Kurang
lebih enam belas tahun kita telah melewati era pemerintahan Orde Baru, suatu
era yang di warnai dengan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Era
pemerintahan Orde Baru yang di warnai dengan praktek KKN tersebut, sebenarnya
tidak terlepas dari ciri khas pemerintahan yang monopolistik, oligarkis, dan
aristokratis, yang semuanya terpusat pada Suharto selaku Presiden kala itu.
Sehingga sama-sama bersinergi untuk hal-hal yang negativ, dimana hanya
merugikan pertumbuhan demokrasi kita. Konsekuensinya berdampak terhadap
malapetaka bagi kita, dengan semakin kokohnya pemerintahan rezim Orde Baru
sebagai rezim predator.
Sebagai
rezim predator, rezim pemerintahan Orde Baru kemudian mengeruk kekayaan minyak
dan gas (migas) yang dimiliki oleh Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan
Papua untuk di nikmati bersama kroni-kroninya. Padahal kekayaan migas yang
dimiliki oleh daerah-daerah tersebut, mestinya di kelolah untuk kesejahteraan
rakyat, tapi justru sebaliknya di kelolah untuk kepentingan pemerintahan rezim
Orde Baru bersama kroni-kroninya. Kondisi ini pun melahirkan kecumburuan dari
daerah-daerah penghasil migas, yang ditandai dengan kuatnya semangat perlawanan
daerah-daerh itu terhadap pemerintahan rezim Orde Baru, yang berpusat di
Jakarta.
Semangat
perlawanan itu, di lakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berpusat di
Aceh, dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang berpusat di Papua. Rupanya
ketidakpuasan itu, tidak dijawab pemerintahan rezim Orde Baru dengan kebijakan
untuk mensejahterahkan rakyat di daerah-daerah ini, namun dijawab dengan
operasi militer. Ternyata operasi militer yang dilakukan pemerintahan rezim
Orde Baru, bukan suatu solusi yang baik bagi penyelesaian konflik untuk
daerah-daerah yang kaya akan migas itu, namun justru perlawanan daerah-daerah
ini tidak berhenti.
Perlawanan
daerah-daerah terhadap pemerintahan rezim Orde Baru, sebenarnya merupakan
pengulangan dari kisah yang sama, yang pernah di alami pemerintahan rezim Orde
Lama terhadap daerah-daerah yang kaya akan migas. Dengan kondisi ini, tentu
pupus harapan rakyat, pasalnya kelahiran pemerintahan rezim Orde Baru yang
disebut sebagai suatu bentuk koreksi terhadap pemerintahan rezim Orde Lama,
dengan pencarian lima bentuk ketertiban sebagaimana dikemukakan Herbert Feith
(1968) dalam karyanya yang berjudul “Soeharto’s Search for a Political Format,
Indonesia” yakni ; political order, social order, economi order, legal order,
dan security order ternyata dalam perjalanannya tidak terimplementasi, untuk
membawa perubahan yang baik bagi pertumbuhan demokrasi kita.
Pemerintahan
rezim Orde Baru kemudian mengalami transformasi ke pemerintahan rezim Orde
Reformasi akibat prahara politik nasional, yang berawal dari krisis ekonomi
nasional di tahun 1998. Dari transformasi pemerintahan itu terbersit optimisme
rakyat bahwa, mereka akan beralih kepada suatu era, dimana mereka akan terbebas
dari praktek KKN, yang sinergis dengan praktek pemerintahan yang monopolistik,
oligarkis, dan aristokratis. Sayangnya dalam perjalanan pemerintahan era Orde
Reformasi terseok-seok untuk meningkatkan pertumbuhan demokrasi kita, yang
lebih baik lagi. Hal ini semakin menguatirkan, karena kita terancam gagal
menjadi salah satu negara, yang sukses melakukan transisi demokrasi.
Salah
satu hal yang menunjukan kita terancam gagal menjadi salah satu negara, yang
berhasil melakukan transisi demokrasi, bisa kita simak di tingkat lokal. Dimana
sejak di berlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah (Otoda) Nomor 22 Tahun 1999
di tahun 2000, dan kemudian di revisi menjadi Undang-Undang Pemerintahan Daerah
(Pemda) Nomor 32 Tahun 2004, yang di berlakukan di tahun 2005, sebagai pijakan
pelaksanaan otonomi daerah, bukannya melahirkan praktek pemerintahan yang
demokratis di daerah, namun sebaliknya melahirkan praktek pemerintahan yang
penuh dengan KKN, dan sinergis dengan praktek kekuasaan yang monopolistik,
oligarkis, dan aristokratis.
Bahkan
naifnya lagi era pemerintahan Orde Reformasi hanya melahirkan para rezim
predator di level lokal. Salah satunya bisa di simak di Provinsi Banten yakni,
Ratu Atut Chosiyah yang kini tengah menduduki jabatan Gubernur Provinsi Banten.
Dimana ibu tiri Atut Heryani Wakil Bupati Pandeglang, adik tiri Atut Tubagus
Chaerul Jaman Walikota Serang, adik kandung Atut Ratu Tatu Chasanah Wakil
Bupati Serang, adik ipar Atut Airin Rachmi Diany Walikota Tanggerang Selatan,
suami Atut Hikmat Tomet Anggota Komisi V DPR, anak pertama Atut Andhika Hazrumy
anggota DPD, dan istri Andhika Ade Rosi Khoirunnisa Wakil Ketua DPRD Kota
Serang.
Fenomena
serupa juga bisa di lihat Provinsi Sulawesi Selatan yakni, Syahrul Yasin Limpo
yang kini tengah menduduki jabatan Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan. Dimana
kakak Syahrul Tenri Olle Yasin Limpo anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan,
adik Syahrul Haris Yasin Limpo anggota DPRD Kota Makassar, adik Syahrul Ichsan
Yasin Limpo Bupati Gowa, dan adik bungsu Syahrul Irman Yasin Limpo Kepala Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan. Diluar itu, ada juga
rezim predator yang mulai mekar di tingkat lokal, yakni kakak beradik Qurais Abidin dan Abdul Rahman Abidin
yang baru pada Agustus lalu dilantik, sebagai Walikota dan Wakil Walikota
Bima periode 2013-2018.
Dari sekian rezim predator yang ada di tingkat lokal, yang
paling menunjukan eksistensinya di ranah publik yakni, rezim Atut Gubernur
Provinsi Banten. Hal ini dikarenakan rezim Atut sangat di warnai dengan praktek pemerintahan yang penuh dengan KKN, dan
sinergis dengan praktek pemerintahan yang monopolistik, oligarkis, dan
aristokratis. Dimana berkolusi untuk hal-hal yang negativ. Hal ini bisa di
lihat dari pengendalian ranah politik, birokrasi, dan ekonomi di Provinsi
Banten oleh rezim Atut demi keuntungan yang di
dapatkan, dan mengesampingkan partisipasi dari aktor-aktor lain.
Atas
praktek rezim predator yang marak di tingkat lokal tersebut, tidak salah jika
Peter B. Evans (1989) yang di kutip pemikirannya oleh Francis Fukuyama (2005)
dalam karyanya yang berjudul “Memperkuat Negara, Tata Pemerintahan dan Tata
Dunia Abad 21” menyebutnya sebagai perilaku predator, dimana sebagian besar di
curi oleh individu. Individu yang dimaksudkan tersebut, tentu tidak lain
adalah rezim di tingkat lokal, yang hanya menumpuk kekayaan pribadi, sementara
pembangunan di wilayahnya tidak mengalami kemajuan yang pesat, dimana hanya
menyisahkan kemiskinan bagi rakyatnya sendiri.
Tumbuh
suburnya rezim predator di daerah, sebanarnya tidak terlepas dari budaya
politik patrimonial, yang telah mengakar dalam budaya politik kita. Sehingga
meskipun terjadi transformasi pemerintahan dari rezim Orde Baru ke pemerintahan
rezim Orde Reformasi, budaya politik ini mengalami penyesuaian bentuknya. Dalam
budaya politik patrimonial lebih mengutamakan regenerasi politik berdasarkan
ikatan genealogis, ketimbang merit system, yang merujuk pada prestasi. Budaya
politik ini, telah mengalami evolusi menjadi budaya politik neopatrimonial.
Dimana di dalamnya terdapat unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru.
Hal
ini yang membedakannya, dimana dulunya model pewarisan kepemimpinan dalam
pemerintahan di tunjuk langsung oleh pimpinan pemerintahan yang hendak turun
tahtanya, namun sekarang mengalami proses evolusi melalui jalur politik yang
prosedural. Dimana salah satunya melalui pemilukada langsung. Sehingga anak
atau keluarga para elite di daerah masuk institusi yang telah disiapkan, yaitu
melalui partai politik. Oleh karena itu, model patrimonialistik ini terselubung
oleh jalur prosedural formal yang mengikutsertakan partisipasi para elite, yang
mendapat dukungan dari rakyat.
Salah
satu solusi yang baik, untuk menghilangkan praktek rezim predator di tingkat
lokal, yang selalu di warnai dengan praktek KKN, dan selalu juga sinergis
dengan praktek pemerintahan yang monopolistik, oligarkis, dan aristokratis,
yakni melalui regulasi. Hal ini dikarenakan melalui regulasi akan mampu
mengerem keinginan dari para aktor-aktor politik di level lokal, guna mengakumulasi
pemerintahan mereka menjadi rezim predator, yang hanya merugikan rakyat, dan
mengabaikan kesejahteraan rakyat.
Untuk
solusi di maksud, Komisi II DPR RI yang kini tengah menggodok Rancangan
Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah mengusulkan
pasal-pasal yang membatasi praktek rezim predator di tingkat lokal. Dimana
dalam draf RUU Pilkada pada Pasal 12 huruf (p) disebutkan bahwa calon gubernur
tidak boleh memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke
bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu
tahun. Sementara itu, dalam Pasal 70 huruf (p) disebutkan bahwa, calon bupati
tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan
kesamping dengan gubernur dan bupati/walikota, kecuali ada selang waktu minimal
satu masa jabatan.(Dwipayana, Kompas, Tribun News, Politik Indonesia,
2013).(M.J.Latuconsina).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar