan laut dan pengelolaan laut bisa dilakukan dengan
eksploitasi potensi sumber daya alam yang terkandung di laut, menempatkan
penduduk dan pembentukan inprastruktur pemerintahan pada pulau-pulau disekitar
laut, yang rawan disengketakan, serta ditindaklanjuti dengan menghadirkan
angkatan bersenjata, guna mensupport tiga aktifitas tersebut. Sehingga
penguasaan laut dan pengelolaan laut, akan dapat menjamin keberlangsungan
kepemilikan suatu negara atas teritori laut, yang merupakan
kedaulatan dari suatu negara.(M.J.Latuconsina).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar