Minggu, 18 Juni 2017

Para Rezim Predator

Kurang lebih enam belas tahun kita telah melewati era pemerintahan Orde Baru, suatu era yang di warnai dengan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Era pemerintahan Orde Baru yang di warnai dengan praktek KKN tersebut, sebenarnya tidak terlepas dari ciri khas pemerintahan yang monopolistik, oligarkis, dan aristokratis, yang semuanya terpusat pada Suharto selaku Presiden kala itu. Sehingga sama-sama bersinergi untuk hal-hal yang negativ, dimana hanya merugikan pertumbuhan demokrasi kita. Konsekuensinya berdampak terhadap malapetaka bagi kita, dengan semakin kokohnya pemerintahan rezim Orde Baru sebagai rezim predator.
Sebagai rezim predator, rezim pemerintahan Orde Baru kemudian mengeruk kekayaan minyak dan gas (migas) yang dimiliki oleh Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Papua untuk di nikmati bersama kroni-kroninya. Padahal kekayaan migas yang dimiliki oleh daerah-daerah tersebut, mestinya di kelolah untuk kesejahteraan rakyat, tapi justru sebaliknya di kelolah untuk kepentingan pemerintahan rezim Orde Baru bersama kroni-kroninya. Kondisi ini pun melahirkan kecumburuan dari daerah-daerah penghasil migas, yang ditandai dengan kuatnya semangat perlawanan daerah-daerh itu terhadap pemerintahan rezim Orde Baru, yang berpusat di Jakarta.
Semangat perlawanan itu, di lakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berpusat di Aceh, dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang berpusat di Papua. Rupanya ketidakpuasan itu, tidak dijawab pemerintahan rezim Orde Baru dengan kebijakan untuk mensejahterahkan rakyat di daerah-daerah ini, namun dijawab dengan operasi militer. Ternyata operasi militer yang dilakukan pemerintahan rezim Orde Baru, bukan suatu solusi yang baik bagi penyelesaian konflik untuk daerah-daerah yang kaya akan migas itu, namun justru perlawanan daerah-daerah ini tidak berhenti.
Perlawanan daerah-daerah terhadap pemerintahan rezim Orde Baru, sebenarnya merupakan pengulangan dari kisah yang sama, yang pernah di alami pemerintahan rezim Orde Lama terhadap daerah-daerah yang kaya akan migas. Dengan kondisi ini, tentu pupus harapan rakyat, pasalnya kelahiran pemerintahan rezim Orde Baru yang disebut sebagai suatu bentuk koreksi terhadap pemerintahan rezim Orde Lama, dengan pencarian lima bentuk ketertiban sebagaimana dikemukakan Herbert Feith (1968) dalam karyanya yang berjudul “Soeharto’s Search for a Political Format, Indonesia” yakni ; political order, social order, economi order, legal order, dan security order ternyata dalam perjalanannya tidak terimplementasi, untuk membawa perubahan yang baik bagi pertumbuhan demokrasi kita.
Pemerintahan rezim Orde Baru kemudian mengalami transformasi ke pemerintahan rezim Orde Reformasi akibat prahara politik nasional, yang berawal dari krisis ekonomi nasional di tahun 1998. Dari transformasi pemerintahan itu terbersit optimisme rakyat bahwa, mereka akan beralih kepada suatu era, dimana mereka akan terbebas dari praktek KKN, yang sinergis dengan praktek pemerintahan yang monopolistik, oligarkis, dan aristokratis. Sayangnya dalam perjalanan pemerintahan era Orde Reformasi terseok-seok untuk meningkatkan pertumbuhan demokrasi kita, yang lebih baik lagi. Hal ini semakin menguatirkan, karena kita terancam gagal menjadi salah satu negara, yang sukses melakukan transisi demokrasi.
Salah satu hal yang menunjukan kita terancam gagal menjadi salah satu negara, yang berhasil melakukan transisi demokrasi, bisa kita simak di tingkat lokal. Dimana sejak di berlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah (Otoda) Nomor 22 Tahun 1999 di tahun 2000, dan kemudian di revisi menjadi Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda) Nomor 32 Tahun 2004, yang di berlakukan di tahun 2005, sebagai pijakan pelaksanaan otonomi daerah, bukannya melahirkan praktek pemerintahan yang demokratis di daerah, namun sebaliknya melahirkan praktek pemerintahan yang penuh dengan KKN, dan sinergis dengan praktek kekuasaan yang monopolistik, oligarkis, dan aristokratis.  
Bahkan naifnya lagi era pemerintahan Orde Reformasi hanya melahirkan para rezim predator di level lokal. Salah satunya bisa di simak di Provinsi Banten yakni, Ratu Atut Chosiyah yang kini tengah menduduki jabatan Gubernur Provinsi Banten. Dimana ibu tiri Atut Heryani Wakil Bupati Pandeglang, adik tiri Atut Tubagus Chaerul Jaman Walikota Serang, adik kandung Atut Ratu Tatu Chasanah Wakil Bupati Serang, adik ipar Atut Airin Rachmi Diany Walikota Tanggerang Selatan, suami Atut Hikmat Tomet Anggota Komisi V DPR, anak pertama Atut Andhika Hazrumy anggota DPD, dan istri Andhika Ade Rosi Khoirunnisa Wakil Ketua DPRD Kota Serang.
Fenomena serupa juga bisa di lihat Provinsi Sulawesi Selatan yakni, Syahrul Yasin Limpo yang kini tengah menduduki jabatan Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan. Dimana kakak Syahrul Tenri Olle Yasin Limpo anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, adik Syahrul Haris Yasin Limpo anggota DPRD Kota Makassar, adik Syahrul Ichsan Yasin Limpo Bupati Gowa, dan adik bungsu Syahrul Irman Yasin Limpo Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan. Diluar itu, ada juga rezim predator yang mulai mekar di tingkat lokal, yakni kakak beradik Qurais Abidin dan Abdul Rahman Abidin yang baru pada Agustus lalu dilantik, sebagai Walikota dan Wakil Walikota Bima periode 2013-2018.
Dari sekian rezim predator yang ada di tingkat lokal, yang paling menunjukan eksistensinya di ranah publik yakni, rezim Atut Gubernur Provinsi Banten. Hal ini dikarenakan rezim Atut sangat di warnai dengan praktek pemerintahan yang penuh dengan KKN, dan sinergis dengan praktek pemerintahan yang monopolistik, oligarkis, dan aristokratis. Dimana berkolusi untuk hal-hal yang negativ. Hal ini bisa di lihat dari pengendalian ranah politik, birokrasi, dan ekonomi di Provinsi Banten oleh rezim Atut demi keuntungan yang di dapatkan, dan mengesampingkan partisipasi dari aktor-aktor lain.
Atas praktek rezim predator yang marak di tingkat lokal tersebut, tidak salah jika Peter B. Evans (1989) yang di kutip pemikirannya oleh Francis Fukuyama (2005) dalam karyanya yang berjudul “Memperkuat Negara, Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21” menyebutnya sebagai perilaku predator, dimana sebagian besar di curi oleh individu. Individu yang dimaksudkan  tersebut, tentu tidak lain adalah rezim di tingkat lokal, yang hanya menumpuk kekayaan pribadi, sementara pembangunan di wilayahnya tidak mengalami kemajuan yang pesat, dimana hanya menyisahkan kemiskinan bagi rakyatnya sendiri.
Tumbuh suburnya rezim predator di daerah, sebanarnya tidak terlepas dari budaya politik patrimonial, yang telah mengakar dalam budaya politik kita. Sehingga meskipun terjadi transformasi pemerintahan dari rezim Orde Baru ke pemerintahan rezim Orde Reformasi, budaya politik ini mengalami penyesuaian bentuknya. Dalam budaya politik patrimonial lebih mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, yang merujuk pada prestasi. Budaya politik ini, telah mengalami evolusi menjadi budaya politik neopatrimonial. Dimana di dalamnya terdapat unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru.
Hal ini yang membedakannya, dimana dulunya model pewarisan kepemimpinan dalam pemerintahan di tunjuk langsung oleh pimpinan pemerintahan yang hendak turun tahtanya, namun sekarang mengalami proses evolusi melalui jalur politik yang prosedural. Dimana salah satunya melalui pemilukada langsung. Sehingga anak atau keluarga para elite di daerah masuk institusi yang telah disiapkan, yaitu melalui partai politik. Oleh karena itu, model patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural formal yang mengikutsertakan partisipasi para elite, yang mendapat dukungan dari rakyat.
Salah satu solusi yang baik, untuk menghilangkan praktek rezim predator di tingkat lokal, yang selalu di warnai dengan praktek KKN, dan selalu juga sinergis dengan praktek pemerintahan yang monopolistik, oligarkis, dan aristokratis, yakni melalui regulasi. Hal ini dikarenakan melalui regulasi akan mampu mengerem keinginan dari para aktor-aktor politik di level lokal, guna mengakumulasi pemerintahan mereka menjadi rezim predator, yang hanya merugikan rakyat, dan mengabaikan kesejahteraan rakyat.

Untuk solusi di maksud, Komisi II DPR RI yang kini tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah mengusulkan pasal-pasal yang membatasi praktek rezim predator di tingkat lokal. Dimana dalam draf RUU Pilkada pada Pasal 12 huruf (p) disebutkan bahwa calon gubernur tidak boleh memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu tahun. Sementara itu, dalam Pasal 70 huruf (p) disebutkan bahwa, calon bupati tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan kesamping dengan gubernur dan bupati/walikota, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.(Dwipayana, Kompas, Tribun News, Politik Indonesia, 2013).(M.J.Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar