Minggu, 18 Juni 2017

PINA

Pada era pemerintahan Presiden Suharto (1965-1998) pelaksanaan pembangunan nasional, yang tertuang dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) gencar dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan penyehatan kehidupan berbangsa dan bernegara pada semua lini, setelah di era pemerintahan Presiden Sukarno (1945-1965) tidak maksimal, yang ditandai dengan terjadinya hiperinflasi, yang tidak terkendali. Kondisi ini terjadi, akibat kurang perhatiannya pemerintahan pada massa itu, terhadap pelaksanaan pembangunan nasional, karena disibukan dengan percaturan politik nasional, yang berdampak buruk pada colapsnya pemerintahan Presiden Sukarno di tahun 1965.
Pelaksanaan pembangunan nasional yang terimplementasi dalam Pelita, merupakan penjabaran rill dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang sebelumnya ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam GBHN tertuang visi dan misi bangsa, yang  berguna untuk menetapkan arah pembangunan nasional, dan menunjukan apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat secara umum. Kondisi ini menunjukan MPR memiliki posisi, yang strategis pada massa itu. Dimana sesuai Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebelum diamandemen menyebutkan, MPR memiliki kewenangan menetapkan UUD dan GBHN.
Pada pelaksanaan pembangunan nasional, yang terimplementasi dalam Pelita, dengan mengedepankan trilogi pembangunan, yang menitikberatkan pada tiga aspek vital strategis, antara lain ; stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya. Meskipun tiga aspek vital strategis pembangunan ini, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan pada Pelita I (1969-1974), II (1974-1979), III (1979-1984), IV (1984-1989) dan Pelita V (1989-1994). Namun realisasi dari trilogi pembangunan ini menuai kontroversi.
Kontroversi itu dikarenakan, pelaksanaan stabilitas politik menghasilkan regulasi dimana diterbitkan sejumlah peraturan, yang mengakibatkan pengendalian pers, dan pengendalian aksi mahasiswa. Dalam hal prosedural diterbitkan Undang-Undang tentang Organisasi Massa, dan Undang Undang Partai Politik. Begitu pula pertumbuhan ekonomi menghasilkan penanaman modal asing, yang mengakibatkan hutang luar negeri. Serbuan para investor asing ini kemudian melambat ketika jatuhnya harga minyak dunia, yang mana selanjutnya dirangsang ekstra melalui kebijakan deregulasi (liberalisasi) pada tahun 1983-1988.
Tanpa disadari, kebijakan penarikan investor yang sangat liberal ini mengakibatkan undang-undang Indonesia, yang mengatur arus modal menjadi yang sangat liberal di lingkup dunia internasional. Namun kebijakan yang sama juga menghasilkan intensifikasi pertanian di kalangan petani, dan dalam pemerataan hasil, pelaksanaannya membuka jalur-jalur distributif seperti kredit usaha tani, dan mitra pengusaha besar dan kecil seperti (bapak asu). Dampak negatif dari trilogi pembangunan ini sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembangunan nasional melalui Pelita.
Diluar itu, rata-rata pelaksanaan pembangunan nasional di tanah air kala itu melalui Pelita, dibiayai oleh negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini dikarenakan, APBN memiliki peran yang signifikan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional. Peran rill APBN itu, dapat dilihat dari Pelita I sampai dengan Pelita V, dimana pertumbuhan APBN mencapai 23 persen pertahun, sekitar empat kali lipat pertumbuhan ekonomi (=6,8%). Atas dasar itu, maka tentunya pelaksanaan pembangunan nasional melalui Pelita di tanah air sangat tergantung pada support APBN.
Seiring perjalanan waktu, Pelita yang direalisasikan pemerintahan Presiden Suharto sejak tahun 1969 mengalami kemandekan di tahun 1998. Stagnasi ini terjadi seiring mundurnya Presiden Suharto pada 21 Mei 1998. Mundurnya presiden kedua itu, diakibatkan krisis keuangan Asia yang menjadi efek domino bagi colapsnya ekonomi nasional, yang berdampak negatif terhadap stabilitas politik dan keamanan nasional. Sehingga partai politik, berbagai kelompok kepentingan, dan kelompok penekan yang terdiri dari ; mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa keagamaan, organisasi massa non keagamaan bersatu padu menekan Presiden Suharto agar turun dari jabatannya.
Pasca pemerintahan Presiden Suharto tidak lagi dikenal Pelita, yang dikenal adalah Program Pembangunan Nasional (Propenas), dengan landasan hukumnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang  Propenas Tahun 2000-2004, yang lahir di era pemerintahan K.H. Abdurahman Wahid-Megawati Sukarno Putri (2000-2001). Pasalnya GBHN yang dijadikan dasar bagi pelaksanaan Pelita, tidak lagi ditetapkan MPR. Hal ini terjadi seiring dengan amandemen UUD 1945 pada 19 Oktober 1999, dimana pada Pasal 3 menyebutkan MPR memiliki kewenangan ; mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatanya menurut UUD.
Terlepas dari itu, pada era pemerintahan reformasi model pembangunan nasional melalui ketergantungan pada APBN diminimalkan. Cara ini ditempuh, untuk mengoptimalkan keberhasilan berbagai proyek pembangunan nasional. Kondisi ini dilihat pada era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JWJK), dimana diluncurkan kebijakan Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA). Adapun sumber pembiayaan PINA tidak berasal dari APBN melainkan berasal dari ; penanaman modal, dana kelolaan perbankan, pasar modal, asuransi dan pembiayaan lain yang sah. Diluncurkan kebijakan pemerintahan JWJK melalui realisasi PINA, dikarenakan ruang fiskal APBN saat ini semakin terbatas, sehingga dibutuhkan sumber non-anggaran pemerintah.
Kebijakan pemerintahan JWJK melalui realisasi PINA juga adalah skema baru selain program public private patnership (PPP) maupun kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Dimana kebijakan pemerintahan JWJK melalui realisasi PINA ini, merupakan salah satu cara dari pemerintah dalam mendorong optimalisasi pembangunan infrastruktur secara massif. Sehingga target proyek pembangunan yang membutuhkan modal besar, tidak mengalami kemandekan 5 sampai dengan 10 tahun, yang diakibatkan minimya support anggaran, yang selalu diharapkan melalui APBN.
Konteks realisasi kebijakan pemerintahan JWJK melalui PINA, didesain untuk mengisi kekurangan pendanaan proyek-proyek infrastruktur prioritas yang membutuhkan modal besar, tetapi tetap dinilai baik secara komersial. Hal ini dikarenakan, jika pendanaan proyek-proyek infrastruktur prioritas yang membutuhkan modal besar, tetapi tetap dinilai baik secara komersial dibebankan pada APBN, maka akan memberatkan APBN. Pasalnya APBN tidak hanya diprioritaskan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur prioritas, yang membutuhkan modal besar saja. Tapi diprioritaskan juga untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur prioritas, yang berskala kecil dan menengah yang memiliki kontribusi signifikan bagi rakyat.
Atas dasar itu, maka pembiayaan infrastruktur dengan skema PINA sangat vital. Hal ini dalam rangka mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pihak swasta dalam pembiayaan proyek pembangunan sekaligus mensukseskan proyek pembangunan, tanpa bergantung pada support pembiayaan proyek pembangunan dari APBN. Adapun kriteria proyek yang dapat dibiayai melalui skema PINA, yaitu ; proyek yang mendukung pencapaian target prioritas pembangunan, proyek yang memiliki kelayakan komersial, proyek yang memiliki manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat, serta proyek yang telah memiliki kesiapan (readiness criteria).
Tindaklanjut rill dari kebijakan pemerintahan JWJK melalui PINA telah berhasil mendorong pembiayaan tahap awal pada 9 ruas jalan Tol senilai 70 triliun rupiah, di mana 5 diantaranya adalah Tol Trans Jawa. Pada pilot program PINA ini, PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) dan PT Taspen (Persero) memberikan pembiayaan ekuitas tahap awal kepada PT Waskita Toll Road sebesar 3,5 triliun sehingga total ekuitas menjadi 9,5 triliun dari kebutuhan 16 triliun. Program PINA akan mendorong agar kekurangan ekuitas itu dapat dipenuhi pada tahun 2017 atau awal tahun 2018 dengan mangajak berbagai institusi pengelola dana yang ada.
Kebijakan pemerintahan JKWK melalui realisasi PINA, perlu mendapat perhatian serius dari rakyat. Pasalnya dikeluarkan dalam rangka menggenjot keberhasilan pembangunan nasional, sekaligus meminimalkan kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI), dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Kesenjangan pembangunan itu berdasarkan fakta rill, dimana di KBI seperti Jawa ketersediaan infrastruktur ekonomi, energi, dan teknologi informasi dan komunikasi (teknoinfokom) sudah mencapai 51,45 persen. Sedangkan KTI seperti di Papua hanya mencapai 19,22 persen, dan Maluku hanya mencapai 29,88 persen.
Khusus untuk Maluku, tentunya sangat membutuhkan kebijakan pemerintahan JWJK melalui implementasi rill PINA. Pasalnya berbagai inprastruktur strategis yang perlu dikerjakan dan diselesaikan, dimana memiliki manfaat bagi kepentingan rakyat Maluku.  Misalnya saja dari 11 proyek yang diusulkan Pemerintah Provinsi Maluku kepada kementerian atau lembaga terkait di Jakarta pada Februari 2017 lalu, dimana yang sudah disetujui sebanyak 10 proyek. Diantara ke-10 proyek itu ; trans Maluku, jalan, peningkatan produksi pertanian, pasar, kesehatan, dan proyek pengembangan pariwisata.
Sayangnya ke-10 proyek itu belum bisa direalisaikan melalui skema PINA. Sebab ke-10 proyek itu dibiayai melalui APBN dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun diperkirakan ke-10 proyek di Maluku itu memiliki pembiayaan dalam kategori menengah, sehingga tidak dikawal melalui kebijakan pemerintahan JWJK lewat realisasi PINA. Oleh karena itu, support pembiayaannya hanya berasal dari APBN dan DAK. Diharapkan kedepan jika Maluku dialokasikan proyek pembangunan inprastruktur skala besar, dengan pembiayaan yang besar bisa dikawal melalui skema PINA.(Haryadi : 2015, Boediono : 2016, Detik, Wikipedia : 2017).(M.J.Latuconsina).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar