Pada era pemerintahan Presiden Suharto (1965-1998) pelaksanaan
pembangunan nasional, yang tertuang dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) gencar
dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan penyehatan kehidupan
berbangsa dan bernegara pada semua lini, setelah di era pemerintahan Presiden Sukarno
(1945-1965) tidak maksimal, yang ditandai dengan terjadinya hiperinflasi, yang
tidak terkendali. Kondisi ini terjadi, akibat kurang perhatiannya pemerintahan pada
massa itu, terhadap pelaksanaan pembangunan nasional, karena disibukan dengan
percaturan politik nasional, yang berdampak buruk pada colapsnya pemerintahan
Presiden Sukarno di tahun 1965.
Pelaksanaan pembangunan nasional yang terimplementasi dalam Pelita,
merupakan penjabaran rill
dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang sebelumnya ditetapkan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam GBHN tertuang visi dan misi bangsa,
yang berguna untuk
menetapkan arah pembangunan nasional, dan menunjukan apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat secara umum. Kondisi ini menunjukan MPR memiliki
posisi, yang strategis pada massa itu. Dimana sesuai Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 sebelum diamandemen
menyebutkan, MPR memiliki kewenangan menetapkan UUD dan GBHN.
Pada pelaksanaan pembangunan nasional, yang terimplementasi dalam
Pelita, dengan mengedepankan trilogi pembangunan, yang menitikberatkan pada tiga
aspek vital strategis, antara lain ; stabilitas
nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan pemerataan pembangunan
serta hasil-hasilnya. Meskipun
tiga aspek vital strategis pembangunan ini, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi
yang signifikan pada Pelita I (1969-1974), II (1974-1979), III (1979-1984), IV
(1984-1989) dan Pelita V (1989-1994). Namun realisasi dari trilogi pembangunan ini menuai kontroversi.
Kontroversi itu dikarenakan, pelaksanaan
stabilitas politik menghasilkan regulasi dimana diterbitkan sejumlah peraturan,
yang mengakibatkan pengendalian pers, dan pengendalian aksi mahasiswa. Dalam
hal prosedural diterbitkan Undang-Undang tentang Organisasi Massa, dan Undang
Undang Partai Politik. Begitu pula pertumbuhan ekonomi menghasilkan penanaman
modal asing, yang mengakibatkan hutang luar negeri. Serbuan para investor asing
ini kemudian melambat ketika jatuhnya harga minyak dunia, yang mana selanjutnya
dirangsang ekstra melalui kebijakan deregulasi (liberalisasi) pada tahun 1983-1988.
Tanpa
disadari, kebijakan penarikan investor yang sangat liberal ini mengakibatkan
undang-undang Indonesia, yang mengatur arus modal menjadi yang sangat liberal
di lingkup dunia internasional. Namun kebijakan yang sama juga menghasilkan
intensifikasi pertanian di kalangan petani, dan dalam pemerataan hasil,
pelaksanaannya membuka jalur-jalur distributif seperti kredit usaha tani, dan
mitra pengusaha besar dan kecil seperti (bapak asu). Dampak negatif dari
trilogi pembangunan ini sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembangunan nasional
melalui Pelita.
Diluar
itu, rata-rata pelaksanaan pembangunan nasional di tanah air kala itu melalui Pelita,
dibiayai oleh negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal
ini dikarenakan, APBN memiliki peran yang signifikan sebagai lokomotif
pertumbuhan ekonomi nasional. Peran rill APBN itu, dapat dilihat dari Pelita I
sampai dengan Pelita V, dimana pertumbuhan APBN mencapai 23 persen pertahun,
sekitar empat kali lipat pertumbuhan ekonomi (=6,8%). Atas dasar itu, maka
tentunya pelaksanaan pembangunan nasional melalui Pelita di tanah air sangat
tergantung pada support APBN.
Seiring
perjalanan waktu, Pelita yang direalisasikan pemerintahan Presiden Suharto
sejak tahun 1969 mengalami kemandekan di tahun 1998. Stagnasi ini terjadi seiring
mundurnya Presiden Suharto pada 21 Mei 1998. Mundurnya presiden kedua itu, diakibatkan
krisis keuangan Asia yang menjadi efek domino bagi colapsnya ekonomi nasional, yang
berdampak negatif terhadap stabilitas politik dan keamanan nasional. Sehingga partai
politik, berbagai kelompok kepentingan, dan kelompok penekan yang terdiri dari ;
mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa keagamaan, organisasi massa
non keagamaan bersatu padu menekan Presiden Suharto agar turun dari jabatannya.
Pasca
pemerintahan Presiden Suharto tidak lagi dikenal Pelita, yang dikenal adalah Program Pembangunan Nasional (Propenas), dengan landasan hukumnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Propenas Tahun 2000-2004, yang lahir di era pemerintahan
K.H. Abdurahman Wahid-Megawati Sukarno Putri (2000-2001). Pasalnya GBHN yang
dijadikan dasar bagi pelaksanaan Pelita, tidak lagi ditetapkan MPR. Hal ini
terjadi seiring dengan amandemen UUD 1945 pada 19
Oktober 1999, dimana pada Pasal 3 menyebutkan MPR memiliki kewenangan ; mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden, dan hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatanya menurut UUD.
Terlepas
dari itu, pada era pemerintahan reformasi model pembangunan nasional melalui
ketergantungan pada APBN diminimalkan. Cara ini ditempuh, untuk mengoptimalkan
keberhasilan berbagai proyek pembangunan nasional. Kondisi ini dilihat pada era
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JWJK), dimana diluncurkan kebijakan Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA). Adapun sumber pembiayaan PINA tidak berasal dari APBN melainkan berasal dari ; penanaman
modal, dana kelolaan perbankan, pasar modal, asuransi dan pembiayaan lain
yang sah. Diluncurkan kebijakan
pemerintahan JWJK melalui realisasi PINA, dikarenakan ruang fiskal APBN saat ini semakin terbatas, sehingga dibutuhkan sumber
non-anggaran pemerintah.
Kebijakan pemerintahan JWJK melalui realisasi PINA juga
adalah skema baru selain program public private
patnership (PPP) maupun kerja
sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Dimana kebijakan pemerintahan JWJK melalui realisasi PINA ini, merupakan salah satu cara dari
pemerintah dalam mendorong optimalisasi
pembangunan infrastruktur secara massif. Sehingga target proyek
pembangunan yang membutuhkan modal besar, tidak mengalami kemandekan 5 sampai dengan 10
tahun, yang diakibatkan minimya support anggaran, yang selalu diharapkan
melalui APBN.
Konteks realisasi kebijakan pemerintahan JWJK melalui PINA, didesain
untuk mengisi kekurangan pendanaan proyek-proyek infrastruktur prioritas yang
membutuhkan modal besar, tetapi tetap dinilai baik secara komersial. Hal ini dikarenakan, jika pendanaan proyek-proyek infrastruktur prioritas yang membutuhkan
modal besar, tetapi tetap dinilai baik secara komersial dibebankan pada APBN, maka akan memberatkan APBN.
Pasalnya APBN tidak hanya diprioritaskan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur prioritas, yang membutuhkan modal
besar saja. Tapi diprioritaskan juga untuk
membiayai proyek-proyek infrastruktur prioritas, yang berskala kecil dan
menengah yang memiliki kontribusi signifikan bagi rakyat.
Atas dasar itu, maka pembiayaan
infrastruktur dengan skema PINA sangat vital. Hal ini dalam rangka mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pihak swasta dalam pembiayaan proyek
pembangunan
sekaligus mensukseskan proyek pembangunan, tanpa bergantung pada support
pembiayaan proyek pembangunan dari APBN. Adapun kriteria
proyek yang dapat dibiayai melalui skema PINA, yaitu ; proyek
yang mendukung pencapaian target prioritas pembangunan, proyek yang memiliki
kelayakan komersial, proyek yang memiliki manfaat ekonomi dan sosial bagi
masyarakat, serta
proyek yang telah memiliki kesiapan (readiness criteria).
Tindaklanjut rill dari kebijakan pemerintahan JWJK melalui PINA telah berhasil
mendorong pembiayaan tahap awal pada
9 ruas jalan Tol senilai 70 triliun rupiah, di mana 5
diantaranya adalah Tol Trans Jawa. Pada pilot program PINA ini, PT Sarana Multi
Infrastruktur (Persero) dan PT Taspen (Persero) memberikan pembiayaan ekuitas
tahap awal kepada PT Waskita Toll Road sebesar 3,5 triliun sehingga total
ekuitas menjadi 9,5 triliun dari kebutuhan 16 triliun. Program PINA akan mendorong agar kekurangan ekuitas itu dapat dipenuhi pada
tahun 2017
atau awal tahun
2018 dengan mangajak berbagai institusi pengelola dana yang
ada.
Kebijakan pemerintahan JKWK melalui realisasi PINA, perlu mendapat
perhatian serius dari rakyat. Pasalnya dikeluarkan dalam rangka menggenjot keberhasilan
pembangunan nasional, sekaligus meminimalkan kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI), dan Kawasan Timur
Indonesia (KTI). Kesenjangan pembangunan itu
berdasarkan fakta rill, dimana di KBI
seperti Jawa ketersediaan infrastruktur ekonomi, energi, dan teknologi
informasi dan komunikasi (teknoinfokom) sudah mencapai 51,45 persen. Sedangkan KTI seperti di Papua hanya mencapai 19,22 persen, dan Maluku hanya
mencapai 29,88 persen.
Khusus
untuk Maluku, tentunya sangat membutuhkan kebijakan pemerintahan JWJK melalui implementasi
rill PINA. Pasalnya berbagai inprastruktur strategis yang perlu dikerjakan dan
diselesaikan, dimana memiliki manfaat bagi kepentingan rakyat Maluku. Misalnya saja dari 11 proyek yang diusulkan
Pemerintah Provinsi Maluku kepada kementerian atau lembaga terkait di Jakarta
pada Februari 2017 lalu, dimana yang sudah disetujui sebanyak 10 proyek.
Diantara ke-10 proyek itu ; trans Maluku, jalan, peningkatan produksi pertanian,
pasar, kesehatan, dan proyek pengembangan pariwisata.
Sayangnya ke-10 proyek itu belum bisa direalisaikan melalui skema PINA.
Sebab ke-10 proyek itu dibiayai melalui APBN dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun diperkirakan ke-10 proyek
di Maluku itu memiliki pembiayaan dalam kategori menengah, sehingga tidak
dikawal melalui kebijakan pemerintahan JWJK lewat realisasi PINA. Oleh karena
itu, support pembiayaannya hanya berasal dari APBN dan DAK. Diharapkan kedepan
jika Maluku dialokasikan proyek pembangunan inprastruktur skala besar, dengan
pembiayaan yang besar bisa dikawal melalui skema PINA.(Haryadi
: 2015, Boediono : 2016, Detik, Wikipedia : 2017).(M.J.Latuconsina).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar