Jumat, 30 Maret 2012

Mare Liberum

Laut memiliki posisi strategis bagi suatu negara, yang secara geografis memiliki teritorial mencakup laut. Hal ini bisa dilihat dari aspek sumber daya alam, transportasi, telekomunikasi, dan aspek pertahanan maupun keamanan yang dimiliki laut. Dari posisi strategis yang dimiliki laut tersebut, membuat berbagai negara di level dunia yang memiliki teritori meliputi laut, mengeluarkan milyaran sampai dengan triliunan anggaran dari kas negara, untuk memproduksi dan membeli peralatan militer serta menambah personil militer, guna memperkuat pertahanan negara di laut dari ancaman, dan gangguan yang biasanya datang dari negara-negara tetangga maupun dari negara-negara sahabat.  
Bagi negara-negara yang memiliki teritorial meliputi laut dengan potensi sumber daya alam, menjadi jalur transportasi, menjadi jalur telekomunikasi, dan dari geo politik strategis dari aspek pertahanan dan keamanan, tentu tidak selamanya akan selalu membawa berkah, dan kedamaian bagi negara-negara tersebut. Pasalnya teritorial laut yang strategis tersebut, selalu menjadi penyebab sengketa yang panjang, dan sengit dilevel hubungan diplomatik antar negara, yang rata-rata jika tidak diselesaikan melalui jalan diplomasi, sering berujung dengan insiden letupan senjata antar angkatan bersenjata pada laut yang disengketakan.
Kasus ini bisa dilihat, tatkala pada Maret 1982 Argentina menyerang dan menguasai Falkland (Malvinas), suatu gugus kepulauan koloni Inggris di wilayah Atlantik Selatan. Sebelumnya upaya diplomasi yang dilakukan Argentina, dan Inggris di tingkat PBB gagal, karena Argentina menolak penarikan pasukannya dari Falkland. Kebuntuan itu-pun dijawab Inggris dengan menggelar Operation Corporate guna bertempur melawan Argentina.  Pertempuran yang populer dengan perang Malvinas ini berlangsung selama sepuluh pekan, akhirnya Inggris sukses menguasai kembali Falkland, dengan menawan 9.800 tentara Argentina, dan menewaskan 700 prajurit Argentina. Namun penguasaan Falkland harus dibayar mahal Inggris dengan kehilangan 236 prajurit, 75 persen kapal perang Inggris tenggelam, dan rusak dihantam rudal Exocet Argentina buatan Perancis. (Angkasa, 2007).
Konflik teritorial yang klimaksnya membenturkan angkatan bersenjata Inggris, dan Argentina dalam perang Malvinas di Kepulaun Falkland, yang berlangsung selama sepuluh pekan pada Maret 1982 tersebut, semakin membenarkan pendapat yang dikemukakan Carl von Clausewitz (1780-1831), salah seorang pakar strategi militer berkebangsaan Jerman bahwa, perang adalah tindakan kekerasan untuk memaksa musuh tunduk kepada kehendak kita. Kekerasan dalam perang dilakukan dengan penggunaan senjata. Sedangkan kehendak merupakan kepentingan politik negara yang berkaitan dengan keamanan dan ekonomi.
Meskipun sudah 30 tahun perang Malvinas berlalu, tapi sampai saat ini Argentina masih bersengketa dengan Inggris terkait kepemilikan  Falkland. Sejak tahun 2010 lalu Inggris terus melakukan eksplorasi minyak di lepas pantai Falkland. Area eksplorasi minyak di lepas pantai Falkland kabarnya lebih besar dibandingkan dengan luas Laut Utara, yang secara geografis berdekatan dengan Inggris. Upaya ini membuat hubungan diplomatik kedua negara memanas. Menghadapi sengketa ini, Presiden Argentina Cristina Fernandez de Kirchner pun menggalang dukungan dari negara-negara Amerika Selatan. Sementara Perdana Menteri Inggris David Cameron tetap kukuh bahwa Falkland adalah milik Inggris, dan tidak akan ada perundingan lagi antara kedua negara menyangkut Falkland. (Tempo, 27/2-4/3/2012).
Ekses kebuntuan perundingan antar negara, yang kemudian dijawab dengan pengerahan kekuatan militer, untuk penguasaan teritorial laut, dikarenakan klaim atas teritori laut, yang sifanya unilateral yang saling berdekatan dengan negara-negara tetangga, maupun berdekatan dengan negara-negara sahabat. Dalam perspektif ini, klaim teritorial laut tersebut, bukan lagi dilandasi oleh hubungan diplomatik antara sesama negara, yang lebih menitikberatkan pada pandangan neo realis semata, bahwa demi eksistensi keberadaan suatu negara, maka ekspansi yang dilakukan suatu negara melalui klaim atas teritorial laut milik negara lain, baik dilakukan dengan cara diluar perang, maupun dilakukan dengan cara perang, adalah sesuatu yang realistis, meskipun opsi ini merupakan suatu pelanggaran atas kedaulatan suatu negara.
Namun sebenarnya opsi yang ditempuh negara-negara, yang ekspansionis tersebut, lebih dipengaruhi oleh doktrin kuno, yang lahir dari pemikiran Hugo de Groot (Hugo Grotius), seorang berkebangsaan Belanda pada tahun 1609, tentang Mare Liberum yang merupakan suatu doktrin, yang dianut dalam kurun waktu 400 tahun, dimana telah menjadikan laut bersifat akses terbuka (open acces). Bagi negara-negara yang masih mengusung doktrin klasik ini dalam pergaulan internasional, terkadang bertindak semena-mena, dengan melanggar kedaulatan suatu negara, untuk kemudian menganeksasi laut secara sepihak, yang didalamnya terkandung potensi sumber daya alam, jalur transportasi, jalur telekomunikasi, maupun dari goepolitik strategis dari aspek pertahanan dan keamanan.(Gatra, 1/1/2006).
Kasus ini sedang menimpa negara kita Indonesia, misalnya perairan dikawasan Ambalat (Kalut), perairan dikawasan Pulau Miangas (Sulut) dan perairan dikawasan Pulau Pasir (NTT), adalah teritorial Indonesia, yang sering diklaim  Malaysia, Filipina, dan Australia. Tentu klaim itu, didasari oleh kekayaan minyak dan gas yang terkandung di perairan Ambalat. Sementara perairan Pulau Miangas (Las Palmas), dan perairan Pulau Pasir (Ashmore Reef), selain kaya akan potensi kelautan juga strategis dari aspek pertahanan dan keamanan, karena merupakan kawasan perbatasan, yang sangat dekat dengan perairan-perairan di sekitar pulau-pulau yang merupakan wilayah terluar dari teritorial Indonesia.
Klaim  teritorial laut tersebut, bukan hanya dilakukan oleh ketiga negara ini dengan Indonesia. Namun kasus serupa juga tengah terjadi menimpa negara-negara tetangga dan negara-negara sahabat yakni ; Taiwan, Malaysia, Brunai Darussalam, Vietnam, dan Filipina yang selalu berkonflik dengan Cina menyangkut status kepemilikan Laut Cina Selatan. Pasalnya meskipun kawasan laut Cina Selatan yang tidak berpenduduk, dengan luas 1,7 juta kilometer persegi dan berisi sekitar 200 pulau yang terdiri dari pulau batu, dan karang kaya akan potensi sumber daya laut serta minyak dan gas alam.
Disamping itu, kawasan ini juga sangat ramai karena merupakan jalur terpendek yang menghubungkan Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia. Dimana lebih dari separuh lalu lintas tanker minyak dunia melewati kawasan Laut Cina Selatan, termasuk kapal pembawa minyak mentah dari kawasan Teluk ke Asia Timur. Kawasan laut Cina Selatan akhir-akhir ini selalu mengalami ketegangan, pasalnya Cina mendeklerasikan perluasan batas wilayah lautnya hingga ratusan mil dari pantai, yang menurut hukum internasional, sudah masuk kawasan internasional. (Tempo,13-19/6/2011).
Guna mensupport penguasaan Laut Cina Selatan dari konflik kepemilikan antara Cina dengan Taiwan, Malaysia, Brunai Darussalam, Vietnam, dan Filipina tersebut, Cina-pun membangun angkatan laut-nya, yang mencakup ; 250 ribu personil angkatan laut, 760 unit battleship, 1.822 unit kapal pengangkut, 66 unit kapal selam, 27 unit destroyer, 52 unit frigat, 121 unit amfibi dan 368 unit beach patrol callous. Pembangunan angkatan laut Cina tersebut, diikuti pula dengan peluncuran kapal induk pertama Cina Shi Lang, dan peluncuran pesawat siluman pertama Cina Chendu J-20, serta diperkuat dengan pengadaan peluruh kendali balistik anti kapal induk Dong Feng DF-21D.(Tempo,23-29/1/2012).
Terlepas dari itu, demi keberlangsungan penguasaan teritorial laut dari suatu negara bisa berkesinambungan dari waktu ke waktu, tentu kita perlu menyimak kembali doktrin penguasaan laut, yang lahir dari pemikiran J. Seldon seorang berkebangsaan Inggris pada tahun 1636, dengan konsep Mare Clausum bahwa, laut tertutup dimana suatu negara dapat menguasai laut, yang berada pada teritorialnya. Sementara itu, kita perlu juga menyimak doktrin pengelolaan laut, yang lahir dari pemikiran Russ dan Zeller (2003), dengan konsep Mare Reservarum bahwa, laut dikelolah dimana suatu negara dapat mengelola laut, yang berada pada teritorialnya.
Akhirnya agar teritorial laut suatu negara jangan diklaim secara sepihak oleh negara-negara tetangga maupun negara-negara sahabat, maka penguasaan laut dan pengelolaan laut harus benar-benar serius dilakukan oleh suatu negara. Penguasaan laut dan pengelolaan laut bisa dilakukan dengan eksploitasi potensi sumber daya alam yang terkandung di laut, menempatkan penduduk dan pembentukan inprastruktur pemerintahan pada pulau-pulau disekitar laut, yang rawan disengketakan, serta ditindaklanjuti dengan menghadirkan angkatan bersenjata, guna mensupport tiga aktifitas tersebut. Sehingga penguasaan laut dan pengelolaan laut, akan dapat menjamin keberlangsungan kepemilikan suatu  negara atas teritori laut,  yang merupakan kedaulatan dari suatu negara.(M.J.Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar